Skip to main content

Genosida dan Modernitas dalam Bayang-Bayang Auschwitz



Emil Fackenheim, seorang filsuf dan teolog Yahudi mengatakan, para filsuf membicarakan semua hal, tetapi mengabaikan Holocaust. Hal itu benar, banyak buku termasuk etika hampir tidak pernah membahasnya. Maka saya mengapresiasi pilihan tema ini untuk buku anda, karena tema ini hampir belum pernah dibahas, setidak-tidaknya di Indonesia. 

J.B. Metz pernah mengatakan,“Jangan berteologi seolah-olah Auschwitz tidak pernah terjadi”. Hal yang sama dapat dikatakan mengenai filsafat. Filsafat saat ini harus menjadi filsafat “sesudah” Auschwitz. Apa artinya Auschwitz sehingga menandai corak filsafat masa kini? Seperti dikatakan Albert Camus, dunia sekarang adalah “a world that cry out for repair”, terutama karena “murder is the problem today.” Auschwitz mengingatkan bahwa manusia itu rentan, dapat terlukai, maka harus dilindungi. Dalam hal ini, etika dapat gagal karena pelaksanaannya tergantung pada keputusan bebas manusia dan tanggung jawab manusia. Giorgio Agamben dalam Remnants of Auschwitz: The Witness and the Archive menggumuli masalah fundamental etika dan politik dan mengingatkan kita akibat destruktif kekuasaan manusia sebagai subyek, dengan memperlihatkan Holocaust sebagai tempat dimana kekuasaan terdegradasi untuk penghancuran manusia sebelum dimusnahkan. Primo Levi, salah satu penyintas Holocaust memberi kesaksian dan tantangan kepada kita tentang apa artinya menjadi manusiawi dan tidak manusiawi, dan bagaimana mewujudkaan etika. Kemudian Emmanuel Levinas mengingatkan kita akan makna dari keberlainan atau alteritas dan imperatif etis dari wajah yang menuntut tanggung jawab tak terbatas kepada yang lain. 

Saya berharap, buku ini dapat memperkaya pengetahuan para pembacanya sekaligus menjadi bahan referensi untuk mengembangkan kajian, mendesiminasikan gagasan untuk pencegahan genosida dan memperjuangkan hak-hak asasi manusia di Indonesia. 


Jakarta, 1 Juni 2018

Prof. Dr. M. Sastrapratedja