Skip to main content

Puisi Rupa, Rupa Puisi

 



Menulis puisi dan melukis memang dua hal yang berbeda, tetapi sesungguhnya berawal dari titik pijak yang sama: ialah dari gagasan dengan variasi istilah berbeda-beda, ide, inspirasi, ilham dan lainnya. Dalam kata lain, karya tidak lahir dari ruang kosong.

Perbedaan keduanya terletak pada visual yang dipilih. Pe-nyair memilih kata, perupa menggunakan garis. Selebihnya, sebagai karya seni bisa disebut sama, hanya bentuknya ber-beda. Garis memang tidak linear, ia bisa bergerak seolah hidup dan mencipta bentuk. Dalam garis juga ditemukan warna, sehingga garisnya tidak tunggal. Kalau garis dalam seni lukis diganti dengan kata, maka kata tidak tunggal, selalu berkaitan dengan kata lainnya sehingga dikenali sebagai ka-limat, dan kalimat selalu memiliki makna. Maka, makna yang dibangun dalam puisi, seperti garis dan warna dalam karya lukis, mengandung makna. Formula garis dan kata adalah operasionalisasi dari apa yaang di atas disebut sebagai gagasan/ide/inspirasi/ilham.

10 perupa perempuan, yang saya tahu terbiasa menciptakan karya lukis. Selain melukis, mereka mencoba menulis puisi. Kedua karya, puisi dan karya seni rupa seolah seperti akan dipadukan, atau setidaknya mereka mencoba menyakini; bahwa melukis dan menulis puisi prosesnya sama. Hanya saja, karena kreasi yang selama ini dihasilkan berupa karya lukis, sehingga terlihat ‘tergagap’ dalam menulis puisi, meskipun ada yang keduanya dijalankan dengan cukup fasih. Kata fasih dalam konteks ini memiliki arti, terlihat sudah terbiasa melukis dan menulis puisi, sehingga karya keduanya ada ‘bunyinya’.

Kedua karya tersebut akan dihadirkan ke publik dalam bentuk yang berbeda. Pada karya seni rupa kehadiannya di publik berupa pameran. Karya-karya yang dihasilkan dipamerkan di ruang pamer Tembi Rumah Budaya. Puisi karya 10 perupa perempuan dihadirkan dalam formula yang lain, yakni dibacakan oleh penulisnya dan ditayangkan secara live melalui youtube. Publikasi keduanya berpadu dalam buku, yang menyajikan karya rupa dan puisi. Mungkin bisa disebut sebagai kolaborasi puisi dan seni rupa. Karena itu, judul dari buku ini ‘Puisi Rupa, Rupa Puisi’.

Puisi karya 10 perupa perempuan, yang mengambil tema berbeda-beda, dihadirkan di Sastra Bulan Purnama, satu ruang silaturahmi sastra yang diselenggarakan setiap bulan. Karena situasi pandemi covid 19 belum punah, padahal sudah lebih dari satu tahun, sehingga membuat Sastra Bulan Purnama yang selama ini, sudah lebih dari 9 tahun, diselenggarakan secara offline, di ruang terbuka atau di pendapa, maka selama pandemi covid 19 kegiatan Sastra Bulan Purnama diselenggarakan secara daring –dalam jaringan—ialah ‘live’ di youtube Sastra Bulan Purnama.

Para perupa perempuan ini membacakan puisinya, bisa dengan latar bekalang karyanya. Kemudian direkam, hasil rekaman akan disiarkan secara ‘live’ sehingga setiap orang yang ikut menyaksikan bisa saling berinteraksi melalui chattting.

Kita tahu, sastra dan seni rupa sudah lama saling bertemu. Di Yogya, proses interaksi antara perupa dan sastrawan terjalin puluhan tahun, artinya memiliki ‘sejarah’ pergaulan, meski belakangan keduanya seolah tidak saling bertegur sapa, namun keduanya sebenarnya saling mengisi dan berin-teraksi.

Kali ini, perupa selain melukis sekaligus menulis puisi. Ada juga yang berpadu, pelukis dan perupa saling berkarya dan kedua karyanya dipamerkan bersama. Bukan salah satu menerjemahkan karya lainnya. Masing-masing karya mengambil tema yang sama, perupa menghasilkan karya rupa, penyair menulis puisi dari tema yang sama. Hasil visualnya berbeda.

Kali ini, perupa menghasilkan gambar sekaligus menulis puisi, tema keduanya. Antara puisi dan seni rupa berbeda. Mari kita nikmati karya keduanya.

Kepada 10 perupa perempuan yang menggambar sekaligus menulis puisi, saya kagum. Semangat mereka untuk berkarya terus menyala. Selamat kepada mereka.


Ons Untoro