Cerpen: Ari Basuki
Pernahkah
kau mengamati kambing yang hendak disembelih? Mungkin pernah, mungkin belum,
tetapi dengarkanlah cerita ini.
Pada suatu pagi ada dua ekor kambing yang hendak disembelih. Kambing pertama
berbulu hitam, kambing kedua berbulu putih. Ah, warna bulu tidaklah penting.
Tetapi lihatlah wajahnya, gerak-geriknya, ekspresinya. Kambing yang berbulu
putih tampak tenang, wajahnya begitu damai. Sedangkan kambing yang berbulu
hitam kelihatan begitu resah, ia berusaha melepaskan diri dari tali yang
mengekang lehernya.
“Mengapa
engkau gelisah?” tanya si kambing putih.
“Aku
tidak mau mati dengan cara begini” jawab si kambing hitam. “Aku sudah mendengar
percakapan mereka, bahwa kita berdua akan disembelih. Daging kita akan dimasak
jadi gulai, dalam rangka hajatan si tuan rumah yang merayakan kelahiran anak
lelakinya.”
“Namun
kita tidak bisa melawan takdir ini.”
“Ini
suatu kekejaman. Mereka bergembira karena kelahiran anaknya, tetapi mengapa
kita yang dikorbankan? Kau ikhlas menerimanya?”
“Ikhlas
atau tidak ikhlas hal itu akan terjadi. Dengan menerimanya, aku akan mencapai
kebebasan. Dengan melawan, aku akan mengalami penderitaan.”
“Ini
suatu kegilaan!” kata si kambing hitam sambil terus berusaha melepaskan diri
dari tali yang mengekang lehernya. “Mestinya mereka menyembelih ego mereka
sendiri. Ego yang menimbulkan kekejaman dan kerusakan tiada henti.”
Dialog
dua ekor kambing itu terjadi di halaman rumah Wakidi. Hari itu Wakidi akan
menyembelih dua ekor kambing untuk hajatan kelahiran anak lelakinya. Tugas
menyembelih kambing diserahkan kepada Parno, tetangga yang biasa menyembelih
hewan, baik kambing maupun sapi.
Demikianlah
di pagi hari itu Parno sudah bersiap menenteng goloknya. Ada dua orang lelaki
yang membantunya. Sasaran pertama adalah
kambing yang berbulu putih. Kambing itu ditangkap, direbahkan ke tanah, lantas
diikat keempat kakinya.
Melihat
kejadian itu si kambing hitam mengembik keras dan berusaha melepaskan diri dari
tali yang mengekang lehernya. “Engkau menerima begitu saja?” tanyanya kepada si
putih.
“Tetapi
perlawanan hanya sia-sia” kata si putih.
“Ini
kekejaman! Ketidakadilan!”
“Apa
boleh buat. Namun kematian itu tidak ada. Aku abadi.” Si putih memejamkan
matanya ketika mata golok yang berkilat-kilat itu menggorok lehernya.
Demikianlah
si kambing putih telah menjalani nasibnya dengan lancar. Kini tibalah giliran
si kambing hitam. Tetapi di luar dugaan, tiba-tiba si kambing hitam ini berhasil
melepaskan diri dari tali yang mengekangnya dan berlari kencang meninggalkan
halaman rumah. Orang-orang berlari mengejarnya.
Ketika
sampai di taman, langkah si kambing terhenti. Empat orang lelaki menyergapnya.
Namun si kambing justru menyeruduk orang-orang itu satu demi satu. Keempat
orang itu jatuh terkapar. Mereka terhenyak kaget, tenaga binatang itu luar
biasa kuat.
Kemudian
kambing itu berlari cepat ke arah kompleks perumahan. Sekelompok orang
mengejarnya sambil berteriak-teriak “Kambing lepas! Kambing lepas! Tangkap!”
Tampak
seorang lelaki keluar rumah dan berusaha
menangkap kambing itu. Namun si kambing tak mudah dipegang, ia justru masuk ke
dalam rumah dan menerjang barang-barang yang ada di depannya. Para wanita dan
anak-anak menjerit-jerit, berlarian menghindarkan diri dari amukan binatang
itu.
