Skip to main content

Puisi Kaum Minoritas, Monolog 5 Puisi Denny J.A



 Buku menarik ini adalah kumpulan naskah monolog yang digarap dari puisi-puisi karya Denny Januar Ali, seorang enterpreneur intelek–tual yang mampu menulis puisi di samping seabreg kegiatan utamanya. Lima orang penggiat panggung menuliskan lagi lima puisi terpilih, menjadi naskah pertunjukan siap pentas. Puisinya sendiri diambil dari buku kumpulan puisi Denny JA, “CINTAI MANUSIA SAJA, Soal Diskriminasi, Agama dan Cinta”. Berangkat dari rasa sayang bila puisi-puisi bermakna ini hanya bisa dibaca secara pribadi di kamar belajar atau perpustakaan, naskah monolog atau naskah pemanggungannya pun disiapkan. Tentu, puisi-puisi ini juga bisa langsung dibacakan di depan kelas pelajaran sastra, atau dengan didahului beberapa kali latihan dibacakan pada acara poetry reading yang lebih serius. Tetapi menggelar pertunjukan berbekal naskah monolog dari kumpulan ini pasti membuat pentas akan lebih semarak, seharusnya begitu. Lalu, apa beda antara puisi, poetry reading dan pagelaran monolog ? 

Puisi adalah salah satu genre atau jenis karya sastra dan Sastra adalah karya cipta atau fiksi, karangan imajiner menggunakan bahasa yang baik atau indah, serta memiliki makna. Mengacu teori Aristoteles dalam Poetica, jenis atau ragam sastra ada tiga, yaitu epik, lirik dan drama.  Epik adalah teks karangan yang berisi paparan kisah atau cerita (naratif), lengkap percakapan (dialog) tokoh-tokohnya bila memang ada, yang lebih sering disebut prosa. Termasuk dalam epik atau prosa antara lain hikayat, kisah, dongeng, novel, roman dan cerpen. 

Lirik adalah karangan yang mengutamakan pengungkapan ide atau gagasan dan perasaan pengarangnya, ditulis kompak, padat, sadar bentuk, menyertakan rima dan irama, serta memuat makna tersamar. Lirik kerap disebut puisi. Sedangkan drama juga merupakan karangan imajiner, namun meski sebagai karya sastra bisa dibaca, ia ditulis dalam bentuk naskah pemanggungan, artinya naskah yang siap dipentaskan sebagai tontonan. 

Pertunjukan drama biasanya dilakukan oleh para pemeran (aktor) yang mumpuni dan berkualitas, artinya mereka menguasai seni peran (akting) dengan baik. Suasana atau ketegangan dramatik yang di dalam naskah drama terbangun alur cerita, pada pertunjukannya dibangun oleh aksi dan dialog tokoh-tokohnya. Progresi dramatik berkembang perlahan, memanjat menuju klimaks, puncak ketegangan dramatik. Kemudian ditutup solusi ataupun akhir cerita drama. 

Menjaga agar permainan drama bisa tertata dengan bagus, para pemain membutuhkan pengarah laku, yang disebut sutradara. Pengarah laku inilah yang paling bertanggungjawab akan sukses-tidaknya sebuah pagelaran. Tafsir naskah dilakukan bersama, setelah disepakati segera latihan persiapan pentas dimulai, di bawah arahan sutradara. Drama biasanya dibagi dalam beberapa babak, dan babak diperinci dalam banyak adegan. Namun cukup banyak naskah drama di Indonesia, baik karya asli atau terjemahan, yang hanya memiliki satu babak saja. Pertunjukan drama sering juga disebut teater, karena artinya bersentuhan. Drama berasal dari kata draomai, artinya berbuat, bertindak, sedang teater dari kata theatron, artinya gedung pertunjukan. Jadi segala pertunjukan di gedung teater seperti pemutaran film, resital tari, symphoni musik dan pementasan drama, sering dan syah-syah saja disebut teater. Tidak semua pertunjukan teater tetapi, bisa disebut drama, karena ia memiliki kaidah dramaturginya sendiri.

Seni monolog adalah drama yang hanya menampilkan seorang pemeran, yang juga bermain sendirian saja.  Karena jumlah pemain yang cuma satu itu, naskah seni monolog sedikit berbeda dengan naskah drama biasanya, hanya untuk satu pemain. Dengan demikian dialog yang ada juga dimainkan oleh satu orang, artinya si pemain memerankan tokoh utama, protagonis, sekaligus memerankan tokoh lawan bicaranya, antagonis. Terkadang pementasan monolog menampilkan orang bicara sendirian, bukan membawakan dialog. Bicara sendiri sambil merenung semacam ini disebut soliloqui. Amat terkenal di seluruh dunia soliloqui Hamlet, ‘to be or not to be, that is the question’ dan seterusnya, bagian dari satu adegan dalam drama “HAMLET, Pangeran Denmark”, karya William Shakespeare.  Biasanya pertunjukan monolog tak berlangsung lama, limabelas menit hingga satu jam.  Monolog Samuel Beckett “Krapp’s Last Tape” berdurasi hampir dua jam. Karena pertunjukan monolog dimainkan oleh satu pemain saja, ia menuntut seorang aktor piawai untuk memerankannya, atau paling tidak seseorang, yang bersedia latihan serius sebelum pertunjukan. 

