Skip to main content

Teka-teki Abadi

 



Sebagai penyair, Marjuddin Suaeb, meski tidak memiliki laptop atau computer PC, masih terus melakukan kegiatan menulis puisi, bahkan puisinya mengalir seperti sungai Progo. Mungkin karena dia tinggal di Lendah, Kulonprogo, sehingga mendapat inspirasi dari sana. Bagaimana Marjuddin menulis puisi kalau tidak memiliki perangkat computer? Inilah yang menarik. Marjuddin menulis puisi melalui HP sehingga ketika HP-nya hilang, dan ini pernah dialamimya, semua puisinya ikut hilang.

Marjuddin memang sudah lama menulis puisi. Sejak pertengahan tahun 1970-an dia sudah menulis puisi. Ia ju-ga ikut Persada Studi Klub asuhan Umbu Landu Paranggi. Ketika dia kuliah di IKIP Negeri Yogyakarta, sekarang UNY, ia seperti mendapatkan atmosfir untuk menulis, selain teman-temannya satu jurusan banyak yang menulis puisi, pergaulan di Yogya memberi semangat untuk rajin menulis puisi, dan pada waktu itu media cetak memberi ruang untuk puisi, se-hingga menumbuhkan gairah Marjudin menulis puisi.

Marjuddin Suaeb, sampai sekarang masih tinggal di Len-dah, Kulonprogo. Ia jarang berinteraksi dengan penyair-penyair seangkatannya, apalagi dengan penyair muda, yang tumbuh di era media sosial. Namun bukan berarti Marjuddin mengasingkan diri dari pergaulan, hanya intensitasnya tidak sekuat seperti ketika tahun 1980-an dalam melakukan inter-aksi. Tetapi, meskipun jarang berinteraksi, dia kenal nama-nama penyair muda, baik yang tinggal di Yogya, atau di kota lain. 

Bulan Maret 2021 Marjuddin Suaeb usianya genap 67 tahun. Untuk menandainya, puisi-puisi yang ditulis di HP-nya diterbitkan. Dari sejumlah puisi yang dia tulis, dan semuanya ditulis tahun 2020, diambil 67 puisi, sesuai jumlah usianya, untuk diterbitkan. Setidaknya, pada usia yang tidak lagi muda, orang masih bisa melihat bahwa Marjuddin masih menulis puisi, dan akan terus menulis puisi.

Dari 67 puisinya, ada satu judul puisi, yang rasanya pas untuk menggambarkan Marjuddin, yang seringkali oleh te-mannya disebut sebagai dukun, ada juga yang menyebutnya Marjuddin di desanya dikenal sebagai kiai. Setelah selesai kuliah dan kembali tinggal di desa, setiap hari Marjuddin me-lakukan puasa, bukan puasa Senin-Kamis, tetapi setiap hari berpuasa, dan sudah dia lakukan cukup lama. Barangkali, inilah yang membuat dia disebut sebagai dukun, atau Kiai. Belakangan, pola puasanya dia ubah, dua hari sekali. Artinya, dalam hidupnya, Marjuddin tidak pernah lepas dari puasa.

Sebagai alumnus IKIP Negeri Yogyakarta, sekarang UNY, Marjuddin memilih pekerjaan yang memang sejak dulu ia lakukan, dan juga dikerjakan orangtuanya, yakni bertani. Begitulah, Marjuddin ‘dikenali’ oleh orang lain: dukun, kiai, petani. Sebutan-sebutan itu selalu ditanggapi Marjuddin dengan tertawa lebar, seolah dia tidak ambil peduli dengan sebutan yang disematkan padanya.

Maka, salah satu puisi, dari 67 puisi yang diterbitkan, berjudul ‘Teka-Teki Abadi’, tampaknya pas dipakai sebagai judul buku puisinya, sekaligus untuk menggambarkan kehi-dupan Marjuddin. Puisi-puisinya yang ada di dalam buku ini, mengkristal dalam satu judul puisi tersebut. 

Marjuddin lahir bulan Maret 1954, sampai sekarang masih menikmati hidup sendirian, seolah meneguhkan judul buku puisinya. Ia sangat dekat dengan ibunya, sehingga, hampir-hampir tak bisa meninggalkannya. Saudara-saudaranya, ka-kak dan adiknya, semuanya sudah berkeluarga dan menempati rumah masing-masing, dengan demikian Marjuddin mene-mani ibunya. Selain itu, dia menemani anak adiknya, yang masih balita, dan Marjuddin momong keponakanya itu. Begitu dekatnya anak keponakan yang masih balita, sehingga seolah Marjuddin menjadi ‘ayahnya’.

Dalam situasi seperti itu, Marjuddin malah mempunyai banyak waktu untuk menulis puisi. Dia sendiri heran, mes-kipun hanya menggunakan HP dalam menulis puisi, tetapi setiap hari puisinya mengalir. Problemnya, ketika dia akan mengirim puisi-puisinya untuk diterbitkan, tidak tahu bagai-mana caranya mengirim, karena ia tidak akrab dengan email, dan tidak tahu bagaimana caranya mengirim email. Hal ini membuat Marjuddin tertegun, dan hampir mengurungkan niatnya menerbitkan puisinya, karena tidak tahu bagaimana caranya mengirimkan puisi-puisi yang ada di dalam HP ke penerbit.

Marjuddin berterimakasih kepada Yuladi, yang bersedia membantu memindahkan puisi-puisinya yang ada di HP ke dalam laptopnya, untuk kemudian dikirim ke penerbit. Menyangkut hal ini, Marjuddin sangat berterimakasih kepa-danya. Marjuddin juga berterimakasih kepada Vincensius Dwimawan, yang telah membuat cover buku yang bagus, serta drawing untuk kelengkapan biodata. Selain itu, Marjuddin berterimakasih kepada Tedi Kusyairi, seorang penyair muda dan pegiat sastra di Bantul, yang selalu ikut menemani ngo-brol dalam mempersiapkan buku ini. Tidak lupa, Marjuddin berterimakasih kepada ibunya, yang membiarkan anaknya menjalani hidup dengan caranya sendiri. Marjuddin mem-persembahkan buku puisi ini untuk ibunya.

Kepada siapa saja, Marjuddin mengundang untuk menik-mati puisi-puisi karyanya, yang dikumpulkan dalam satu buku, dan diberi judul ‘Teka-Teki Abadi’. 


Selamat membaca.

Editor