Setelah
mengobrak-abrik isi rumah, kambing itu berlari keluar menuju ke sebuah warung
sembako. Di warung ini pun ia mengamuk, menyeruduk ke sana-sini hingga
barang-barang berhamburan ke lantai. Bahkan pemilik warung yang berusaha
membacok binatang itu malah kena seruduk sampai terkapar. Dari warung sembako
si kambing bergerak menuju ke pos satpam. Seorang satpam yang berusaha
menangkapnya diseruduknya hingga jatuh terkapar pula.
Melihat
kejadian yang luar biasa ini si satpam segera berlari ke rumah seorang anggota
polisi yang berada di dalam kompleks perumahan itu. “Pak, ada kambing mengamuk!
Ia melukai orang dan merusak barang-barang. Tolong Bapak lumpuhkan binatang
itu!”
Sang
polisi menyambar pestolnya dan bergegas bersama si satpam ke arah binatang yang
menghebohkan itu. Saat itu si kambing sedang berjalan masuk ke sebuah halaman
rumah. Pemilik rumah cepat-cepat menutup pintu rumahnya.
Sang
kambing berdiri diam terengah-engah. Ia melihat dua orang yang mendekat ke
arahnya. Ia hendak berlari, namun dua orang itu menghadangnya.
Sang
polisi menodongkan pistolnya. Sang kambing berkata kepada polisi itu: “Mengapa
kau hendak membunuhku? Bunuhlah egomu, bunuhlah pikiranmu yang liar itu! Itulah
kebijaksanaan”. Tapi mana mungkin polisi itu mendengar? Dor! Pistolnya
menyalak. Kambing itu pun roboh terkapar. Darah mengucur dari perutnya.
Tubuhnya segera digotong ke rumah Wakidi.
Si kambing hitam belum mati. Nafasnya masih tersengal-sengal.
Parno – lelaki yang bertugas menyembelih kambing – mendekat dengan golok di
tangan. Ia pegangi kepala kambing yang tak berdaya itu, dan mulutnya
berkomat-kamit megucapkan doa dengan khusyuk.
Namun
sebelum mata golok mengiris leher si kambing, Parno mendengar hewan itu berkata
kepadanya: “Bapak yang mulia, mengapa engkau menyembelihku? Bagaimana jika anak Bapak mengalami seperti
yang aku alami?”
Hati
Parno tergetar. Kepalanya mendadak pening dan matanya berkunang-kunang. Golok
terlepas dari tangannya.
“Ada
apa, Pak?” tanya seorang lelaki yang berada di dekatnya.
“Kepalaku
pusing sekali. Tolong tugasku kau gantikan ya” kata Parno sambil berjalan
sempoyongan. Ia mencuci tangannya di
sebuah ember berisi air, lantas berjalan pulang ke rumahnya. Maka tugas
menyembelih kambing yang tinggal seekor itu digantikan oleh orang lain.
***
Sehabis
magrib Parno masih tergeletak di kamarnya, tubuhnya demam dan kepalanya terasa
pusing meskipun ia telah minum obat sakit kepala. Ia tidak bisa menghadiri
acara selamatan di rumah Wakidi.
Parno
beranjak ke ruang makan. Ia mencium bau tongseng kambing. Mendadak perutnya terasa mual. Ia kembali
lagi ke kamar dan membaringkan tubuhnya. Wajah kambing hitam itu, matanya yang
membelalak, terus membayang di kepala Parno. Suara kambing itu – gila, kambing
itu bisa berkata-kata – masih terngiang di telinga Parno.
“Maafkan
aku. Aku tidak akan menyembelih hewan lagi” pinta Parno kepada si kambing hitam
yang masih ngendon di dalam kepalanya. Tetapi si kambing tidak menjawabnya, hanya menatap Parno dengan
wajah sayu.
Keesokan
paginya demam Parno semakin tinggi. Isterinya membawanya ke dokter. Parno
mendapat suntikan. Obat dari apotek sudah diminum. Namun demamnya tak juga
turun. Tubuh Parno malah sering menggigil, dan ia sesekali meracau “Maafkan
aku. Ampuni aku.”
Melihat
kondisi Parno seperti itu, sang isteri mengira suaminya kerasukan makhluk
halus, maka ia mendatangkan seorang paranormal ke rumah untuk menyembuhkannya.
