Skip to main content

Perempuan di Ujung Senja

 



Perempuan dan puisi, dua kata yang berbeda, tetapi keduanya bisa saling bertemu, atau setidaknya disatukan: Perempuan menulis puisi atau perempuan membaca puisi. 33 perempuan dari kota yang berbeda, dan latar belakang serta profesi yang tidak sama, ada ibu rumah tangga, guru, jurnalis, dokter, pegawai negeri dan lainnya. Semuanya mempunyai aktivitas yang sama, yakni menulis puisi. Hasil karya mereka dikumpulkan dalam satu buku, dan diberi judul Antologi Puisi 33 Perempuan Penyair ‘Perempuan Di Ujung Senja’.

Di mana mereka tinggal?

Mereka tinggal di kota-kota yang berbeda, ada yang tinggal di Jakarta, Bandung, Temanggung, Sidoarjo, Sragen, Yogya, Tangerang dan kota-kota lainnya. Tidak semua sudah saling kenal, tapi setidaknya satu dua orang sudah saling kenal, atau yang dari Bandung mengenal yang dari Tangerang, tapi belum tentu mengenal yang dari Sidoarjo atau Sragen. Namun mungkin mereka sudah saling mengenal nama.

Kali ini, melalui puisi, mereka saling dipertemukan dan saling berkenalan, secara langsung, atau bisa kontak melalui media sosial. Artinya, puisi saling mendekatkan satu sama lain. Puisi membuat akrab dalam pergaulan. Dengan demikian kita bisa memahami, bahwa puisi memiliki dimensi kemanusiaan, sehingga bisa saling merekatkan.

Dilihat dari puisi-puisinya, mereka bukan baru menulis dalam rentang waktu satu dua bulan, atau setidaknya satu tahun. Mereka telah bergulat dengan puisi cukup lama, meski belum puluhan tahun, tetapi intensitasnya terhadap puisi yang begitu kuat, menunjukkan bahwa mereka bukan sekedar mengisi waktu senggang dalam menulis puisi. Saya kira, mereka memang meluangkan waktu untuk menulis puisi. Predikat kepenyairan bukan sesuatu yang harus dikejar. Saya kira, 33 perempuan ini lebih mementingkan bagaimana menulis puisi, menyangkut predikat perkara lain. Itu urasan orang lain untuk menyebutnya.

Apakah bagi mereka, ini merupakan kumpulan puisi bersama yang pertama kali?

Sebagian dari mereka, 33 perempuan ini, telah memiliki antologi puisi bersama, bahkan bukan hanya satu, lebih dari dua buku antologi puisi bersama. Ada juga yang sudah memiliki antologi puisi tunggal, bukan hanya satu, tetapi dua, atau ada yang sudah menerbitkan novel. Mungkin, hanya satu dua orang yang mencoba mengikuti pertama kali dalam antologi puisi ini.

Namun, antologi puisi bukan satu-satunya ukuran, bahwa intensitas dalam menulis puisi tidak kuat. Ada seorang penyair, yang sudah puluhan tahun bergulat dengan puisi, bahkan dengan tekun mendampingi orang yang menulis puisi dan orang-orang yang didampingi tersebut sudah menerbitkan antologi puisi. Penyair tersebut sampai sekarang belum memiliki antologi puisi tunggal karyanya. Namun, puisi penyair ini tersebar luas dan orang mengenalinya. Tidak ada yang meragukan kemampuan kepenyairannya, meskipun tidak (mau) membuat buku puisi karya sendiri, sampai hari ini. Jadi, antologi puisi bukan satu-satunya ukuran, bahwa dia disebut sebagai penyair.

Saya melihat, setidaknya dari puisi-puisi dalam antologi ini, para perempuan ini bersungguh-sungguh dalam menulis puisi. Sebagian besar saya mengenalnya secara pribadi, dan kegiatannya dalam sastra, termasuk penampilannya dalam membaca puisi, atau apresiasinya terhadap sastra, salah satunya rajin membaca karya sastra, termasuk puisi dan melihat pertujukan pembacaan puisi. Karya-karya 33 perempuan dalam antologi puisi ini mencoba menyajikan beragam tema, salah satunya tema perempuan. Tema ini seperti upaya untuk berkisah mengenai dunia perempuan, tidak harus dunianya sendiri, tetapi dunia perempuan bisa menyangkut seorang ibu, pekerjaan perempuan dan lainnya.

