Skip to main content

Yang Hilang di Yogya



PROFESI wartawan itu tak ada matinya. Seorang wartawan bisa saja berhenti atau pensiun dari pekerjaan formalnya di media, tetapi aktivitas menulisnya tak boleh berhenti, tak bisa pensiun, tak bisa mati. Aktivitas menulisnya harus tetap hidup sampai kapan pun. Ya, harus menyala, harus tetap hidup sepanjang hayat. Menulis yang dimaksud di sini, tentu dalam kontek berkarya.

Buku Yang Hilang di Yogya ini adalah buktinya. Bukti bahwa profesi wartawan itu memang tak ada matinya. Dan, bukti jika menulis itu bagi mereka yang pernah menekuni dunia kewartawanan telah menjadi tugas kehidupan yang mulia sepanjang perjalanan kehidupan, sampai Allah memanggil pulang ke haribaan-Nya.

Tigapuluh dua tulisan yang terhimpun di dalam buku ini ditulis oleh 32 orang yang pernah 'berpeluh-peluh', 'berbasah-basah' dan 'berpanas-panas' di dalam dunia kewartawanan. Beberapa di antaranya masih setia bekerja di media, selebihnya sudah berstatus pensiun, mantan wartawan, dosen, pekerja seni, novelis dan macam-macam. Dan, satu hal yang layak diketahui, ke-32 penulis tersebut tergabung di dalam wadah Paguyuban Wartawan Sepuh (PWS) Yogyakarta.

Buku Yang Hilang di Yogya ini merupakan buku kedua yang diterbitkan PWS bekerjasama dengan Penerbit Tonggak Pustaka, setelah buku pertama Yogya Bercerita - Catatan 40 Wartawan ala Jurnalisme Malioboro terbit Februari 2017. Sesuai dengan judulnya Yang Hilang di Yogya, tulisan-tulisan di buku ini memang berkisah tentang sejumlah hal yang 'sudah hilang' atau sudah tidak ada lagi di Yogyakarta sekarang ini. Sesuatu yang pada suatu masa dulu pernah ada di Yogyakarta, tapi sekarang 'sudah hilang' dan hanya tinggal kenangan bagi sebagian masyarakat Yogyakarta, maupun bagi mereka yang di masa-masa itu pernah tinggal dan mengenyam kehidupan di Kota Pelajar ini. Misalnya, Air Mancur di perempatan depan Kantor Pos Besar (Titik Nol Kilometer), gedung Seni Sono, komplek Shopping Center, bioskop Indra, Soboharsono, Colt Kampus, Perpustakaan Hatta dan lain-lainnya lagi.

Ketika buku ini masih dalam proses editing dan percetakan, dua orang penulisnya telah lebih dulu dipanggil pulang ke haribaan Allah. Mas Budhi Wiryawan yang berkisah tentang Pasar Reksonegaran, Hilang dalam Persaingan, dan Mas Rs. Rudatan yang menulis Pabrik Besi “Purosani”, Dulunya Pabrik Senjata beberapa waktu lalu berpulang ke haribaan Allah, sehingga keduanya tak sempat melihat buku ini terwujud. Terima kasih Mas Budhi Wiryawan dan Mas Rs Rudatan, engkau berdua telah menyelesaikan tugas mulia itu dengan sempurna. Menjelang akhir hayat, tugas mulia menulis itu diselesaikan di buku ini. Semoga dirimu berdua bahagia di alam sana, dan khusnul khotimah.

           

 Salam Editor

             

Sutirman Eka Ardhana