Sang paranormal pun bertindak dengan cara khasnya, berusaha menyembuhkan Parno,
namun tidak berhasil. Parno masih tetap demam tinggi dan masih kerap menggigil
dan meracau. Seminggu lewat, sakit Parno belum juga sembuh.
Kasak-kusuk
beredar dari mulut ke mulut. “Parno diganggu makhluk halus. Parno diganggu
setan yang semula ada di dalam tubuh kambing yang mengamuk saat hendak
disembelih. Bagaimana menyembuhkan Parno? Dokter tak bisa. Paranormal pun tak
bisa.”
***
Di
depan pintu gerbang surga, si kambing hitam berdiri termangu-mangu. Ia hendak
melangkah masuk ke dalam area penuh cahaya itu, namun di depan seperti ada
energi yang menahannya. Ketika sedang tertegun-tegun itu mendadak ia melihat si
kambing putih, sahabatnya yang sebelum kematiannya sempat berdialog dengannya.
Si
kambing putih berkata: “Nah, apa kataku. Mereka tidak bisa diajak dialog.
Rata-rata kesadaran mereka kacau. Hanya sedikit yang mempunyai kesadaran murni.
Ampunilah mereka.”
“Mungkin
benar katamu. Tapi ngomong-ngomong, apakah engkau sudah berada di surga?”
“Nama
tidak penting. Aku merdeka. Aku abadi. Aku ikhlas tubuhku hancur, tetapi aku
mencapai kebebasan sejati.”
“Selamat.
Tetapi mengapa aku tidak bisa masuk ke dalam surga sepertimu?”
“Mungkin
engkau belum ikhlas?”
“Ya.
Bapak yang menyembelihku meminta maaf kepadaku tetapi aku belum memaafkannya.”
“Kalau
begitu maafkanlah dia. Hanya jika jiwamu bersih kau bisa masuk surga.”
“Terima
kasih, kawan.”
Si
kambing hitam melesat ke bumi. Dalam satu lompatan kuantum ia telah berada di
bumi. Ia segera menemui Parno yang saat itu tengah tidur di dalam kamarnya.
“Bapak
yang mulia, masihkah engkau mengenali aku?” tanya si kambing hitam ketika ia
telah masuk ke dalam kesadaran Parno.
“Tentu,
tentu. Maafkanlah aku. Aku tidak akan membunuh binatang lagi.”
“Baiklah,
aku percaya padamu.”
“Jadi
engkau memaafkanku?”
“Ya.
Aku ikhlas.”
“Terima
kasih, saudaraku” kata Parno seraya
memeluk si kambing hitam.
“Sama-sama
Bapak, ucapanmu mengharukanku. Kita memang bersaudara, bukan? Sesama makhluk
Tuhan. Selamat tinggal!” si kambing hitam melesat pergi.
Parno
terbangun dari tidurnya. Ia terheran-heran. Kepalanya tidak sakit lagi.
Demamnya
lenyap. Ia bangun dari tempat tidurnya lantas melakukan sujud syukur. Isterinya
terbengong-bengong menatapnya.
Dalam
satu lompatan kuantum, si kambing hitam telah berada di surga. Di sana ia
bertemu dengan para sahabatnya: si kambing putih, si kambing coklat, si kambing
kuning, dan kambing-kambing yang lain. Wajah-wajah mereka bercahaya, begitu
tenang dan damai. *
Ari Basuki lahir di Jepara 8 Desember 1954. Pendidikan terakhir Doktor Ilmu Filsafat UGM. Menulis cerpen, puisi dan esai di berbagai media cetak. Kumpulan puisinya berjudul Negeri Aneh; selain sejumlah puisinya yang tersebar di berbagai antologi puisi bersama, antara lain: Pendapa Taman Siswa Sebuah Episode, Gunungan, Tugu, Tonggak IV, Srigunting, dan Gondomanan 15. Semasa muda sering menang lomba penulisan cerpen dan puisi. Antara lain menjadi salah satu pemenang lomba penulisan cerpen yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Yogya dan Taman Budaya (1989) dan lomba penulisan cerpen yang diselenggarakan oleh Teater Peron UNS Surakarta (1993). Kumpulan cerpennya berjudul Kobra. Email: aribasuki123@gmail.com. WA: 0822 1177 3577.