Cerpen Ons Untoro
Duduk
di ruang keluarga, Hariono melihat berita televisi yang mengabarkan demonstrasi
di Yogya dan kota-kota lain, termasuk di Malang, Solo, Bandung dan Jakarta.
Hariono tersenyum melihat berita televisi, mengabarkan seolah betapa gentingnya
peristiwa demonstrasi mahasiswa, yang sejak Indonesia merdeka selalu tidak sepi
dari demonstrasi, sehingga dikenal beberapa angkatan gerakan mahasiswa, dari
angkatan 66 sampai angkatan 98.
Yonas, anaknya baru saja pulang dan
setelah mandi ikut duduk di ruang keluarga melihat berita televisi. Yonas,
seorang mahasiswa perguruan tinggi di Yogya, dan sudah semester 5. Ia mengamati
berita-berita demonstrasi di televisi, mungkin sambil mencari-cari wajahnya, siapa
tahu sempat tersorot kamera ketika ikut demonstrasi di Yogya.
“Kamu tadi ikut demo, Yon?” tanya Hariono
“Iya dong, satu angkatan banyak yang
ikut” jawab Yonas mantap.
“Baguslah kalau kamu mau ikut demo,
tapi jangan lupa tetap belajar, dan cerdas jauh lebih penting. Anggap saja demo
untuk rekreasi sekaligus menguji sikap kritis” kata Ayah Yonas.
“Menguji sikap kritis, maksudnya?”
tanya Yonas.
Hariono, ayah Yonas tidak segera
menjawab. Ia memperhatikan wajah Yonas yang terlihat penasaran. Ia mengambil
segelas kopi di meja dekat tempat duduknya dan terus melihat berita televisi
yang masih menyiarkan berita tentang demonstrasi.
“Ayah kok tidak menjawab
pertanyaanku” Yonas agak gelisah.
“ Kamu tahu, siapa yang mengajak
demonstrasi?” tanya ayahnya.
“Saya membaca informasi di media
sosial” jawab Yonas
“Siapa koordinator di Fakultasmu,
atau malah di kampusmu?”
tanya ayahnya lagi.
Yonas menggeleng sebagai tanda tidak
tahu detil informasi. Baginya informasi yang menyebar dari media sosial cukup
untuk mengikuti ajakan itu.
“Teman-temanku semua juga hanya
membaca informasi dari media sosial, dan itu sudah cukup, tidak perlu mengerti
siapa koordinator di kampusku” jawab Yonas.
“Kamu kalau ke mall juga karena cukup ada iklan di
media sosial yang memberi diskon, dan bersama teman-temanmu ramai-ramai
menyerbu mall” ujar Hariono.
“Tapi pergi ke mall dan ikut demo
dua hal yang berbeda” kata Yonas seolah menyanggah.
“Iya, saya tahu itu. Yang ingin saya
katakan, kamu tergerak hanya oleh satu informasi, dan seolah itu sudah cukup
tidak perlu mencari sumber informasi lainnya” ujar Hariono.
“Mestinya bagaimana? Ayah dulu ketika
mahasiswa banyak memiliki teman aktivis mahasiswa” Yonas penasaran.
Hariono menjelaskan, meskipun ayah
bukan aktivis mahasiswa, yang ikut turun ke jalan, tetapi lebih banyak aktif di
ruang diskusi. Mahasiswa era dirinya dan era sekarang berbeda. Mahasiswa
sekarang sudah dimanjakan oleh teknologi. Bacaanya mengambil dari dunia
digital, yang setiap detik informasinya berubah. Kamu sendiri tidak memiliki
koleksi buku seperti, yang ayah miliki. Buku koleksi ayah saja jarang kamu
pinjam untuk dibaca. Kamu hanya sesekali masuk perpustakaan pribadiku.
“Karena melalui perangkat digital
informasi mudah dicari” ujar Yonas
“Iya, aku tahu itu, tapi untuk saya
tidak cukup” kata Hariono.
“Lalu?” Yonas penasaran.
Hariono menatap anaknya. Dia melihat
wajah khas mahasiswa mileneal, yang tidak bisa konsentrasi secara penuh, karena
mungkin tiap detik terus didera informasi yang terus berubah, sehingga tidak memiliki
bilik untuk merenung.
“Seorang mahasiswa bacaannya harus
luas, kalau perlu membaca di luar disiplin ilmunya. Anggap saja bacaannya
melintasi bidang ilmu lain, tetapi ada satu perhatian khusus pada ilmu yang
ditekuni. Kamu tahu, Soekarno, seorang insinyur, tetapi pengetahuan politiknya
sangat luas, karena dia membaca berbagai macam hal, sehingga dia bisa mengerti
pemikiran Marx misalya” kata Hariono.
Yonas hanya diam mendengarkan,
sambil menatap wajah ayahnya.
Teman ayah, demikian Hariono melanjutkan, seorang dokter, sejak
sebagai mahasiswa kedokteran sudah membaca banyak buku, sehingga pengetahuannya
tidak hanya menyangkut soal medis, tetapi mengerti soal politik, ekonomi dan
sosial.
“Jadi, menjadi mahasiswa,
lebih-lebih sebagai aktivis harus luas bacaanya”
ujar Hariono.
Hari-hari selanjutnya, Yonas terus
terngiang ucapan ayahnya soal luasnya bacaan bagi seorang mahasiswa,
lebih-lebih seorang aktivis mahasiswa. Dia jadi ingat, teman-teman aktivis yang
ngobrol, hanya mengandalkan informasi
dari media sosial, seolah sudah menguasai masalah. Padahal, seperti dikatakan
ayahnya, ilmu-ilmu sosial terus berkembang, bahkan ada buku marketing politik
yang bisa ditemui di toko-toko buku. Selama ini dia dan temannya hanya
mengandalkan informasi dari media sosial, dan merasa sudah menguasai persoalan.
Lebih-lebih informasi yang viral, seolah sudah sebagai informasi yang valid.
“Yang viral belum tentu berkualitas”
Yonas ingat, seorang aktivis senior yang sering mengajaknya berbincang. Agung
Nugroho nama aktivis itu. Yonas ingat, dia sering menawari buku-buku bacaan,
tetapi dia tidak tertarik. Kini, ia merasa malu, bukan hanya pada ayahnya,
tetapi juga aktivis senior itu. Karena selama ini lebih mengandalkan informasi
dari media sosial ketimbang membaca buku.
Di perpustakaan pribadi ayahnya,
Yonas termangu. