Skip to main content

Kepada Paitua

 



Di era digital sekarang ini, kita melihat menyusutnya ru-ang sastra yang disediakan media cetak, dan para penyair mu-da yang tumbuh di era digital, menyerbu ruang sastra yang disediakan oleh media on line, meskipun juga tetap ‘berebut’ ruang sastra yang masih tersedia di beberapa media cetak.

Jadi, kita bisa melihat penyair di era digital memiliki fasi-litas yang sama sekali lain dengan penyair yang tumbuh di era media cetak. Media untuk mempublikasikan berbeda, tetapi, mungkin, semangat untuk berkaryanya tidak jauh berbeda. Selain menyerbu media on line yang memberi ruang sastra, para penyair juga bersama mengikuti penerbitan antologi ber-sama, yang prosesnya melalui kurasi. Dalam konteks antologi puisi bersama, penyair muda era digital, mungkin lebih tepat disebut penyair digital, karena yang muncul di media digital dari segi usia tidak lagi muda, namun proses kepenyairannya tumbuh di era digital. Diulangi: dalam konteks antologi puisi bersama, antara penyair era digital dan penyair yang tumbuh melalui media cetak, sama-sama berkompetisi melalui kurasi agar puisinya bisa dimuat dalam antologi tersebut. Sebut saja, antologi puisi bersama adalah bentuk lain dari ruang sastra di media cetak: dan para penyair memerlukan media seperti itu.

Ruang sastra lain untuk mendistribusikan puisi ialah be-rupa ruang pertunjukan, yang menyedikan ruang bagi pe-nyair dari genre apapun untuk membacakan puisi karyanya, termasuk meluncurkan buku puisi tunggal, ataupun antologi puisi bersama. Pesta puisi adalah ruang pertemuan antar pe-nyair dari berbagai kota dan kalangan.

Dalam kata lain, puisi, dalam situasi yang berbeda berikut fasilitas yang menyertai terus ditulis oleh para penyair dari generasi yang berbeda-beda.

Mungkin muncul pertanyaan: untuk apa menulis puisi, dan mengapa buku puisi diterbitkan? Tentu, setiap penyair memiliki jawaban yang berbeda-beda, dan dalam situasi yang lain, jawabannya bisa berbeda dari situasi sebelumnya. Pas-tilah, ada beragam jawaban dari penyair atas pertanyaan di atas.

Yuliani Kumudaswari, adalah seorang perempuan penyair yang produktif menulis puisi, dan tidak merasa perlu dirinya menganggap sebagai penyair, tetapi sejumlah puisi dan buku puisinya yang sudah dipublikasikan, menandakan bahwa Yuliani adalah seorang perempuan penyair yang memiliki semangat menulis yang luar biasa. Bagi Yuliani, setidaknya dalam buku puisi berjudul ‘Kepada Paitua’ ini, yang meru-pakan buku puisinya yang ke 5, jawabannya jelas: buku puisi ini adalah kado untuk suaminya, yang bersama telah me-lewati 25 tahun perkawinan. Jadi, buku puisi ini adalah tanda kebahagian bagi Yuliani dan suaminya serta dua anaknya.

Jadi, bagi Yuliani Kumudaswari, menulis puisi adalah ke-giatan yang menyenangkan, dan itu dia lakukan terus mene-rus. Menulis puisi bukan untuk mengejar predikat penyair. Namun dengan sendirinya, karena puisinya menyebar di sejumlah media, baik on line maupun media cetak, juga an-tologi bersama, dengan sendirinya predikat penyair tak bisa ditanggalkan darinya.

Hanya dengan menulis puisi, dan kualitasnya terus dijaga, bahkan terus meningkat, seseorang bisa disebut sebagai pe-nyair. Lain lagi, kalau dulu pernah menulis puisi, dan sekarang tidak lagi. Saya kira, tak ada istilah mantan penyair. 

Di antara perempuan penyair, Yuliani, dan saya kira ada banyak perempuan penyair lainnya, secara ekonomi sudah mapan, sehingga menulis puisi bukan untuk mencari uang, tetapi lebih untuk aktualisasi sekaligus eksistensinya.

Yuliani kini tinggal di Semarang, sebelumnya dia tinggal di kota-kota yang berbeda dan berpindah-pindah, karena tugas kerja suaminya berpindah dari kota yang berbeda-beda: Palu, Banjar Patoman, Pati, Pematang Siantar, Surabaya, Sidoarjo, Banjarmasin, dan sekarang di Semarang.

Dari kota yang berbeda-beda, termasuk saat dia sedang berlibur di kota atau negeri lain, selalu tidak lupa menulis puisi. Jadi, puisinya kaya akan pengalaman. Puisi yang ada dalam buku ini ditulis antara tahun 2019-2020, beberapa di antaranya pernah dipublikasikan di media cetak dan media online. Jadi, ini puisi-puisi baru karya Yuliani Kumudaswari.

Kumpulan puisi "Kepada Paitua" ini memiliki banyak tema. Namun yang menjadi kekuatan dari puisi yang bera-gam tema ini adalah kelihaian Yuliani untuk mengolah peng-gambaran rasa atau suasana dari beragam simbolisasi yang kaya sehingga menciptakan kandungan makna yang tak ter-duga. Ia sangat terampil memilih diksi dan simbolisasi yang berasal dari dunia-dunia kategorial yang berbeda-beda untuk memperkuat makna, gambaran, suasana, isi, dan pesan yang hendak disampaikannya. 

Meskipun pesan yang hendak disampaikannya itu seder-hana saja, namun Yuliani mampu mengolahnya dengan pilih-an kata dan penggambaran yang kaya. Kerinduan tentang hu-jan, misalnya, digambarkannya sebagai "Musim yang Memilih Bersemayam", dengan menempatkan suara keretak hujan di dalam kecurigaan pikiran dan mempertanyakan jangan-jangan suara itu hanyalah luapan hasrat tentang kerinduan terhadap hujan karena kemarau yang panjang. Lalu dipertegas dengan pertanyaan "seperti apakah aroma tanah sehabis hu-jan?".

Pertanyaan  yang dikemukakan pada bagian awal, mengapa menerbitkan buku Puisi, tampaknya perlu dilanjutkan dengan pertanyaan lain lagi yang juga penting, yakni mengapa sese-orang tetap membaca puisi? Belajar dari kumpulan puisi yang ditulis oleh Yuliani untuk kesekian kali, salah satu jawaban yang bisa diberikan barangkali adalah ini: membaca puisi adalah sebuah langkah melatih jiwa untuk lebih lincah dan terampil menari melintasi beragam dan kayanya imajinasi, memetik berbagai-bagai makna dari satu pengalaman dan peristiwa, sehingga ia percaya bahwa dunia dan hidup ini adalah ruang dan kesempatan yang senantiasa terbuka. 

Selamat membaca.

Ons Untoro dan Indro Suprobo