Skip to main content

WAJAH IBU, antologi puisi 35 penyair perempuan

 


‘Wajah Ibu’ Di Tengah Perempuan

Saya merasa, gairah kaum perempuan menulis puisi tumbuh menyenangkan. Hal ini, saya kira, tidak seperti awal tahun 1970, bahkan tahun-tahun sebelumnya, di mana dunia penyair merupakan domain laki-laki. Tetapi bukan berarti sama sekali tidak ada perempuan yang menulis puisi: jumlahnya hanya sedikit dibanding jumlah penyair pria. Apalagi, pada perkembangan berikutnya, penyair perempuan ‘tidak lagi terdengar’, dan lagi-lagi hanya terhitung bilangan jari, yang masih bergelut dengan puisi. Nama seperti Toeti Heraty, Diah Hadaning dan Rita Oetoro hanyalah beberapa yang bisa disebut. Penyair perempuan lainnya, yang muncul sesudah tahun 1980-an, ada sejumlah nama. Dalam kata lain, meskipun jumlahnya sedikit, tetapi selalu ada penyair perempuan ‘yang hadir’ dalam durasi tahun yang berbeda-beda. Dan setelah tahun 2000, lebih-lebih pada era digital ini, penyair perempuan menampakkan gairah berpuisi.

Antologi puisi yang diberi judul ‘Wajah Ibu’ ini, menghadirkan 35 perempuan yang menulis puisi. Beberapa dari mereka bisa ditemukan dalam antologi puisi bersama atau telah memiliki antologi puisi sendiri, atau malah sudah menerbitkan novel atau kumpulan cerpen. Ini artinya, jumlah 35 penyair perempuan dalam antologi puisi ini, belum digabung dengan antologi puisi lainnya yang sudah diterbitkan, bahkan titelnya bisa mengejutkan: 100 Penyair perempuan. Atau antologi puisi yang lain, yang diterbitkan di daerah berbeda dan diikuti sejumlah penyair perempuan, yang tidak tergabung dalam antologi puisi lainnya, dan diterbitkan di lain daerah. Yang ingin saya katakan, di daerah-daerah di Indonesia, bisa kita temukan ‘munculnya’ perempuan yang begitu tekun dengan puisi. Dalam kata lain, penyair perempuan melimpah di dunia sastra, lebih-lebih puisi, yang dikenal sepi

Wajah Ibu: Penyair Perempuan dari Beberapa Daerah

Antologi puisi yang menampilkan 35 Penyair Perempuan dari beberapa daerah ini, diberi judul ‘Wajah Ibu’. Bukan mengambil salah satu judul puisi yang ada dalam antologi puisi ini, karena tak ada judul puisi seperti itu. Meski ada yang menulis puisi dengan judul ‘Ibu’ dan jumlahnya lebih dari satu, tetapi bukan karena itu judul antologi itu diambil. Tetapi lebih karena, para penyair perempuan ini memberikan kisah tentang dunia perempuan, dan ‘ibu’ hanyalah salah satu dari dunia yang dikisahkan. Jadi, kalau membicarakan ibu sekaligus membicarakan perempuan, tetapi menyajikan kisah perempuan belum tentu berbicara tentang ibu. Namun dari sana, kita bisa melihat imajinasi wajah ibu.

Jadi, pilihan judul ‘Wajah Ibu’ lebih untuk menegaskan, bahwa puisi-puisi yang terkumpul dalam antologi ini (sedang) berbicara tentang dunia perempuan, meskipun tidak semuanya. Wajah perempuan diolah sedemikian rupa, sehingga kita bisa menikmati dunia perempuan yang indah, sendu, bahagia, duka, lembut, penuh kasih, tegar dan seterusnya. Artinya dunia perempuan yang penuh warna. Dan ibu, dalam puisi bisa diberi judul yang beragam, bisa menggunakan bahasa lokal, seperti puisi Boen Mada yang diberi judul “Mak”, atau geguritan, puisi yang ditulis menggunakan bahasa Jawa karya Flora ‘Tresna Simbok’. Atau judul puisi lain, yang tidak menggunakan kata ibu, tetapi puisi tersebut berkisah perihal perempuan, seperti puisi karya Ristia Herdiana yang berjudul ‘Nyanyian Mega Biru” atau puisi karya Wicahyanti Rejeki yang berjudul ‘Sebuah Topi Melayang Di Suatu Senja’.