Pentas monolog dengan mengutamakan semaraknya pertunjukan bisa dilakukan dengan menyertakan bantuan Crew pendukung pementasan. Seluruh crew, dari pemain musik hingga tukang rias dan penata kostum dirangsang untuk aktif berinteraksi dengan sang pemeran.  Bila awak pentas melempar komentar-komentar yang ditanggapi pemain, seperti pemain tampak tersinggung atau marah, atau mentertawakan komentar yang dinggap ngawur, interaksi antar crew dan pemain monolog terjadi.  Juga alat musik yang sengaja dibunyikan sebagai reaksi terhadap akting ataupun kata-kata sang aktor, akan melahirkan adegan interaktif menarik, malah kerap merangsang penonton ikut berinteraksi. Tentu pentas demikian lebih bersifat teateral dan terbuka (tidak ketat), daripada bersifat monolog seni peran.  Berbeda dengan pentas aktor kampiun yang berdisiplin tinggi menjaga permainannya, seperti Maruli Sitompul, WS Rendra, Amak Baljun, Syu’bah Asa, Chaerul Umam, Sujatna Anirun, Putu Wijaya, Ikranagara, dan lain-lainnya.  Mereka mementaskan monolog seakan sedang mendemonstrasikan kedahsyatan seni peran masing-masing, luar biasa. Di jaman serba cepat dan silau gebyar seperti sekarang, kiranya pertunjukan monolog teateral lebih menjawab tantangan jaman.  Mungkinkah kehebatan seni peran seorang aktor tak menarik lagi bagi penonton masa kini ?  Entahlah….! 

Siapa hendak membuat pertunjukan berdasar naskah mono–log dalam kumpulan ini, atau secara umum ingin bermain drama, akan bisa melakukannya dengan mempersiapkan dirinya terlebih dahulu. Ia harus berlatih seni peran berdasar petunjuk-petunjuk dalam buku karangan WS Rendra, “Mari Bermain Drama”. Bersama itu mempelajari pengetahuan seni panggung dari banyak buku pintar, seperti “Belajar Teater bagi Umum dan Siswa SMU”, yang kini banyak terdapat di toko buku.  Aktor adalah seorang seniman yang mengekspresikan atau mengungkapkan seninya, seni peran, melalui seluruh dirinya, ya kualitas vokalnya, ya gerak anggota badannya, ya sikap tubuhnya, ya kesiapan mentalnya, ya kepandaiannya, ya kemampuan penjiwaannya. Oleh karena itulah diri seorang aktor harus benar-benar terlatih dengan baik.

Di dalam pertunjukan panggung, drama atau teater sama saja, bahasa yang dipergunakan harus bahasa yang komunikatif, agar isi dialog atau pembicaraan mudah ditangkap artinya. Amanat atau pesan penulis drama sebagai isi kandungan naskah harus bisa tersampaikan dan terfahami penontonnya. Bila itu tidak terjadi, maka pertunjukan drama boleh dibilang gagal. Kenyataan ini lagi-lagi mengingatkan, betapa berharganya memiliki vokal yang terlatih baik.  Diksi atau ucapan seorang aktor harus bersih dan jernih, volume suaranya harus mampu menjangkau bukan hanya seluruh panggung, namun bisa meraih minimal separuh ruang auditorium di mana pertunjukan digelar. Untuk Pertunjukan Puisi atau monolog teateral, vokal pemeran tak boleh tenggelam, tak boleh kalah oleh suara musik atau suara-suara lain yang gegap gempita. 

Membuat pementasan monolog ini silahkan mengacu kepada petunjuk tata pementasan yang disertakan. Namun semua petunjuk itu tidak kaku mengikat, dan berdasar penafsiran plus ide kreatif yang baik, ikatan boleh direnggangkan.  Sebagai contoh naskah yang menseyogyakan tampilnya penari balet, hal itu tentu sulit untuk dipenuhi. Tidak di semua daerah di republik ini bisa ditemu seorang penari balet, ataupun seseorang yang bisa mengajarkan seni tari balet. Untuk itu, adegan tari balet bisa diganti dengan sesuatu yang ditimbang tepat dan tidak mengganggu, umpamanya foto-foto adegan tarian balet diproyeksikan ke layar putih yang digantung di dekat backdrop. Ide-ide yang lain tentu banyak sekali, silahkan dicoba.

Bila terjadi salah ucap ataupun lupa teks, lupa sebuah kata atau kalimat, itu hal biasa bagi dunia panggung. Namun untuk mementaskan naskah monolog yang ada di sini wajib membawakan puisinya sesuai dengan aslinya. Naskah-naskah ini berangkat dari puisi yang sudah jadi, oleh karenanya harus dijaga agar tak ada kata yang terbuang atau terlewati, baik disengaja ataupun tidak. Selamat mencoba dan Selamat atas keberhasilan Anda.


Genthong HSA

Aktor, penulis naskah teater (pernah meme-nangkan Lomba penulisan naskah teater Dewan Kesenian Yogyakarta (DKY) dan Lomba Penulisan Naskah Teater Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), sutradara, penulis prosa dan puisi maupun pelukis. Membina banyak seniman muda Indonesia dan telah mementaskan sejumlah naskah teater, di antaranya Malam Jahanam karya Motinggo Boesje, Penggali Intan karya Kirdjomulja, Perang Sunyi Sunyi Perang Genthong HSA, Kebun Ceri Anton Pavlovic Checkov, Waiting for Godot karya Samuel Beckett, dll.