Skip to main content

Hujan Pertama di Bulan Purnama

 



Penerbitan buku puisi seri sastra tembi sudah memasuki periode 4, ini artinya sudah 4 tahun Tembi Rumah Budaya menerbitkan buku puisi, yang puisi-puisinya pernah di-muat, awalnya di tembi.net dan kemudian beralih ke tembi-rumahbudaya.com. Sejak membuka ruang sastra pada me-dia online yang dikelola, Tembi Rumah Budaya memang telah memiliki komitmen, dan selalu mempublikasikan se-tiap tayangan puisi, yang muncul tiap hari Jumat. Bahwa puisi yang ditayang setiap bulan Mei akan diterbitkan menjadi buku, dan diluncurkan di Sastra Bulan Purnama.

Komitmen tersebut telah dimengerti para pengirim puisi untuk ditayang di media online yang dikelola Tembi. Selama satu tahun, puisi-puisi yang sudah ditayang tiap hari Jumat akan diterbitkan, dan komitmen itu selalu dipenuhi oleh Tembi, sehingga setiap bulan Mei, terbit buku puisi, dari puisi-puisi yang sudah ditayang sampai bulan April.

Mengapa diambil bulan Mei untuk menerbitkan buku puisi seri sastra tembi? Sederhana saja hal yang mendasarinya. Bahwa bulan Mei, tepatnya 20 Mei adalah hari ulang ta-hun Tembi Rumah Budaya. Maka, pilihan bulan Mei me-nerbitkan buku puisi Seri Sastra Tembi sekaligus untuk merayakan dan memaknai ulang tahun Tembi, meskipun penyelenggaraannya tidak selalu tanggal 20 Mei.

Selama dua kali penerbitan buku puisi seri sastra tembi, peluncurannya dilakukan di Tembi, dan penyair dari berbagai daerah hadir membacakan puisi karyanya. Tetapi, pada bu-lan Mei 2020, pada periode ke 3, karena pademi covid 19 sedang mulai menyebar dan ada larangan untuk berkumpul, peluncuran buku puisi seri sastra tembi dilakukan secara digital, dan diberi tajuk poetry reading from home. Tetap di-hadirkan di Sastra Bulan Purnama, tetapi ditayangkan secara live melalui youtube Sastra Bulan Purnama.

Penerbitan buku puisi setiap bulan Mei merupakan ko-mitmen, karena itu tidak bisa diingkari, dan harus diwujud-kan, apalagi sudah dipersiapkan selama satu tahun, dan setiap bulan puisi ditayangkan melalui media online, da-lam hal ini tembirumahbudaya.com. Karena kita tahu, me-ngingkari komitmen yang sudah diketahui bersama me-rupakan tindakan asosial, maka kita tidak mau melakukan tindakan seperti itu. Mungkin, seri sastra tembi Mei 2021 ini merupakan periode terakhir. Periode berikutnya kita tunda dulu sampai situasi betul-betul dalam keadaan nyaman.


Hujan Pertama di Bulan Purnama

Karena bulan Mei seringkali hujan belum sepenuhnya reda, sehingga Sastra Bulan Purnama acapkali diselenggarakan dalam iringan hujan, terkadang hanya gerimis, namun per-nah juga hujan deras disertai angin. Maka, judul buku puisi selalu mengaitkan hujan dan bulan purnama. Periode 1, terbit bulan Mei 2018 judul buku puisinya ‘Kepada Hujan di Bulan Purnama’. Periode 2, Mei 2019 judul buku puisinya ‘Membaca Hujan di Bulan Purnama’. Periode 3, Mei 2020, buku puisinya berjudul ‘Mata Air Hujan di Bulan Purnama’, dan periode 4, yang terbit bulan Mei 2021, buku puisinya berjudul ‘Hujan Pertama di Bulan Purnama’.

