Skip to main content

Menyandi Sepi, Antologi Puisi 23 Penyair



Antologi puisi yang diberi judul ‘Menyandi Sepi’ karya 23 penyair ini terdiri dari 92 puisi. Masing-masing penyair menyajikan 4 puisi. Mereka datang dari beberapa kota, dan hanya satu pria di antara 22 perempuan penyair ini. Profesi mereka berbeda, namun memiliki kecintaan yang sama, yakni menulis puisi. Karena itu, di tengah kesibukan sebagai guru misalnya, masih meluangkan waktu menulis puisi. Di tengah kesibukannya sebagai karyawan atau bahkan ibu rumah tangga, puisi menjadi teman yang tak bisa ditinggalkan, dan dari ‘persentuhan’ dengan puisi, hasilnya diterbitkan menjadi buku antologi puisi.

Saya memilih judul antologi puisi ‘Menyandi Sepi’, yang saya ambilkan dari judul puisi karya Resmiyati. Judul puisi ini, saya kira bisa mewakili puisi-puisi yang lain untuk diambil sebagai judul buku. Kata menyandi, dari kata dasar sandi, saya kira bisa kita pahami sebagai upaya para penyair ini membuat sandi atau tanda-tanda melalui kata untuk merespon sesuatu dalam puisinya. Mereka, para penyair ini, menyadari apa yang dilakukannya, persis seperti kata ‘menyandi’ yang dengan sadar dilakukannya. Sepi adalah area penyair, yang memang berada di ruang sepi, terkadang dilupakan, tetapi penyair terus menulis puisi, meskipun tidak mendapat perhatian secara gegap gempita. ‘Menyandi sepi' ada dalam situasi seperti itu, kita kutipkan penggalan puisi itu:

“Dan, 
kukunyah sepi
tanpa lagi mengeja 
isyarat-isyarat sendu
yang oleh waktu menjelma beku”

23 penyair ini datang dari kota yang berbeda, Jakarta, Surabaya, Sidoarjo, Klaten, Temanggung, Kudus, Yogyakarta dan beberapa kota lainnya. Dari kota yang berbeda itu, dan tidak semua saling mengenal, tetapi dipertemukan melalui puisi, selain karena mereka mencintai puisi, mereka juga menulis puisi. Jadi, kecintaannya terhadap puisi bersifat produktif.

Pengalaman dan Tema Puisi

Masing-masing dari 23 penyair ini memiliki pengalaman berbeda, baik pengalaman hidup maupun pengalaman menulis puisi. Pengalaman yang tidak sama tersebut, tentu akan mempengaruhi dalam menulis puisi. Bisa jadi, ada yang rajin menulis puisi, tetapi jarang melakukan publikasi melalui media cetak. Namun pengalaman menulis puisi yang tiada henti, walau tidak dipublikasi akan memperlihatkan kematangan puisinya, dan hal ini bisa dilihat pada pilihan kata, diksi dan seterusnya.

Lima penyair dalam antologi puisi ini, saya melihat memiliki seleksi pada kata yang akan ditulis menjadi puisi, sehingga ketika membaca puisinya kita akan menemukan nuansa puitisnya, meskipun puisinya ada yang ditulis secara naratif. Kelima penyair itu ialah Amin Wahyuni, Restia Herdiana, Yuliani Kumudaswari, Resmiyati dan Liestyo Ambarwati Kohar

Namun bukan berarti 18 penyair lainnya tidak memiliki seleksi kata. Saya hanya menyebut nama lima penyair dari 23 penyair sebagai contoh. Kesemua penyair yang puisinya dimuat dalam antologi puisi ini, memiliki kesungguhan yang sama dalam menulis puisi. Mereka berusaha menyampaikan kisah melalui pilihan kata yang berbeda, dan amat suka mengolah suasana, sehingga kata ‘sepi’, ‘biru’ dan sejenisnya memberikan aksentuasi pada nuansa suasana itu.

Perihal tema yang dipilih, meskipun jenis kelamin mereka perempuan dan hanya satu pria, tetapi mereka tidak terjebak pada dunia perempuan. Artinya mereka menulis puisi yang menyajikan dunia perempuan, meskipun ada puisi yang menyajikan kisah mengenai seorang ibu, sebagai personifikasi dunia perempuan, atau kisah tentang perempuan yang lain, misalnya seperti puisi yang berjudul Daif karya Amin Wahyuni, kita kutipkan penggalan puisi itu:

“Perempuan tua itu luluh terkulai di tempat tidurnya
gelegar halilintar terus menari-nari di bola matanya
tak terasa air bening kian pegari membanjiri pipinya 
menggenapi kepedihan atas peristiwa siang tadi “

Ada juga puisi yang menyajikan kisah sosial, atau laik disebut tema sosial. Tidak menggugat atau mengepalkan tangan, melain-kan menuliskan kisah menyangkut suasana kota malam hari. Puisi ini berjudul ‘Episode Perjalanan Malam’ karya Selsa, seorang penyair perempuan dari Temanggung, yang sudah cukup lama bersentuhan dengan puisi. Kita kutipkan penggalan puisinya.


“kerlip-kerlip lampu kota di kejauhan
layaknya kunang-kunang kasmaran
menggoda tuk melumat indahnya
penjaja malam bergelut dengan peluh
digincu merah dan bedak tebal wajahnya
meski gigil bersanding pada takdirnya
ia sandarkan berjuta asa”


Saya memang sengaja hanya menyebut beberapa puisi, sekadar untuk contoh. Karena bagi saya, semua puisi dalam antologi puisi yang diberi judul ‘Menyandi Sepi’ karya 23 penyair ini enak untuk dibaca. Maka, tak ada pilihan lain, berhentilah membaca pengantar ini dan bacalah puisi-puisi yang ada dalam antologi ini.

Terimakasih, selamat menikmati puisi karya 23 penyair ini.


Ons Untoro

Pegiat sastra