Skip to main content

Himne Hujan, Antologi Puisi 22 Penyair



Menjadi Semakin Bernilai

 "Himne Hujan" adalah antologi Puisi buah karya 22 Penyair dari beragam daerah. Para penyair ini telah secara sengaja meluangkan waktu, yakni sengaja mencipta waktu luang di antara keseharian hidup, sebagai saat-saat untuk mengambil jarak terhadap segala pengalaman, merefleksikannya, membacanya dan menempatkannya dalam kerangka makna yang lebih luas, lalu secara kreatif-kontemplatif menuliskannya dalam bentuk puisi. 

Puisi yang terangkum dalam antologi ini merupakan hasil cara memandang yang reflektif-kontemplatif dan kreatif atas kenyataan hidup yang dijumpai. Melalui antologi Puisi ini, para penyair mencoba membagikan respon batin mereka atas pengalaman, yang selanjutnya akan melahirkan respon batin baru dan berbeda oleh para pembaca. 

"Himne Hujan" yang dipilih sebagai judul antologi ini, diambil dari salah satu puisi karya Ribut Achwandi dari Pekalongan. Puisi ini menyuguhkan cara membaca fenomena hujan sebagai sarana untuk mengenal sang Pencipta, mengenali jaring-jaring kehidupan yang saling terkoneksi dan menumbuhkan harapan, serta menjadi sarana untuk mengakui keterbatasan diri sebagai makhluk yang selalu merasa perlu untuk dibasuh dalam ketundukan penuh permohonan ampunan. Hujan, yang barangkali merupakan fenomena biasa bagi orang kebanyakan, dibaca secara lebih bernilai oleh penyair. Hidup yang biasa itu merupakan hidup yang bernilai. 

Dengan caranya masing-masing yang berbeda satu sama lain, setiap puisi yang terangkum dalam Antologi ini menawarkan upaya untuk membuat segala yang tampak biasa itu menjadi lebih bernilai dan mendalam bagi manusia. Melalui puisi-puisi ini, segala hal yang ugahari, dibuka dan disuguhkan sebagai sesuatu yang lebih berarti.

Beragam tema disuguhkan dalam Antologi Puisi ini. Puisi berjudul "Catatan Seorang Guru" karya Turini Adi Agustini dan puisi berjudul "Pada Hari Jadimu Guru" karya Heny Gunanto, dengan caranya masing-masing menyuguhkan sebuah pertanyaan reflektif dan mendalam tentang arti kehadiran seorang guru di hadapan semua anak didiknya. Apakah para guru telah sungguh-sungguh menghadirkan dirinya sebagai sahabat dan teman bagi para peserta didik untuk mempelajari sesuatu yang lebih berarti dalam kehidupan bukan sekedar mempelajari ilmu pengetahuan sebagai ilmu pengetahuan yang kadang-kadang justru melahirkan kebosanan? Apakah seorang guru sungguh-sungguh telah menghadirkan sesuatu yang berarti sehingga ia pantas memperingati hari jadi? Melalui kekhasannya masing-masing, dua puisi yang berbeda itu menyuguhkan gerak refleksi (menengok kembali) yang mendalam dan berisi. Kedua puisi mengajak pembaca untuk berhenti, mencermati dan mengunyah kembali kenyataan yang dihadapi.

Akhirnya, melalui Antologi Puisi ini, para penyair menawarkan sebuah langkah untuk bersandar sejenak, menciptakan jeda dalam rutinitas kehidupan, meluangkan waktu atau membuat waktu luang sebagai kesempatan untuk secara produktif mengguratkan arti dan makna pada setiap nafas kehidupan dan pengalaman sehingga semuanya menjadi lebih bernilai. Penggalan puisi "Bersandar Sejenak" karya Heny Gunanto di bawah ini, sangat cocok sebagai penggambaran:

Bersandar sejenak untuk lanjutkan perjalanan panjangmu, itu boleh anak perempuanku,
sangat boleh ...
Itulah yang kelak akan memberimu pelajaran berharga
Karena dalam rehat, manusia perlu berkontemplasi untuk merenung dan memikirkan hal terbaik apakah yang bisa kita berikan kepada anak-anak negeri ini

Bersandar sejenak untuk lanjutkan perjalanan panjangmu, itu boleh anak gadisku ...
karena dalam rehatmu itu
kamu boleh berharap menemukan kebutuhan yang benar bagi hidup dan pengabdianmu
searah dengan kehendak-Nya
di sepanjang jalan berikutnya.


Semoga para Penyair yang telah menulis Puisi dalam Antologi ini dan para pembaca yang menikmatinya, semakin sanggup menapaki keugaharian hidup sebagai sesuatu yang berarti dan semakin bernilai.


Indro Suprobo, Editor