Skip to main content

Jika Jakarta Libur Sehari



 Sudarmono, saya kenal sekitar 25 tahun lalu, dan sudah cukup lama tidak bertemu, tetapi tidak saling lupa. Untuk menandai usianya yang sudah 55 tahun, Darmono, demikian saya memang-gilnya, menerbitkan antologi puisi tunggal karyanya. Sejumlah puisi yang dia tulis, salah satunya, yang berjudul ‘Lompatan Ke 55’ mereflekiskan perjalanan hidupnya selama ini. Darmono merenungkan perjalanan hidupnya, dan melalui puisi dia megekspresikan renungannya:

Seperti sejarah
aku mengalir mengikuti arusnya
menggelembung membawa diriku
bayanganku tinggal sepenggalang galah
berlarian di padang yang gersang
sementara aku bertanya pada pepohonan
bersyukurlah pada nyanyian musim


Begitulah alinea pertama dari puisi berjudul ‘Lompatan 55’, yang menyajikan kisah hidupnya, yang ‘mengalir mengikuti arusnya’. Kata ‘nya’ di sini menunjuk jalan hidupnya, yang kini tinggal di Bekasi, menjadi karyawan satu perusahaan swasta. Tetapi, Darmono tidak bisa melupakan tempat tinggalnya, satu desa di wilayah Bantul, yang tidak jauh dari pantai selatan, dan rimbun akan pepohonan. Jarak ingatannya antara tempat tinggalnya kini yang gersang, seolah hanya ‘sepenggalang galah’, dan dia selalu ingat akan desanya, sehingga dia merasa perlu ‘bertanya pada pepohonan’.

Dalam usia 55 tahun, saya kira ini usia pensiun, Darmono merasa rindu pada kampung halamannya di desa. Seolah ia ingin kembali pulang mengenakan baju seperti dulu dia pernah mengenakannya di desa, dan tidak perlu mengenakan pakaian seragam karyawan. Angan Darmono menguat, seperti ingin segera pulang menjalani pensiun. Dengarkan bagian alinea lain dari puisi pada judul yang sama:

Seperti alat ukur
aku mengukur panjang bayangan
tertusuk duri kehidupan nyata
bayanganku robek bagai baju
compang-camping dan lusuh
hingga aku tak bisa berkata-kata
hanya diam tertegun
berharap masih ada kereta
yang hendak menjemputku pulang


Rupanya, Darmono memiliki harapan pada usia pensiunnya. Harapan itu bukan berupa ingin diperpanjang lagi masa kerjanya, atau mendapat pekerjaan lain, tetapi harapan untuk kembali tinggal bersama anak-anaknya di saat sudah mulai tua. Puisi berjudul ‘Tanah Harapan" pada alinea terakhir meneguhkan harapan itu. Simak penggalan puisi itu :

Di tanah harapan telah menunggu kita
anak-anak cinta kasih disaat kita tua
keperkasaan adalah terbatas
bukan seperti tuduhan di pengadilan
yang meruncing diambang omah bubrah
berbeda saat kita masih muda belia
terombang-ambing tak masa depan

Puisi-puisi yang lain, saya kira masih ada beberapa yang berkaitan dengan usianya yang sudah menginjak 55 tahun. Dalam puisi-puisi itu, di antaranya berjudul ‘Sekuel Tanda 1’, ‘Sekuel Tanda 2’ dan ‘Sekuel Tanda 3’ menyajikan kisah mengenai kerinduan, termasuk kerinduan akan masa lalu. Kepasrahan hidup, dan juga perdamaian dirinya. Mungkin, pada yang terakhir ini adalah upaya mendamaikan hatinya, dari keseharian penuh aktivitas, dan harus mengurangi–kalau tidak tepat dikatakan menghentikan—kegiatan kesehariannya. Kisah dalam puisinya memang tidak hanya menunjuk pada persoalan hidupnya, lebih-lebih persoalan pribadi, tetapi memiliki dimensi sosial. Kita kutipkan satu puisi utuh berjudul ‘Sekuel Tanda 3” :

Sekuel Tunda 3


Perdamaian kemarin
tertunda tanpa sebab
mengalir saja
mengikuti aroma kata
sepi yang memikat
tiba-tiba riuh menghujat

Perdamaian hari ini
lebih sekedar basa-basi
orang langsung menyindir
padahal ia bodoh dan pandir
janji manis gampang terucap
banyak serakah merapatlah rakyat

Perdamaian esok hari
mungkin lebih indah dari sejarah
bukan seperti ramalan menakutkan
bisa mengendalikan ilmu pengetahuan
semua terhindar dari dosa dan sesal
mengalir tanpa niat pura-pura

21 Maret 2017

Melalui puisi-puisinya Sudarmono menyajikan kisah pengalaman hidupnya, dan impiannya. Rupanya puisi, memberikan kebaha-giaaan Sudarmono dalam menjalani kehidupan, selain tentu saja, istri dan anak-anaknya. Melalui puisi, agaknya, Sudarmono mampu mengekspresikan kegelisahannya dan persoalan sosial lainnya. Maka, sudah beberapa kali puisinya masuk dalam antologi Puisi Menolak Korupsi.

