Skip to main content

121 Purnama



Sepuluh Tahun Sastra Bulan Purnama

 Rupanya, Sastra Bulan Purnama yang diselenggarakan setiap bulan, di bulan Oktober 2021, genap 10 tahun. Rasanya tidak percaya, kegiatan sastra, utamanya pembacaan puisi berikut ekspresi yang menyertainya seperti lagu puisi, musikalisasi puisi, dramatisasi puisi, bisa bertahan sampai 10 tahun, tanpa jeda diselenggarakan. Padahal, kita tahu, sastra adalah ruang sepi, yang setiap orang jarang sekali menengoknya.

Setiap bulan, penyair dari berbagai kota, datang di acara Sastra Bulan Purnama membacakan puisi karyanya, juga dibacakan oleh pecinta puisi. Yang hadir di acara Sastra Bulan Purnama (SBP), tidak selalu penyair, tetapi para pecinta sastra, dari usia berbeda-beda. Ada anak-anak muda, temasuk penyair muda, hadir di Sastra Bulan Purnama. Jumlah yang hadir tidak banyak, tetapi untuk acara sastra sudah termasuk banyak, karena mencapai 100 orang, kadang malah lebih. Paling sedikit 50 orang, dan itu berlangsung setiap bulan di bulan purnama.

Awalnya, saya melihat banyak puisi diupload di facebook. Mungkin, penyair yang mengupload di facebook melihat me-dia cetak sudah mulai berkurang rubrik sastranya, sehingga untuk mempublikasikan puisi, media sosial seperti facebook bisa digunakan. Karena itu banyak ditemukan puisi muncul di facebook. Melihat hal ini, saya meresponnya dengan menawarkan: Membacakan puisi dalam satu acara, yang kemudian dikenal seba-gai Sastra Bulan Purnama.

Mengapa namanya Sastra Bulan Purnama? Simpel saja, karena ketika memilih tanggal, dan ketika melihat penanggalan Jawa, pas bulan purnama. Kali pertama diselenggarakan bulan Oktober 2011, menampilkan penyair dari  Yogyakarta, dan di bulan kedua, masih menampilkan penyair dari  Yogyakarta. Pada bulan ketiga, beberapa penyair yang dulu pernah tinggal di  Yogyakarta, dan kemudian pindah ke kota-kota lain, tampil membacakan karyanya di Sastra Bulan Purnama, yang diberi tajuk: Kembali ke Jogja Membaca Sastra.

Pada bulan-bulan berikutnya, secara bergantian, penyair dari kota berbeda-beda mengisi Sastra Bulan Purnama. Pada tahun kedua dan seterusnya selalu ada penyair dari luar kota tampil di SBP, dan selalu berdampingan dengan penyair dari  Yogyakarta. Dengan demikian, interaksi antar penyair terjalin, dan juga berinteraksi dengan pecinta sastra yang hadir dalam acara Sastra Bulan Purnama, sehingga semua saling berteman. Perkembangan berikutnya, Sastra Bulan Purnama diisi dengan peluncuran buku puisi karya penyair, atau peluncuran antologi puisi bersama beberapa penyair dari beberapa kota. Ketika seorang penyair meluncurkan buku puisi, biasanya tidak hanya dibacakan penyairnya sendiri, melainkan para pecinta sastra, yang sudah diminta sebelumnya, untuk ikut membaca puisi. Pecinta sastra bisa saja seorang guru, PNS, ibu rumah tangga, wartawan, pemain teater dan lainnya.

Dalam edisi Sastra Bulan Purnama yang berbeda-beda, pernah ditampilkan para wartawan, para dosen dan guru besar, orang-orang teater dan para guru Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas membaca puisi. Mereka wajib menulis puisi dan membacakan puisi karyanya. Begitulah, Sastra Bulan Purnama terbuka bagi para penyair dan pecinta sastra.

Pada tahun kedua dan seterusnya, selalu ada penyair dari luar kota yang ikut mengisi Sastra Bulan Purnama. Mereka, para penyair dari luar kota, bisa datang seorang diri, atau mengajak teman penyair lainnya untuk ikut hadir sekaligus membaca puisi, atau bahkan mengolah puisi menjadi lagu.

Tentu, tidak hanya puisi, tetapi beberapa edisi Sastra Bulan Purnama pernah diisi pembacaan geguritan, ialah puisi yang ditulis menggunakan bahasa Jawa. Atau juga peluncuran antologi cerpen, dan pembacaan nukilan cerpen. Jadi, Sastra Bulan Purnama tidak hanya menyajikan puisi. Memang, yang dominan pembacaan puisi dan lagu puisi, juga musikalisasi puisi.

Di Ssatra Bulan Purnama, semua orang boleh mengambil peran. Syaratnya membacakan puisi karyanya sendiri. Maka, tidak hanya penyair yang ditampilkan, suatu kali, bahkan dua kali dalam bulan yang berbeda, para wartawan membacakan puisi karyanya. Para dosen dan guru besar, guru Sekolah Menengah Pertama dan Menengah Atas, serta orang-orang teater, menulis puisi dan membacakannya di Sastra Bulan Purnama.

Pembaca lain diberi ruang untuk ikut membacakan puisi karya penyair yang meluncurkan antologi puisi. Beberapa dokter di  Yogyakarta beberapa kali ikut membacakan puisi penyair yang buku puisinya diluncurkan di Sastra Bulan Purnama. Selain itu kalangan disainer, pegiat fashion show ikut membacakan puisi. Pendek kata, pembaca puisi terbuka dari beragam kalangan.


