Skip to main content

Suara-suara dari Wirogunan



 Mencipta karya sastra seperti cerpen, novel, esai, puisi, bukanlah pekerjaan mudah bagi para sastrawan, mahasiswa, guru, dosen, politisi, jenderal, hingga para pejabat tinggi di negeri ini. Sebab,  dalam prosesnya membutuhkan ketekunan, kesabaran, keluasan wawasan, keanekaragaman gagasan, kebeningan dan kedalaman berpikir, keterbukaan hati, kepekaan rasa, kreativitas prima, juga penguasaan bahasa yang cukup sebagai media ekspresinya. Maka, ketika sebagian warga binaan LP Wirogunan, Yogyakarta, mencoba belajar mencipta puisi seperti terkumpul dalam antologi ini rasanya kita tengah menyaksikan sebuah prestasi yang luar biasa indahnya. Apalagi, besar kemungkinan antologi puisi ini adalah antologi puisi pertama yang lahir dari balik tembok LAPAS di Indonesia.  Dicipta oleh mereka yang tengah nggentur tapa dan mesu budi, berkutat menemukan jalan terang yang bakal ditempuhnya kelak kemudian hari.

Setelah hampir lima puluh tahun “menikahi puisi”, saya berani menyatakan bahwa puisi adalah secercah cahaya atau sepercik nyala api yang muncul dalam kegelapan. Persis letikan korek api yang dapat digunakan sebagai tuntunan seseorang  melangkahkan kaki berkilometer-kilometer jauhnya di tengah malam buta. Artinya, puisi berpotensi menunjukkan jalan sekaligus  menyadarkan, bukan membakar. Dengan puisi, orang diajak membuka diri, menjadi arif ketika mengapresiasi berbagai hiruk-pikuk duniawi. Misalnya, dengan berbekal kearifan yang digali dari dunia puisi kita akan lebih mudah  memahami filosofi orang Jawa yang tertera dalam unen-unen: bener durung mesthi pener, salah durung mesthi kalah, becik bisa kuwalik (benar belum tentu tepat, salah belum tentu kalah, baik dapat terbalik). 

Maka, saya benar-benar tak menyangka ketika menemukan sejumlah karya yang sangat berbobot untuk standar warga binaan Lapas Wirogunan hari ini. Misalnya karya Puji Istina yang berjudul “LILIN”: Aku hanyalah lilin/Yang ingin bagai rembulan/Menebar cahaya terang/Di antara kerlip bintang//Aku hanyalah lilin/Yang ingin menjelma mentari/Bersinar sepanjang hari/Di antara lengkungan pelangi/Di atas awan bergerak menari//Aku ingin menerangi/Dalam gelap malammu/Aku ingin mewarnai/Dalam panas siangmu/Hidup menjadi warna-warni/Gairah penuh  rupa dan pesona//Namun aku hanyalah lilin/Menerangi ruang sekitarku/Tetapi hancurlah tubuhku/Oleh panas yang melelehkanku//Akulah lilinmu/Sinarku menggairahkanmu/Tetapi hancur leleh tubuhku/Tak tersisa dilumat waktu (Wirogunan, Mei 2016). 

Contoh selanjutnya, coba simak karya Dwi Wijayanto yang berjudul “MERATAP DIRI” yang larik barisnya berbunyi: Detik demi detik tak terasa waktuku berlalu/Hari-hari yang kujalani seakan tiada arti/Matahari yang tadinya terang cahayanya/Hilang siang suramlah cahayanya//Janganlah bangga punya wajah cantik/Karena wajah terakhir kita adalah tengkorak/Jangan bangga punya kulit putih/Karena kulit terakhir kita adalah tanah//Jangan bangga pula punya rumah mewah/Karena rumah terakhir kita adalah kuburan/Jangan pula bangga punya baju bagus dan bersih/Karena baju terakhir kita adalah kain kafan/jangan bangga punya mobil mewah/Karena kendaraan terakhir kita adalah keranda.