Selain kisah perihal ibu, atau perempuan, ada puisi yang menyajikan suasana. Ada bermacam suasana dikisahkan dengan pilihan simbol yang berbeda. Ada yang bercerita soal hujan, keindahan alam, musim gugur, suasana sepi dan seterusnya. Pendek kata, puisi karya 35 penyair yang datang dari beberapa kota, dan tidak hanya dari Yogya, bahkan ada yang tinggal di Kalimantan, bercerita soal kehidupan alam dan manusia, dengan segala pernak-perniknya. Masing-masing menampilkan 3 puisi dengan judul yang berbeda. Satu dari tiga puisi berkisah soal ibu. Namun ada juga ketiga puisinya menyajikan kisah soal musim. Tiap-tiap penyair memang diberi kebebasan untuk memilih tema. Tak ada batasan tema, juga tidak diminta untuk menulis tema perempuan, lebih-lebih tema ibu. Sebagian besar dari mereka memang telah menjadi ibu, dan ketika berkisah soal ibu, artinya mereka sedang berkisah perihal dirinya sendiri sekaligus bercerita ibunya sendiri, dan karena ibunya sudah tiada, dia tetap bercerita mengenai ibunya yang sudah meninggal.

Dunia ibu memang menyatu dengan anaknya, termasuk anak perempuan. Maka, antologi ini kita beri judul ‘Wajah Ibu’, karena setiap orang tidak bisa (di)jauh(kan) dari wajah ibu(nya), walaupun ibunya sudah meninggal, tetapi dia masih ‘hidup’ dalam ingatan dan di hati.

Mengapa (disebut) Penyair Perempuan?

Sebagai kata, penyair tidak memiliki jenis kelamin. Penyair, ya penyair. Laki atau perempuan. Hasil karyanya berupa puisi, dan lagi-lagi puisi tidak memiliki jenis kelamin. Saya menyertakan kata perempuan, karena pada antologi puisi ini semua penyairnya jenis kelaminnya perempuan. Saya sadar, walaupun saya tidak menyebut penyair perempuan, orang akan tahu, penyair yang ikut dalam antologi puisi ini semua berjenis kelamin perempuan. Saya sekedar menegaskan saja, bahwa ‘Wajah Ibu’ adalah antologi puisi karya 35 penyair perempuan, tidak lebih dari itu.

Dari segi usia, mereka lahir dalam tahun yang berbeda, dan sebagian besar sudah berkeluarga. Dari segi pendidikan masing-masing juga berbeda, demikian pula jenis pekerjaannya. Dalam perbedaan itu mereka dipertemukan melalui kerja kreatif, dalam hal ini menulis puisi, dan hasilnya dikumpulkan bersama dalam bentuk buku.

Soal kerja kreatif ini merupakan hal yang penting. Karena setiap orang, apalagi dijaman serba digital ini, perlu memiliki kreativitas, apapun pilihan bentuk kreativitas itu. Dalam konteks ini, 35 perempuan ini memiliki kreativitas yang sama, yakni menulis puisi, meskipun latar belakang pendidikannya berbeda-beda.

Dari segi kualitas memang tidak sama. Ada yang memang sudah terlihat cukup lama bergumul dengan puisi, sehingga puisinya cukup kental. Ada juga yang tampaknya baru mulai ‘berkenalan’ dengan puisi, namun puisinya sudah terlihat ‘bunyi’, meskipun kesan sebagai curahan hati terasa kental.

Proses memang perlu dilewati, dan tidak boleh berhenti. Menulis dan menulis tidak boleh berhenti dan dipadu dengan membaca. Jika proses terus dijalani hasilnya akan terlihat kemudian. Ketekunan dan kesabaran tak boleh ditinggalkan.

Sebanyak 105 puisi karya 35 penyair perempuan, yang sedang anda baca ini, memberikan kisah penuh kasih perihal kehidupan, yang disajikan melalui sosok ibu. Satu sosok yang semua kita kenal dan sangat dekat, bahkan sejak masih dalam kandungan, dan selalu memberi ketenteraman dalam kehidupan kita. Maka, mari kita nikmati kisah-kisah itu.

Ons Untoro, Penyair dan pegiat budaya