Skip to main content

Tema Sosial Dalam Puisi Indonesia


 

Buku yang mengusung enam tulisan ini memayungi tulisannya dalam istilah puisi-puisi yang bertema sosial. Namun, maksud istilah sosial tersebut bukan hanya beragam, tetapi bahkan memberikan karakter yang sangat berbeda. Itulah sebabnya, untuk setiap kasus sosial perlu strategi dalam mengelola dan menganalisis masalah sosial tersebut sehingga setiap kasus sosial mendapatkan penanganan yang proporsional. 

Misalnya, untuk puisi yang berbau “traumatik sosial”, perspektif yang bersifat rekonsiliatif mungkin perlu dipertimbangkan. Kasus yang mencoba mendedah puisi yang melawan kesewenangan rezim penguasa, atau bahkan koruptor, kajian-kajian hegemoni dan dekonstruksi perlu dicermati dan dieksplorasi agar kita tidak “stagnan” dalam posisi “salah baca”. Karena jangan-jangan penyair yang sering diposisikan sebagai pahlawan, sebetulnya juga bagian dari pecundang yang ikut melegitimasi kekuasaan atau bahkan ikut ngompori para koruptor.

Alih-alih, uji materi puisi dan uji penyair juga perlu mendapat perhatian agar kita tidak terjebak pada kelatahan perspektif dan hal-hal yang bersifat emosional. Kelatahan seperti itu menyebabkan kita terbelenggu pada ketidakmampuan mendiskusikan ruang-ruang baru yang dimungkinkan oleh dan dalam puisi. Terlepas dari itu, buku ini sangat berjasa karena paling tidak mengingatkan kita bahwa puisi tetap selamanya pantas dicatat dalam berbagai konteks yang berbeda. 

(Aprinus Salam, Pengajar Sastra di Pascasarjana FIB UGM)


Buku “Tema Sosial dalam Puisi Indonesia” yang ditulis oleh: Genthong HSA, Iqbal H. Saputra, Ons Untoro, Sutirman Eka Ardhana, Mustofa W. Hasyim, merupakan sebuah tafsir cerdas mengenai gejala kepuisian di Indonesia yang sengaja mengangkat dinamika kehidupan sosial pada zamannya. Tentu di sana ada yang terasa kecut, pedas, mencubit, mengiris, menohok, namun semuanya berangkat dari kecintaan mereka terhadap kemanusiaan, bangsa dan negara Indonesia. Dalam buku ini penyair lima sekawan tadi mencoba membuka bingkai dimensi yang tersembunyi di balik puisi-puisi tadi, sehingga nilai yang tak kasat mata berhasil mengejawantah sebagai kelengkapan yang, mungkin, selama ini belum terjamah oleh mata batin kita.

(Iman Budhi Santosa)


Apa yang disebut Sastra Konstektual, dan Sastra terlibat? Benarkah sastra memang selalu kontekstual dengan zamannya, atau sastra memang harus mandiri dan tidak memihak? Perdebatan soal ini, pernah menjadi polemik seru di Indonesia pada tahun 1985. Sastra Kontekstual menurut Arief Budiman, pencetus gagasan ini bersama Ariel Heryanto, adalah bahwa tiap karya sastra mestilah harus ada konteksnya, baik konteks sosial, konteks geografis, atau konteks historis. Menurut pandangan mereka, sastra menjadi kontekstual diukur dari relasi audience-nya atau penikmatnya. Tidak ada karya sastra yang bisa berlaku sepanjang waktu dan untuk segala tempat. Berbeda dengan ‘Sastra Terlibat’, yang melibatkan diri dengan kesadaran terhadap politik, maka Sastra Kontekstual dengan demikian lebih netral.

Lawan dari ‘madzab’ sastra ini adalah apa yang disebut ‘Sastra Universal’ yang meyakini, sastra (justru) harus mandiri, dan harus memandang kebenaran ada di mana-mana. Sebuah ‘madzab’ yang kemudian melanda –dan bahkan mendominasi—sastra Indonesia sejak awal era Orde Baru pada tahun 1966-an, ketika Orde Lama tumbang dan secara kebetulan Lekra diberangus dan muncul Manikebu. 

Melalui aneka tulisan di buku ini, --yang ditulis oleh orang-orang yang notabene sudah lama berjarak dengan ‘masa pergolakan’ itu,-- kita seolah diberitahu bahwa, sastra atau sastrawan memang bukan makhluk bebas lepas yang tidak punya kaitan dengan kelompok sosial lainnya, termasuk zamannya. Tapi mungkinkah? 

Di tengah langkanya buku tentang esai dan kritik sastra di Indonesia dewasa ini, terbitnya buku yang dieditori Ons Oentoro ini niscaya cukup menarik disimak, sekaligus dikritisi, –dan kalau perlu-- digugat.

(Kurniawan Junaedhie, pemulia sastra, Jakarta)


Buku ini mau menegaskan bahwa puisi bukanlah makhluk sunyi yang iseng sendiri. Puisi selalu hadir dalam setiap pergolakan zaman. Puisi diyakini dapat menjadi sarana untuk melakukan kritik dan perlawanan terhadap kedurjanaan kekuasaan. 

(Joko Pinurbo, penyair)