Melalui buku puisi tunggalnya ini, Sudarmono mencoba meyakinkan diri, bahwa dia terus menulis puisi, dan jumlahnya tidak sedikit. Beberapa yang termuat dalam antologi puisi ini hanyalah sebagian dari jumlah yang cukup banyak itu.

Sudarmono Yang Saya Kenal

Kalau tidak salah ingat, saya kenal Sudarmono tahun 1989, ketika dia mengikuti latihan pengembangan masyarakat di Kaliurang, Yogyakarta. Kebetulan saya menjadi salah satu fasilitatornya. Saat itu, Sudarmono sudah menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum Atma Jaya, Yogyakarta. Ketika masih mahasiswa Sudarmono sudah aktif di bidang kesenian, terutama seni teater, dan bersentuhan dengan sastra. Apalagi saudara Sudarmono, lebih tepatnya pamannya, dikenal sebagai aktor dan sutradara teater di Yogya, dan merupakan anggota senior dari Bengkel Teater Rendra, juga memimpin Teater Dinasti di Yogyakarta. Melalui interaksi dengan Fajar Suharno, yang tak lain pamannya itu, seorang aktor dan sutradara teater, bakat seni Sudarmono diasah. 

Lama tidak bertemu dengan Sudarmono, rupanya dia sudah tinggal di Bekasi, dan bekerja di satu perusahaan swasta di sana, dan saya dengar menjabat sebagai Corporate Secretary. Dipertemukan lagi melalui media sosial facebook, kira-kira 5 atau 6 tahun yang lalu, dan saya tidak pangling dengan wajahnya, meskipun konstruksi tubuhnya sudah berubah, tidak seperti saya kenal tahun 1989 dulu. Nama facebooknya, pada awalnya tidak menggunakan namanya lengkap, tapi dari fotonya saya tidak pangling.

“Ini Darmono ya?” tanya saya ketika mulai saling berkenalan melalui facebook.

“Iya, mas. Betul. Bagaimana kabar mas Ons?” begitu kata Darmono balik menyapa.

Akhirnya, kita kembali dipertemukan melalui media sosial, dan setiap kali dia pulang kampung, kita selalu bertemu.

Rupanya, di Bekasi Sudarmono mempunyai kegiatan seni, bahkan menggerakkan kegiatan kesenian di sana. Malah bukan hanya kesenian, dia juga aktif dalam kegiatan buruh. Jadi, kegiatan seni dan sosial dilakukan oleh Darmono, seorang Sarjana Hukum yang sekaligus mempunyai aktivitas di bidang seni dan dikenal sebagai seorang penyair.

Tentu, bersentuhan saya dengan Darmono, pada akhir-akhir ini bukan pada pembelaan terhadap buruh, tetapi lebih pada menumbuhkan kreativitas dalam menulis puisi. Satu ruang kecil dari bangunan ruang sosial budaya, yang memberikan kebahagiaan tersendiri, dan Darmono, tampaknya menikmati menghuni ruang kecil itu. Dan di sana, kreativitasnya, dalam hal ini menulis puisi terus mengalir.

Rupanya, selain aktif di wilayah sastra sekaligus rajin menciptakan puisi, Sudarmono dikenal juga sebagai penggerak buruh, bahkan sebagai pengurus FSPMI (Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia). Maka, tidak heran jika seringkali dia terlihat di tengah gerakan buruh, dan setiap acara yang disebut sebagai may day, Darmono, hampir-hampir tidak absen. Judul antologi puisi ‘Jika Jakarta Libur Sehari’, selain diambilkan dari salah satu judul puisi yang ada di dalam buku ini, rasanya, selain memotret keadaan di Jakarta saat sehari libur untuk pilpres dan pileg 2019, sekaligus mengkristalkan momentum pengalamannya di tengah gerakan buruh di Jakarta.

Buku puisi yang diterbitkan ini, adalah bukti bahwa Sudarmono tidak berhenti menulis puisi.

Selamat, dan teruslah berkarya. Sahabatku penyair.


Ons Untoro, Penyuka puisi dan pegiat Sastra, tinggal di Yogyakarta