Skip to main content

Mata Air Hujan

 



Periode 3 sastra tembi.net di tahun 2020 ini, menampilkan 50 penyair dari sejumlah penyair yang mengirim puisi. Padahal, setiap penyair diminta mengirim lebih dari 5 puisi untuk diseleksi. Dari pengiriman terhitung mulai Mei 2019 – April 2020, lebih dari 50 penyair yang masuk. Jumlah 50 penyair adalah yang sudah ditayang setiap jumat di rubrik sastra tembi.net.

Kalau seorang penyair mengirim 10 puisi, ada juga yang mengirim lebih dari 10 puisi, dan ada yang mengirim 6 atau 7 puisi. Anggap saja, dirata-rata penyair pengirim 7 puisi dikalikan jumlah penyair yang mengirim. Jadi, lebih dari 400 puisi yang masuk dan semua harus dibaca, yang tidak bisa masuk periode 3, tetapi sudah lolos seleksi akan diikutkan pada periode berikunya, yang tidak lolos, masih ditunggu (terus) puisi-puisi yang lain.

Membaca puisi-puisi yang masuk, dan melihat puisi-puisi penyair lainnya dipublikasikan di media cetak, dan juga di media online lainnya, termasuk puisi yang di-upload di media sosial, saya melihat, bahwa puisi (masih) terus ditulis oleh generasi penyair yang berbeda-beda. Dalam kata lain, setiap masa akan melahirkan penyair yang dari segi usia masih sa-ngat muda.

50 penyair yang puisinya ditayang dalam tembi.net dan diterbitkan menjadi buku ini, sebagian besar penyair muda, yang usianya sekitar 20an tahun ke atas. Memang ada penyair yang dari segi usia tua, dan sudah sejak tahun 1970-an menulis puisi, bahkan sampai sekarang masih terus menulis puisi serta menerbitkan buku puisi. Ini tandanya, dari tahun yang berbeda-beda, puisi (masih) terus ditulis, baik oleh penyair muda usia maupun penyair, yang usianya sudah di atas 60 tahun.

Para penyair yang (di)tampil(kan) ini datang dari kota ber-beda-beda. Pendek kata dari Jawa dan dari luar Jawa. Bebe-rapa penyair pernah ikut dalam periode sebelumnya, tetapi sebagian besar baru kali pertama ikut seri sastra tembi.net kali ini. Ada perempuan penyair yang usianya masih sekitar 20-an tahun, ada juga perempuan penyair yang umurnya sudah lebih dari 60 tahun. Dari segi pekerjaan, ada yang masih status mahasiswa, ada guru, pegawai negeri, yang sekarang disebut ASN, pegawai (pensiunan BUMN), dan beberapa je-nis pekerjaan lain. Ada yang sudah saling kenal, setidaknya jika dilihat dari komentarnya di facebook ketika puisi karya seorang penyair yang ditayang di tembi.net diupload melalui facebook. Tapi, saya kira, ada yang sama sekali belum saling kenal, dan barangkali akan saling kenal ketika sama-sama hadir dalam peluncuran antologi puisi seri sastra tembi.net ini.


Mata Air Hujan di Bulan Purnama

Antologi puisi ini diberi judul ‘Mata Air Hujan di Bulan Purnama’. Kata ‘mata air’ merupakan simbolisasi dari proses kreatif yang tak pernah habis dan selalu mengalir. Kata ‘hujan’, kiranya untuk mengaitkan dengan judul puisi periode 1 ‘Kepada Hujan di Bulan Purnama’ dan periode 2 ‘Membaca Hujan di Bulan Purnama’, setidaknya agar setiap periode saling terkait dari segi judul. Kata ‘bulan purnama’ lebih un-tuk menandai, bahwa buku diluncurkan di acara Sastra Bulan Purnama satu acara sastra yang diselenggarakan setiap bulan sekali.