Ada sebuah dialog imajiner kuno yang menggambarkan bagaimana rumitnya penciptaan puisi. Konon, seorang anak laki-laki pernah bertanya pada ayahnya yang penyair. Si anak bertanya: “Ayah, apakah yang sebenarnya disebut puisi itu?” Karena si anak bertanya dengan sungguh-sungguh, ayahnya menjawab demikian. “Apabila engkau ingin mengerti puisi, pandanglah tenang-tenang gelombang di samudera luas itu. Dengarlah baik-baik kicau unggas di pagi hari. Puisi adalah kehidupan itu sendiri, Anakku. Puisi adalah sesungging senyum yang terlukis pada sudut bibir seorang dara. Puisi adalah pemahaman rasa. Karena itu, jika engkau ingin memahami puisi, bukalah pintu hatimu seluas-luasnya. Biar debu, tamu, angin, rezeki, sanak-saudara, dan gerak kehidupan alam semesta singgah di dadamu.”

Dari gambaran kisah selintas di atas dapat ditafsirkan, puisi adalah hasil kontemplasi yang berwujud dialog internal antara penyair (kreator) dengan dimensi-dimensi kehidupan pribadi. Walaupun demikian, puisi bukan manifestasi soliloqui  (grenengan atau rerasanan). Puisi lebih sebagai internalisasi berbagai macam nilai yang menghunjam ke dalam pikiran dan perasaan seseorang, kemudian yang bersangkutan mencoba menginterpretasikannya menjadi konfigurasi konstruktif dengan media bahasa. Artinya, mencipta puisi merupakan kegiatan spiritual. Mirip seperti halnya  shalat, melaksanakan pengakuan dosa, memberi permaafan pada orang lain maupun diri sendiri, atau menghapus dendam benci kepada mereka yang telah dengan sengaja menusukkan pedang keangkaramurkaan pada diri kita.

Maka, ketika para warga binaan LAPAS Wirogunan mencoba menapakkan kaki pada ranah penciptaan karya sastra (puisi), sama halnya mereka telah belajar menemukan kiblat yang bakal dituju  di hari esok. Dengan puisi mereka telah mencoba “menabung” sekian banyak nilai kearifan yang bakal memberikan cahaya kapan dan di mana pun berada. Karena selain ajaran agama yang menjadi pedoman utama hidup ini, banyak hal perlu dipelajari agar diri kita menjadi sakti, menjadi teguh tanggon menghadapi kemelut zaman dan peradaban.   

Sekali lagi, manfaat puisi bukan tergantung pada nilai nominal melainkan pada nilai intrinsiknya. Di jagat raya ini (termasuk Indonesia), harga sebuah puisi, mungkin, lebih rendah dari nilai uang seratus rupiah. Namun, melalui puisi kita akan mudah membayangkan bahwa hidup di dunia bukan sekedar mampir ngombe, bukan sekedar mencari uang, mengejar pangkat jabatan, atau memuaskan diri sendiri. Melalui puisi kita dapat berdialog dengan laba-laba, salah satu makhluk ciptaan Allah Swt. yang paling lama berpuasa dalam hidupnya. Dengan puisi kita dapat membayangkan mengapa Nabi Muhammad Saw waktu itu menyepi ke gua Hira, mengapa Isa al Masih wafat di kayu salib, mengapa Sidharta Gautama meninggalkan istananya. Mungkin, dengan puisi kita menjadi tidak lagi membenci nyamuk yang suka menggigit itu. Dengan puisi kita menjadi merasa bahagia pernah menjadi anak-anak yang sekolah di kawasan yang dinamakan “penjara”. 

Selamat dan selamat kepada semua warga binaan yang telah berhasil menjadikan puisi (sastra) jembatan sekaligus bekal untuk menapak ke depan.


Iman Budhi Santosa, sastrawan Yogyakarta