Skip to main content

Sihir Hujan


 

Di Panggung sastra Ristia Herdiana tidak gegap gempita, dan ‘jarang hadir’ di perhelatan sastra yang diselenggarakan di banyak tempat, tetapi bukan berarti dia menghindar dari kegiatan sastra. Saya sering melihat dia berada dalam kegiatan sastra di TIM Jakarta misalnya, ketika ada acara sastra. Rupanya, kehadiran tidak terlalu urgen bagi Ristia, yang lebih urgen adalah mencipta puisi. Ini yang saya kira lebih penting ketimbang banyak hadir, tetapi sepi dari karya. Ini kali ketiga dia mempunyai buku puisi tunggal, selain tentu saja, buku kumpulan puisi bersama di antara sejumlah penyair lainnya.

Buku puisinya diberi judul ‘Sihir Hujan’. Memang terasa puitis judulnya. Judul buku ini diambil dari salah satu puisi yang ada di dalam buku. Melalui puisi, Ristia menyajikan kisah persoalan kehidupan, bukan saja kehidupan di Jakarta di mana dia tinggal, tetapi karena dia sering bepergian, atau sebut saja traveling, pengalamannya itu mengkristal menjadi puisi. Pendek kata, Ristia menulis puisi tidak dari ruang kosong, tetapi dari pengalaman hidup, yang dia ramu dengan imajinasi, dan tentu saja pilihan diksi dan pilihan kata yang cukup cermat, sehingga puisinya terasa enak dibaca, selain tidak rumit dipahami, puisinya memiliki makna.

Penyair memang tidak bisa berhenti menulis puisi. Meskipun cukup produktif menulis puisi, seseorang tidak harus selalu disebut sebagai penyair. Sebut saja, predikat penyair hanyalah akibat, bukan tujuan. Menulis puisi tiada henti jauh lebih penting ketimbang predikat penyair. Ristia, ibu dari dua orang anak ini, masih menyisakan waktu untuk menulis puisi, artinya kreativitasnya tidak hilang di tengah kesibukannya sebagai ibu rumah tangga, yang terkadang rutin dan menjenuhkan. Rupanya, selain memberi ruang untuk puisi dalam hidupnya, Ristia juga mempunyai aktivitas lain, yang tidak berkaitan dengan puisi, melainkan untuk kepentingan ikut menyangga kehidupan rumah tangga, dan keduanya, antara puisi dan kegiatan sehari-harinya, bisa dijaganya agar keduanya tidak saling mengganggu.

Rendra pernah memberi nasehat, bahwa menulis puisi dari yang dikenali, bukan menulis sesuatu yang jauh dari kehidupannya. Meskipun mungkin Ristia belum pernah mendengar nasehat itu, dalam menulis puisi, Ristia berangkat dari yang dia kenal dan alami. Agar tidak jatuh menjadi seperti curhat, apa yang dia alami itu diendapkan terlebih dahulu, agar menep (dalam istilah Jawa), baru kemudian dia tuliskan menjadi puisi.

Maka, tidak heran jika ketika membaca puisi karyanya, lebih-lebih puisi yang terkumpul dalam judul ‘Lebaran Tanpa Ibu’ Ristia menangis sambil membaca puisi, sehingga sempat berhenti sejenak, agar tangisnya tidak mengganggu pembacaan puisi. Karena bagi Ristia, membaca puisi adalah membaca hidupnya.

Puisi-puisi yang terkumpul dalam ‘Sihir Hujan’ ini, agaknya menggambarkan bahwa persoalan kehidupan yang dialaminya sungguh ‘menyihirnya’ namun tidak membuatnya terlelap dan tumbang. Persoalan kehidupan itu dia kelola agar menjadi energi, dan karena dia rajin menulis puisi, energi itu dia tumpahkan ke dalam penulisan puisi, sehingga tidak membuat dia marah-marah. Puisinya sendiri juga tidak marah-marah; meskipun sebenarnya gurat persoalan kehidupan yang dihadapinya menggores hati dan menyita pikirannya. Ristia meresponnya dengan ikhlas dan syukur, setidaknya bisa dibaca melalui puisi yang berjudul ‘Salam Buatmu Ibu’. Kita baca puisi itu:


Salam Buatmu Ibu


Menguar harum kembang sedap malam
Memenuhi ruang ingatan yang tak lagi disertai airmata
Tak tergambar lagi kesedihan
Hanya iring doa yang kulambungkan di langit harap

Salam sayang buatmu Ibu
Aku kini baik-baik saja
Sesekali jika rasa rindu menyergapku
Kubiarkan ia menelusuri jejakmu yang masih hidup
dalam ingatanku

Salam penuh cinta buatmu Ibu
Ikhlasku mencapai titik temu


Jakarta, Maret’2019


Mengakar di Tebing Penuh Batu

Puisi-puisi Ristia Herdiana yang terangkum dalam antologi puisi "Sihir Hujan" ini secara sangat kuat mencerminkan pengolahan batin tentang pengalaman perjuangan hidup yang mengakar pada tantangan dan sulitnya kehidupan, bagai tanaman yang berjuang mengakar pada tebing curam penuh bebatuan, agar tetap bertahan. Di dalamnya tersimpan pertanyaan, kegelisahan, kerinduan, kegamangan, pergulatan, pemberontakan, sekaligus pengharapan dan keikhlasan. Kesan yang paling kuat dari puisi-puisi yang terangkum dalam "Sihir Hujan" ini adalah pergulatan untuk bertahan di tengah realitas yang tak selalu sama dengan harapan, berusaha untuk mengakar di tengah terpaan panas dan kegersangan, atau berupaya untuk tetap tegak berdiri di atas pijakan yang seringkali goyah.

Salah satu puisi yang menggambarkan pergulatan dan perjuangan untuk menghadapi realitas yang tak seperti harapan, adalah puisi berjudul "Jarak" yang kutipannya seperti ini:


Bagaimana bisa aku begitu lupa
Jika kisah yang pernah ada semakin jauh tertinggal 
dalam lini masa
Tak pernah lagi ada jawaban 
Sekadar angan tak pernah cukup merekatkan kita yang
semakin berjarak

Apa yang kutuju semakin jauh
Genggam waktu menjelma menjadi butir debu
Penantian tak lagi pasti
Hingga melintas batas menembus kesanggupan

Bagaimana aku bisa melepaskanmu
Aku bukanlah daun yang ikhlas melepas
Namun jarak yang kau bentangkan serupa kalimat
yang tak lagi utuh
Dan kita semakin berjarak

Jakarta, Juni’2019


Puisi-puisi yang terangkum di sini, meskipun mencerminkan pergulatan dan pengalaman menghadapi realitas yang tak sesuai harapan, menampilkan pilihan kata dan metafora yang matang dan kuat yang tampaknya mencerminkan proses pengolahan yang matang pula. Tantangan hidup, realitas yang berat, dan pengalaman yang penuh kesulitan, bagi orang-orang yang memiliki keberanian, pada umumnya justru menjadi jalan yang membentuk daya tahan (resilience) sehingga sanggup berdiri tegak bahkan melangkah pasti menuju ujung jalan yang menjanjikan kebaharuan. 

Semoga kumpulan puisi "Sihir Hujan" ini dapat juga menjadi jalan bagi para pembaca untuk menelusuri "pematang" kehidupan yang menjadikan hidup semakin berdaya dan berani.


Selamat membaca.

Ons Untoro & Indro Suprobo