Skip to main content

Membaca Hujan di Bulan Purnama


 

Di tengah media yang terus berkembang, rupanya puisi tidak hilang, malah ikut berselancar di lautan media yang semakin mempunyai beragam formula. Puisi seperti bisa mengambil tempat di mana saja, dan ruang-ruang yang dihuni puisi, kecil atau besar tidak merisaukan bagi para penyair. Bahkan melalui karya puisinya, para penyair mengisi ruang-ruang yang memiliki beragam rupa. Dari beragam rupa bisa dibuat dalam dua kategori, yakni ruang konvensional dan ruang digital.

Pada mulanya, puisi tumbuh di ruang-ruang konvensional, misalnya di rubrik budaya surat kabar, atau diterbitkan dalam bentuk buku, yang sifatnya masih stensilan, atau juga dibacakan di ruang-ruang konvesional sepeti ruang pertunjukan dan sejenisnya, termasuk dibacakan di balai desa dan ruang-ruang yang ada di kampung lainnya.

Kita bisa melihat, tiga ruang konvensional yang sekarang masih terus dipelihara, dan puisi nyaman tinggal di dalamnya, ialah rubrik sastra di surat kabar, penerbitkan buku puisi dan pembacaan puisi di ruang tertutup atau terbuka. Tiga ruang ini memang tidak bisa ditinggalkan oleh penyair. Bisa dikatakan, setiap penyair akan mengisi tiga ruang itu keetika ada kesempatan yang diberikan kepada penyair.

Sejak Indonesia merdeka, setidaknya kalau kita mulai melihat puisi setelah Indonesia merdeka. Penyair terus menulis puisi meskipun jumlahnya tidak (terlalu) banyak, dan rubrik sastra di surat kabar memberi ruang bagi puisi, meskipun tidak setiap hari puisi dimuat di surat kabar. Umumnya, seminggu sekali rubrik sastra menyajikan puisi karya penyair, tentu, secara bergantian.

Selain itu, puisi diterbitkan dalam bentuk buku. Ada penerbit yang memang bersedia menerbitkan buku puisi, meski tidak setiap penyair puisinya diterbitkan dalam bentuk buku. Buku puisi yang sampai sekarang (terus) diterbitkan meskipun penyairnya sudah lama meninggal, salah satunya adalah puisi Chairil Anwar. Puisi karya penyair dari generasi setelah Chairil Anwar, yang juga sudah meninggal dan puisinya masih (terus) diterbitkan ialah Rendra. Puisi karya kedua penyair tersebut terus dibacakan oleh generasi, yang tidak mengenalinya, dalam arti generasi yang lahir setelah Chairil Anwar meninggal.

Pendek kata, ruang konvensional terus memberi ruang bagi penyair dan karyanya.


Puisi Di Ruang Digital

Kita tahu, puisi terus ditulis oleh para penyair dari generasi yang berbeda, termasuk penyair milenial. Bahkan bisa dikatakan, puisi seperti air bah membanjiri ruang-ruang, dan ruang konvensional tidak lagi memadai, maka masuknya puisi di ruang digital, termasuk menyebar melalui facebook, instragram, Whatshap dan jenis media sosial lainnya. Ini artinya arus puisi tidak lagi bisa ‘dibendung’ dan ruang konvensional bukan lagi satu-satunya ruang yang digunakan untuk mempublikasikan puisi.

Selain itu, rubrik puisi disediakan oleh media online. Tentu ada banyak media online yang mengakomodasi puisi dan jenis karya sastra lainnya, misalnya cerpen. Dari sejumlah media online yang memberi ruang puisi ialah tembi.net, yang membuka rubrik sastra dan setiap Jumat puisi karya penyair ditayang.