Saya memang sengaja memberi ruang sastra di media online yang saya buat untuk Tembi Rumah Budaya, dan Ons Untoro, yang mengelola Sastra Bulan Purnama, saya minta mengasuh rubrik sastra tembi.net. Sudah berjalan 3 tahun, dan ternyata ada banyak penyair yang mengirim puisi, bahkan dari kalangan anak-anak muda. Saya menjadi merasa heran, sekaligus belajar, bahwa anak-anak muda memiliki kreativitas menulis puisi, dan kreativitas itu memerlukan media. Di tengah media mainstream banyak yang jatuh, perlu ada media lain yang mewadahi puisi-puisi yang ditulis para penyair. Media online yang saya buat, sudah beberapa tahun, mungkin lebih dari 9 tahun. Awalnya, saya membuat media online yang diberi nama tembi.org, kalau tak salah tahun 2001. Media ini beberapa tahun berjalan, kemudian namanya diganti tembi.net, sampai hari ini masih terus jalan, dan setiap hari (selalu) ada update.

Puisi yang ditayang ini memang bersifat digital. Tetapi rasanya perlu juga dihadirkan dalam bentuk yang konvensional, yakni cetak, dalam bentuk buku. Maka, puisi yang sudah ditayang, dicetak dalam bentuk buku agar para penyair me-miliki dokumentasi, selain yang bersifat digital tersedia dalam bentuk buku, yang dicetak. Saya kira, buku puisi yang dicetak ini adalah satu bentuk, bagaimana menghargai puisi karya penyair, dan agar tidak hilang dokumentasinya serta bisa dibaca sambil tiduran atau sambil duduk minum kopi. Maka diperlukan dalam bentuk cetak: inilah ‘Mata Air Hujan di Bulan Purnama’.


Dari Digital ke Cetak 

Saya tahu, tradisi cetak memang tidak sepenuhnya bisa hilang. Orang, dalam konteks ini buku, masih memerlukan dalam bentuk cetak. Meskipun sudah tersedia dalam bentuk pdf dan ada aplikasi untuk membaca, namun yang bersifat cetak memang tidak bisa ditinggalkan. Karena membaca buku dalam bentuk cetak dengan membaca pdf memiliki nuansa berbeda. Selain itu, buku bisa masuk ruang perpustakaan, dan dipajang bersama buku-buku lainnya. Atau khusus buku puisi diberi tempat tersendiri, sehingga satu rak buku bisa (hanya) diisi koleksi buku puisi. Sementara buku digital, tak bisa dipajang di dalam rak.

Maka, puisi yang sudah ditayang di tembi.net memang perlu untuk diterbitkan, agar para penyair yang puisinya ada dalam buku ‘Mata Air Hujan di Bulan Purnama’ bisa menambah koleksi di perpustakaannya, dan orang lain bisa ikut memiliki. Buku puisi ini memuat lebih dari 200 puisi. Karena dari 50 penyair sebagian penyair puisinya lolos 5 puisi, hanya ada beberapa yang terpajang 4 puisi. Kalau puisi yang dikirim hanya lolos 2 puisi tidak akan ditayang.

Buku puisi yang sekarang sedang anda baca, untuk ‘meraya-kannya’ diluncurkan di Sastra Bulan Purnama di Tembi Ru-mah Budaya. Para penyair yang puisinya masuk dalam buku diminta untuk membacakan puisi-puisinya, dan disiarkan secara langsung, streaming di youtube, sehingga bisa dikatakan puisi sastra tembi.net bergerak ‘ulang alik’: antara digital, ke cetak dan kembali ke digital dalam bentuk video. Dalam kata lain, digital akan (selalu) diperlukan, meskipun kita tidak bisa meninggalkan yang konvensional.

Sastra Bulan Purnama adalah ruang konvensional, yang memberi ruang setiap orang untuk saling hadir dan berin-teraksi. Ruang konvensional ini menyajikan pembacaan puisi yang ada di dalam buku, dan acaranya disiarkan melalui streaming youtube. Jadi, yang konvensional dan digital sa-ling berinteraksi. Ruang menjadi lebih luas, dan interaksi bisa melalui digital, karena yang tidak bisa hadir di ruang konvensional bisa melihat melalui streaming.

Begitulah, era digital dan konvensional saling bertemu. Sela-mat bagi 51 penyair yang puisinya ada dalam antologi puisi ‘Mata Air Hujan di Bulan Purnama’.


N.Nuranto

Ketua Yayasan Rumah Budaya Tembi