Poetry Reading From Home

Bulan Maret 2020, Sastra Bulan Purnama masih diselenggarakan secara offlline diisi peluncuran buku puisi karya Warih Wisatsana, penyair dari Bali. Memasuki tahun ke 9, di tahun 2020, Sastra Bulan Purnama berhadapan dengan situasi pandemi covid 19, yang membuat orang tidak bisa saling berkumpul, sehingga kegiatan kesenian berhenti. Sastra Bulan Purnama (SBP) mencoba mencari ‘jalan lain’ agar tetap terus diselenggarakan, maka pada bulan April 2020, awal pandemi, SBP diselenggarakan secara digital, dalam bentuk live di youtube. Rupanya, pilihan ini direspon oleh penyair dan pembaca puisi dari sejumlah kota, Maka, sejak April 2020 SBP dialihkan ke youtube dan diberi tagline Poetry Reading From Home. Penyair Kurnia Effendi, tinggal di Jakarta, yang mencetuskan usulan tagline itu, ketika merespon pengumuman di facebook, bahwa Sastra Bulan Purnama dialihkan di youtube.

Dalam seri Poetry Reading From Home, penyair dari berbagai kota di Indonesia membuat rekaman sendiri dan dikirimkan ke SBP, yang kemudian akan menyusun urutan penampilan, dan kemudian dihadirkan secara live melalui youtube. Rekaman boleh menggunakan handphone atau alat yang lain. Lokasi rekaman bebas, ada yang mengambil di ruang kerja, di teras, di taman, di atas jembatan, di apartemen dsb. Penampilannya juga bebas, tidak ada aturan ketat. Setiap penampil diberi kebebasan berkreasi menafsirkan puisi melalui audio visual. Sejak April 2020 sampai pandemi belum surut sehingga membuat orang berpikir berulangkali untuk berkumpul dalam jumlah banyak orang, SBP masih dalam format poetry reading from home.

Biasanya, SBP offline dihadiri paling banyak 100 orang, meski seringkali lebih dari jumlah tersebut. Tetapi dengan format online, melalui youtube, karena bisa dilihat kapan saja, penontonnya bisa jauh lebih banyak, ada yang dilihat 500 orang bahkan lebih. Meskipun dengan jumlah sekian itu, untuk penonton youtube termasuk sedikit, tetapi untuk acara sastra, sudah termasuk cukup banyak.

Bulan Oktober 2021 Poetry Reading From Home memasuki seri 21, dan Sastra Bulan Purnama memasuki edisi 121. Kedua ‘angka’ tersebut bertemu dalam 10 tahun Sastra Bulan Purnama, yang ditandai penerbitan buku 81 penyair Sastra Bulan Purnama, yang berasal dari berbagai kota di Indonesia. Judul bukunya, atas kesepakatan bersama ‘121 Purnama’.

Diambil 81 penyair untuk mewakili sejumlah kota di Indonesia. Dari luar Jawa diambil Bali dan Lampung. Sisanya dari Jawa. Tidak semua penyair bisa ditampilkan dalam buku ini, karena kalau semua diundang, jumlahnya bisa lebih dari 100 penyair. Untuk menyebut kota misalnya, Jakarta dan Bekasi, tidak semua penyair yang pernah tampil di Sastra Bulan Purnama diundang, beberapa penyair dianggap sudah mewakili. Setiap bulan, minimal 10 penampil yang mengisi Sastra Bulan Purnama. Satu tahun setidaknya ada 120 penampil, 10 tahun 1200 penampil, dan bisa lebih, karena ada bulan-bulan lain, yang tampil lebih dari 10 penampil. Para penampil tidak selalu penyair, tetapi ada pembaca puisi dan penggarap puisi menjadi lagu.

Jadi, mohon maaf kepada penyair yang tidak diundang untuk ikut antologi puisi 10 tahun Sastra Bulan Purnama, karena masing-masing kota penyairnya sudah ada wakilnya. Kepada para penampil lain, para pembaca puisi, pelantun lagu puisi dan musikalisasi puisi, dan para penari yang menafsirkan puisi dalam bentuk tarian, tak bisa lain, hanya bisa mengucapkan banyak terimakasih. Tentu, kepada para hadirin di Sastra Bulan Purnama, yang rajin, atau yang hanya sesekali, tidak lupa juga diucapkan banyak terimakasih atas kehadirannya. Tidak lupa, SBP dalam format digital, kepada yang sudah menengok dan memberi ‘like’ serta subscribe, diucapkan banyak terimakasih.

Sejak awal Sastra Bulan Purnama, kepada teman-teman wartawan dari berbagai media baik media cetak maupun media online, yang terus memberi ruang untuk Sastra Bulan Purnama, baik yang luring maupun daring, diucapkan banyak terimakasih.

Kepada kawan-kawan yang selalu terlibat penyelenggaraan Sastra Bulan Purnama, baik dari Tembi Rumah Budaya maupun di luar Tembi, termasuk beberapa fotografer yang mengabadikan SBP melalui lensa kamera, terimakasih yang tulus diberikan pada mereka.

Anggap saja. Sastra Bulan Purnama adalah ruang komunikasi dan interaksi sastra. Pada tahun ke 10 ditandai dengan penerbitan buku puisi, dan mudah-mudahan tahun-tahun berikutnya SBP masih terus bisa menemani, meski mungkin, pandemi covid 19, belum sepenuhnya punah.

Sekali lagi, terimakasih kepada semua pihak yang telah memban-tu terbitnya buku puisi ini khususnya, dan terselenggaranya acara 10 Tahun Sastra Bulan Purnama.


Ons Untoro

Yuliani Kumudaswari

Umi Kulsum