Skip to main content

Lebaran Tanpa Ibu



 Ristia Herdiana baru saja kehilangan ibunya. Dia seperti tidak bisa melupakannya. Barangkali, kenangan masa kecil bersama ibunya begitu menyita, atau malah hari-harinya tak bisa (di)jauh(kan) dari ibunya, meskipun Ristia sudah berkeluarga dan memiliki anak. Mungkin peran ibu sekaligus anak yang membuat dia tak bisa melupakan ibunya. Agaknya, pengalaman sebagai seorang ibu dari dua anak, Ristia sungguh menyelami kasih sayang ibu sekaligus pengorbanan seorang ibu.

Karena Ristia seorang penyair, sebut saja begitu, yang sudah menerbitkan buku puisi tunggal maupun antologi puisi bersama dengan para penyair lainnya, kenangan terhadap ibunya dia kristalkan menjadi puisi. Memang, tidak semua puisi, dari 60-an puisi yang diterbitkan menjadi buku menulis mengenai ibunya. Ada sejumlah puisi yang dia tulis, khusus untuk ibunya: tanda dia tak bisa (atau belum) melupannya.

Buku puisi ini diberi judul ‘Lebaran Tanpa Ibu’. Judul ini diambil dari salah satu puisi dari 60 puisi yang diterbitkan menjadi buku. Melalui puisi ini Ristia, di saat memperingati lebaran Juni 2018 lalu, tepatnya 15-16 Juni 2018, untuk kali pertama tidak bersama ibunya. Agaknya, lebaran tanpa ibunya, ada sesuatu yang hilang dari Ristia, dan apa yang dialami itu memberi inspirasi untuk menulis puisi. Rupanya, melalui puisi Ristia ingin berkomunikasi dengan ibu, atau setidaknya menggambar kenangan bersama ibunya di masa lalu. Puisi sederhana, dan tidak jatuh pada curhat. Rasanya, sebelum menulis puisi ini Ristia mengendapkan pengalaman personal tersebut, sehingga ketika ditulis menjadi puisi, pengalaman itu bukan bentuk lain dari curhatan. Kita baca puisi itu:

Lebaran Tanpa Ibu


Takbir menggema selepas maghrib tiba
Kepul asap rebusan ketupat, aroma tumis bumbu 
Bercampur air mata yang memenuhi sesaknya rongga dada

Aku semakin lindap dalam degub sunyi
Barisan takbir berkeliling menyeruak memecah sepi
Esok hari, tak ada lagi sujud pada kakimu memohon ampun atas setiap khilaf
Esok hari tak ada lagi linang air matamu, mata yang selalu dipenuhi sajak tanpa banyak kata

Lebaran tanpa ibu
Serupa puisi yang terjatuh dari tangkai waktu

Jakarta, Juli 2018


Momentum terhadap ibunya terus menyertai Ristia, dan setiap momentum dia bekukan menjadi puisi, namun bukan jenis puisi yang ‘beku’, melainkan puisi yang membuka ruang kenangan, dan mungkin orang lain memiliki pengalaman yang sama, hanya berbeda dalam impresi. Ristia begitu dalam ingatannya pada ibunya, seolah dia seperti tidak ‘rela’ ditinggalkan, meskipun dia bisa menerima kepergian ibunya, dan dia menyadari bahwa ibunya telah tiada. Dengarkan puisi yang berjudul ‘Detik Kepergianmu’ ini :


Detik Kepergianmu

Lauhul mahfudz, empat puluh hari yang lalu
Tertiup daun bertuliskan namamu dalam takdir sang Illahi Rabbi
Daun kehidupanmu layu perlahan, mengering dan terjatuh 
Seribu andai terus bermain dalam benak
Meninggalkan sesal yang kian majal

Sakaratul maut di penghujung akhir hidupmu
Seribu maaf kupinta kepadamu, 
Pergilah Ibu, ikhlasku mungkin meringankan jalanmu
Pergilah Ibu, tak lagi dapat kami melakukan apapun
Tak kuasa pula aku menolak apa yang menjadi kehendakNya

Takdir memanggilmu pulang menuju rumah keabadian
Hembus nafas terakhirmu terhenti di pusaran waktu, pukul dua empat puluh lima menit
Engkau berpulang…

Sesaat engkau pergi, duniaku runtuh


Jakarta, 24 September 2017


Dua puisi di atas, sekedar menjadi contoh bagaimana Ristia mengenang ibunya melalui puisi. Kenangan terhadap ibunya adalah bentuk kasih dan cinta. Puisi-puisi Ristia memang sarat dengan cinta, tetapi bukan hanya cinta sejoli, melainkan cinta terhadap kehidupan, termasuk cinta terhadap ibunya. Agaknya, bagi Ristia, hidup harus dijalani dengan penuh cinta. Karena hidup bukan beban, melainkan anugerah. Maka, bagi Ristia, mencitai kehidupan adalah bentuk dari mencintai Tuhan. Puisi Ristia yang berkisah tentang cinta dalam arti yang luas, berjudul ‘Bertepuk Sebelah Tangan’ :


Bertepuk Sebelah Tangan


Apa yang lebih sepi dari mencintai di jalan sunyi?
Apa yang lebih luka dari bungkam yang lebih dalam selain mencintai diam-diam
Aku hanyalah debu atau bahkan badai yang menghalangi jalanmu
Tak pernah ada tempat bagi rinduku atau sekadar mengingat namaku

