Skip to main content

Wajah Rembulan



 Puisi, bagi Ristia Herdiana, agaknya merupakan nafas hidupnya. Ia tak bisa dilepaskan dari puisi. Selain produktif menulis puisi, Ristia seringkali tampil membacakan puisi karyanya. Antologi puisi yang berjudul ‘Wajah Rembulan’ ini bukan antologi pertama, tetapi merupakan antologi puisi tunggal miliknya yang keempat.

Ada sekitar 60 puisi yang ditulis dari berbagai tahun yang dikumpulkan dalam satu buku. Angka tahun yang berbeda-beda menunjukkan bahwa Ristia rajin menulis puisi di tengah kesibukannya sebagai ibu rumah tangga dan memiliki kegiatan usaha lainnya. Aktivitas keseharian dan menulis puisi bisa dilakukannya, tanpa salah satu saling mengganggu. Di tengah waktu luang, Ristia bisa saja dengan enteng menuju ke Yogya misalnya, untuk membacakan puisi karyanya bersama penyair perempuan lainnya.

Ristia Herdiana, saya kira, seperti penyair perempuan lainnya, yang tumbuh di era digital, dan tidak lagi dimanjakan ruang sastra surat kabar, tetapi justru ruang sastranya lebih luas, dan bahkan bisa menciptakan ruang sastra sendiri melalui media digital, mendorong untuk terus menulis karya sastra, dalam hal ini puisi.

Publikasi pusinya tidak lagi mengandalkan surat kabar. Ruang-ruang sastra seperti antologi bersama, pembacaan puisi adalah bentuk lain dari publikasi, yang salama ini hanya ‘mengandalkan’ surat kabar. Melalui ruang pertemuan seperti itu proses kreatifnya malah saling bergesekan, dan secara individual saling berinteraksi sehingga dimensi kemanusiaan dalam karya sastra menjadi nyata.

Dalam menulis puisi, Ristia mengambil beragam tema, dia bisa berkisah mengenai perempuan, misalnya melalui puisinya berjudul ‘Emak’ atau mendefinisikan perempuan dengan satu keindahan yang dibayangkan, seperti ‘Wajah Rembulan’, atau berkisah mengenai rutinitas yang dia jalani, misalnya pada puisi berjudul ‘Pagi Yang (Selalu) Sama’. Seolah, melalui puisi Ristia tidak mau melewatkan momentum yang dirasakan, atau dilihatnya, dan momentum itu ada puitika di sana sehingga ia merasa perlu menuliskannya menjadi sebuah puisi.

Sebagai perempuan, Ristia Herdiana sangat dekat dengan ibunya. Seolah ia tak bisa dijauhkan darinya. Suasana alam seringkali mengingatkan sosok ibu dalam diri Ristia, dan dia perlu menulis puisi berjudul ‘Nyanyian Mega Biru’. Kita simak puisi dia:


Nyanyian Mega Biru

Ibu,
Malam ini begitu panjang untuk kita lewatkan
Kau melukiskan surga dari bening bola matamu
Dan dari sebait sajak yang kau bacakan untukku,
Di antara ruang penuh harum bunga yang kau sebarkan, sebait sajak kau baca lirih
Merdu suaramu begitu hangat, memenuhi bilik di sudut dada.

Ibu, 
Kau selalu mengingatkanku pada tahun di mana bunga kapas beterbangan
Di mana aku berkejaran menembus semilir angin
Dan berlarian di bawah terik sinar matahari
Katamu, kita adalah derai hujan yang rintiknya saling menyelamatkan
Kau pun mengatakan, kelak nanti aku dewasa dan menua sepertimu, rindu kita akan terus ada

Dan kau, Ibu.
Kau adalah seorang penyair paling mahir
Yang mencintai ayah serta anak-anaknya tanpa banyak kata.

Rasanya, Ristia Herdiana adalah salah satu penyair perempuan yang mulai dan terus tumbuh sebagai penyair bersama dengan para penyair perempuan lainnya, yang memiliki ‘semangat’ yang sama dalam berpuisi. Melalui antologi puisinya ini, Ristia kembali meneguhkan diri, bahwa menulis puisi tidak berhenti dan melalui puisi ia memaknai kehidupan.


Editor