Dalam kata lain, mereka menulis dunia yang dikenali, yang dipahami. Saya kira ini satu pilihan yang tepat. Karena menulis dunia yang dia kenali, artinya memahami betul segala persoalan yang menyertainya. Dunia perempuan hanyalah salah satu contoh yang diambil sebagai tema. Ada sejumlah tema lain yang diangkat, dan pilihan tema itu adalah satu area yang mereka kenali.

Maka, melalui puisi mereka, kita akan bisa mengenali apa yang sedang dibincangkan.

Membaca Puisi 33 Perempuan Penyair

Antologi Puisi berjudul Perempuan di Ujung Senja ini ditulis oleh 33 Perempuan Penyair dari berbagai kota dan dengan beragam latar belakang. Para penulis ini memiliki banyak aktivitas, ada yang menjadi guru, dosen, pelukis, pengusaha, pekerja seni, ibu rumah tangga, pelajar, dokter, seniman batik, aktivis sosial-kemanusiaan, foto model dan sebagainya. Keragaman latar belakang ini membuat puisi-puisi yang ditulisnya ini memiliki kekayaan tematik.

Jika dicermati, dari kekayaan tematik yang disuguhkan ini, ada satu keunikan yang tampaknya menjadi arus utama kesadaran dan cara pandang para Perempuan Penyair ini, yakni ketika menggambarkan sosok perempuan, terutama sosok ibu, yang mengemuka adalah sosok perempuan yang kuat, tabah, mendalam, bijak, tangguh, mandiri, berdaya, memiliki resiliensi yang kuat menghadapi kesulitan, memiliki harapan, dan menjadi teladan. Dalam puisi karya Novi Indrastuti berjudul Perempuan di Ujung Senja, yang dipilih sebagai judul antologi ini, keberdayaan dan kekuatan sosok perempuan itu dilukiskan sebagai perempuan yang tengah menyadap ilham.

seorang perempuan tengah menyadap ilham

memandang cakrawala bercumbu dengan lautan

mengendapkan jiwa dari sehimpunan riak mimpi

sembari berburu sunyi yang masih bersembunyi


Aktivitas menyadap ilham adalah sebuah aktivitas mendalam yang menggambarkan keberdayaan dan kemandirian intelektual maupun spiritual. Ini merupakan sebuah aktivitas memandang cakrawala keluasan pandangan, wawasan dan pengetahuan. Dalam konteks dunia saat ini, aktivitas menyadap ilham itu dapat dilakukan dalam beragam wujud seperti membaca buku, berdiskusi, menuliskan analisis, studi, mendalami tafsir kitab-kitab suci dengan membongkar konteksnya secara kritis, maupun dalam aktivitas spiritual meditasi, merenung, menciptakan keheningan. 

Keberdayaan perempuan juga tergambar dalam puisi berjudul Nenek Pemetik Bunga, karya Nella Widodo. Perempuan berusia senja tetap berusaha mandiri tak mau bergantung pada siapapun dan sanggup menggenggam kebahagiaannya sendiri.

Nenek pemetik bunga 

Menyungging senyum di bibir 

Mengembang pada wajah keriput 

Memamerkan ompong giginya


Mata cekungnya berbinar

Masih tajam menatap hari

Tiada mau bergantung 

Pada siapapun

Meski lemah ia tetap pasrah


Keberdayaan Perempuan itu juga dapat ditemukan dalam gambaran yang disampaikan oleh Ninuk Retno Raras dalam puisi berjudul Kamboja di Makam Ibu, yakni gambaran perempuan yang senantiasa memiliki daya untuk tersenyum dalam semua pengalaman suka maupun duka, tetap berjerih lelah tanpa menyerah, dan menjalani disiplin hidup yang menunjukkan kesetiaan dan kekuatan batin. 

pada bibirmu yang selalu tersenyum dalam duka dan gembira,

Pada kerja kerasmu pantang pasrah,

Pada gigil dingin saat kau bangun di subuh pagi

Lantas seperti kudengar lagi kau menyeret-nyeret sandal usang di lantai tanah rumah kita

menuju dapur, 

menyalakan api.


Semoga puisi-puisi karya 33 Perempuan Penyair yang tersaji dalam antologi ini, sanggup menyajikan pula keindahan, kedalaman, keberdayaan, kebeningan dan sikap hormat dalam diri pembaca. Semoga.


Editor