Aku bersembunyi di balik diamnya malam
Mengeja sajak ngilu di sepanjang pertemuan pertautan
Dan aku tahu, waktu semakin menjauh dari inginku

Di pucuk pohon ladang sepi
Di hamparan remah, getah dan ranting yang patah 
Cintamu tak terjangkau
Dan aku akan selalu ada dalam keabadian bara api yang tak pernah padam,
Mencintaimu dalam diam yang kau tiadakan


Jakarta, Januari 2018


Pengalaman puitik Ristia diperoleh tidak hanya di tempat dia tinggal di Jakarta, tetapi termasuk di mana dia berada, atau bahkan sedang di mana. Momentum puitik itu ia raih dan dia tuangkan menjadi puisi. Misalnya dia sedang di stasiun Gambir, momentum puitik yang menyelinap langsung dia raih. Bisa saja dia menuliskannya melalui hapenya, untuk menjaga agar momentum puitik tidak hilang, atau juga dia sedang di Bangkok, dia melihat sesuatu yang menarik, dan di sana ada momentum puitik yang dihembus, dan tidak ingin kehilangan momentum itu, Ristia segera meraihnya.

Dua puisi, yang pada bagian bawah dia tuliskan Gambir dan Bangkok, setidaknya memberikan tanda sedang di mana Ristia saat momentum puitis itu lewat, dan dia tak melepaskannya begitu saja. Dalam dua puisi ini, Ristia tak bisa melepaskan rindu, entah rindu kepada siapa. Selalu saja kata rindu, di Gambir atau di Bangkok, menyertai ‘langkahnya’. Di Gambir rindu berkaitan dengan parfum, itu artinya rindu terhadap bau parfum, entah siapa yang menggunakan parfum, dan Ristia hafal betul jenis parfumnya, yakni vanila.

Rindu di Bangok lain lagi kisahnya. Di tempat ini, rindu milik Ristia penuh persoalan. Kira-kira merupakan kisah masa lalu yang yang tak perlu diingat, mungkin karena terlalu menyakitkan, yang dalam bahasa puisi Ristia menyebutnya sebagai ‘Mengingatmu seperti mengelupaskan cat pada dinding tua yang suram’. Rupanya, bagi Ristia, Rindu tidak selalu menyenangkan, melainkan mengingatkan suasana nestapa, sehingga bisa menimbulkan amarah, maka dari itu rindu jenis ini tak perlu diingat, dan Ristia berseru: ‘Dan tak ada lagi pahat namamu di bebatuan rinduku’

Mari kita baca dua puisi yang saya sebut di atas:


Parfum Beraroma Vanilla


Aku ingin bercerita kepadamu
Tentang jebak rasa dalam parfum beraroma vanilla
Terperangkap dalam degub rindu yang tak berkesudahan

Aku ingin bercerita kepadamu
Tentang aroma manis vanilla bagai indahnya bianglala
Berakhir semu bagai puisi hitam yang mendesir di seluruh tubuhku

Parfum beraroma vanilla 
Menafsir tanda Tanya
Adakah kau mengingatku, 
Adakah kau masih mengenaliku

Ah, sudahlah
Tatap mata dan senyum kita yang sesaat hanya sebatas ada dalam antrian tiket kereta 
Kau melesat pergi tanpa senyum bahkan lambaian tangan
Tersisa rindu yang terjebak dalam parfum beraroma vanilla 


Gambir, Februari 2018


Musim Berganti 


Aku mengingatmu dalam perih dan sesalku,
Bukan dalam usung rindu seperti waktu yang telah lalu
Dan sepertinya tak perlu menghikayatkan kepergian
Ia bagai titik embun yang menguap retas, yang seakan tiada pernah bermuasal

Mengingatmu seperti mengelupaskan cat pada dinding tua yang suram 
Tak ada lagi taut rindu antara kita
Hanya nestapa yang membungkus cinta yang kini berubah menjadi kain perca
Bersama angin, pudar sudah jerat rasa yang telah lalu

Dan tak ada lagi pahat namamu di bebatuan rinduku

Bangkok, Februari 2018


Sebagai perempuan penyair, dari sejumlah perempuan penyair yang, sebut saja ‘lahir di era medsos’, Ristia Herdiana menunjukkan kesungguhannya dalam menulis puisi. Ia tidak sekedar ‘numpang lewat’ sebagaimana karakter medsos. Antologi puisi tunggal ini bukan yang pertama, tetapi sudah yang kedua. Puisi-puisi yang lain telah diterbitkan bersama dengan para penyair lainnya, dan setidaknya bisa untuk menunjukkan bahwa Ristia sungguh-sungguh dalam menulis puisi.

Saya berharap, Ristia akan terus bergulat dengan puisi, dan tidak berhenti lantaran dia menjadi ibu rumah tangga. Di tengah kesibukan sebagai ibu rumah tangga, seperti telah dia jalani selama ini, dan kesibukannya dalam pekerjaan lain, Ristia masih menulis puisi. Buku puisi ini merupakan tanda, bahwa ia masih terus menulis puisi.

Ristia, selain tak bisa dipisahkan dari keluarganya, ia juga tak bisa (di)jauh(kan) dari puisi. Bersama keluarga, Ristia mencintai puisi dan terus menulis puisi.


Ons Untoro