Ada banyak penyair dari berbagai daerah di Indonesia mengirm puisi ke tembi.net dan setelah diseleksi puisinya ditayang. Mereka, para penyair ini beragam latar belakang dan dari segi usia juga berbeda-beda. Ada penyair yang sudah lama bergelut dengan puisi, dan proses kepenyairannya dibentuk sejak masih muda, sekitar usia 20an tahun, dan sampai sekarang masih terus menulis puisi. Bahkan ketika mudanya pernah mengasuh rubrik sastra di satu media harian. Beberapa nama itu di antaranya, Sutirman Eka Ardhana, Marjudin Suaeb, Bambang Widiatmoko dan nama-nama lain perempuan penyair di antaranya Naning Pranoto, Sulis Bambang dan sejumlah nama lainnya.

Mereka, para penyair ini, datang dari kota yang berbeda, dan tidak hanya dari Yogya, tetapi ada yang dari Sumatra Barat, Madura, Jakarta, Bekasi, Sragen, Ngawi, Sidoarjo, Bandung dan kota-kota lainnya. Menariknya, jumlah perempuan penyair cukup banyak. Ini artinya, bahwa kepenyairan tidak (lagi) didominasi kaum pria.

Ruang digital, yang memberi ruang sastra berbeda dengan rubrik sastra yang disediakan di media cetak. Karena di ruang digital orang bisa mengakses dari kota manapun, dan bisa dibaca secara bersamaan. Berbeda dengan rubrik sastra di media cetak, orang harus membeli atau mencari surat kabar yang memuat puisi, dan satu koran dibaca satu orang secara bergantian. Namun keduanya memberikan suasana yang sama: menyenangkan bagi penyair yang puisinya ditayang.

Para penyair yang menulis di tembi.net selain penyair yang dari segi usia sudah di atas 60 tahun, namun ada penyair muda yang lahir tahun 1990-an, atau malah akhir 1990-an. Dari usia yang berbeda, masing-masing memiliki kecintaan terhadap puisi. Dan dari jenis kelamin, lebih banyak perempuan yang menulis puisi, meskipun penyair bukan sebagai profesinya, melainkan memiliki profesi lain, misalnya guru, atau malah pengusaha, tetapi kreativitas dalam hal menulis puisi terus dipelihara. Ini saya kira, satu pilihan yang menarik; antara puisi dan profesi berjalan seiring.

Karena ruang konvensional sepenuhnya tidak bisa ditinggalkan, maka Tembi Rumah Budaya yang mengelola tembi.net dan Sastra Bulan Purnama, tetap menjaga ruang konvensional supaya ada, dalam bentuk menerbitkan puisi yang sudah ditayang di ruang sastra tembi.net sebagai buku antologi puisi.

Untuk tahun 2019 ini merupakan periode kedua seri sastra tembi.net yang diterbitkan dalam bentuk buku. Karena seri pertama sudah diterbitkan Mei 2018 lalu. Seri kedua, terbit Mei 2019 dan diberi judul ‘Membaca Hujan di Bulan Purnama’. Seri pertama diberi judul ‘Kepada Hujan di Bulan Purnama’.

Penyair yang tampil di seri pertama dan kedua sebagian besar berbeda, hanya ada beberapa orang yang kembali ikut, dan jumlahnya juga berbeda. Seri pertama ‘Kepada Hujan di Bulan Purnama’ diikuti 31 penyair dari berbagai kota. Seri kedua diikuti 50 penyair dari berbagai kota, termasuk dari luar Jawa.

Antologi puisi seri sastra tembi.net ini akan diluncurkan di Sastra Bulan Purnama, bentuk dari ruang konvensional yang lain. Tentu, tidak hanya berhenti di ruang konvensional saja.

Karena, yang konvensional dan digital saling mengisi dan melengkapi, dan keduanya tidak saling bisa ditinggalkan, maka di ruang konvensional dalam bentuk pertunjukan sastra: membaca puisi, musikalisasi puisi, lagu puisi dan dramatisasi puisi diteruskan di ruang digital dalam bentuk disiarkan langsung secara streaming melalui youtube.

Jadi, yang konvensional dan yang digital puisi di Tembi Rumah Budaya terus saling berinteraksi.


Nuranto

Ketua Yayasan Rumah Budaya Tembi