Sastra tak bisa dilepaskan dari kebudayaan. Kalau kita ana-logikan kebudayaan sebagai bangunan rumah, sastra ada di halaman depan, sehingga setiap orang yang memasuki ru-mah kebudayaan akan berinteraksi dengan sastra. Tembi, sebagai lembaga kebudayaan memberi ruang terhadap sastra sebagai bentuk ekspresi budaya. Karena itu, di Tembi tidak hanya ada pertunjukan sastra, dalam hal ini melalui Sastra Bulan Purnama, tetapi ada bentuk ekspresi budaya yang lain, ialah pertunjukan musik, pameran seni rupa, pentas tari. Dengan demikian, halaman depan dari bangunan rumah kebudayaan dipenuhi berbagai ekspresi budaya.

Buku seri sastra tembi, yang selalu hadir setiap tahun, me-nampilkan penyair dari berbagai kota, baik yang tinggal di Jawa maupun yang tinggal di luar Jawa. Usia mereka beragam, ada yang sudah 60 tahun, atau bahkan malah lebih, namun ada juga yang masih berusia 20-an tahun. Artinya, sastra seri tembi memberi ruang yang sama pada setiap penyair untuk tampil di Tembi.

Dalam setiap tahun ada 500 lebih puisi yang masuk, dan semua puisi harus dibaca dan diseleksi. Tidak semua puisi yang masuk bisa lolos untuk ditampilkan, yang belum lolos diminta mengirim ulang. Kalau hanya sekali mengirim, tidak lolos dan berhenti mengirim, tidak memiliki kemungkinan lagi untuk ditampilkan.

Setiap minggu, dan dipilih hari Jumat, hanya ditayang 5 puisi karya seorang penyair, atau minimal 3 puisi. Setiap ta-hun ada 50 penyair, bahkan lebih, yang sudah ditampilkan di media online tembi, sehingga ada sekitar 250 puisi yang diterbitkan menjadi buku. Dalam empat kali penerbitan, seri sastra tembi, setidaknya telah menerbitkan 1000 puisi, yang dibagi menjadi 4 buku dan judulnya berbeda-beda.

Di tengah media cetak, yang mulai mengurangi rubrik sas-tra, khususnya puisi, masih ada media cetak yang memberi ruang untuk puisi. Secara pribadi saya mengapresiasi media cetak seperti ini. Tembi Rumah Budaya, melalui media on-line dan ruang interaksi Sastra Bulan Purnama mencoba menjaga dan merawat sastra agar terus bergerak.


Kita tahu, puisi semakin hadir di banyak ruang. Ruang digital memungkinkan puisi semakin tersebar luas. Di negara maju seperti Amerika, dalam pelantikan presiden terpilih dibacakan puisi. Ini artinya, dalam peradaban politik yang semakin maju, puisi memberi makna terhadap kehidupan.

Seperti telah kita ketahui, puisi membuka ruang dimensi kemanusiaan. Karena itu menulis puisi tidak bisa didasari atas kebencian. Puisi yang ditulis untuk menyerang, kualitas-nya rendah. Puisi bukan berteriak, tetapi berbisik. Maka, menikmati puisi tidak bisa dengan rasa benci dan iri

Puisi-puisi yang ada di dalam buku ‘Hujan Pertama di Bulan Purnama’ bukan jenis puisi teriak dan mengepalkan tangan, tetapi semuanya berbisik, kalaupun menyampaikan kritik, tetapi tidak dimuati kebencian.

Orang yang hatinya dipenuhi kebencian dan rasa iri yang melimpah, tak bisa menikmati puisi dengan baik, bahkan cenderung menyingkiri.

Melalui buku puisi seri sastra tembi, sebagai lembaga ke-budayaan, Tembi mencoba menjaga akal sehat, karena puisi memberi arti, tidak merepoti. Apalagi di tengah pandemi, penyair menjaga imun dengan terus mencipta puisi. Karena penyair mengerti, di tengah pandemi tidak boleh mem-persulit hidup orang, lebih baik membantu kalau mampu, selebihnya saling menjaga kesehatan.

Terimakasih kepada para penyair yang terus menulis puisi.


N.Nuranto

Ketua Yayasan Rumah Budaya Tembi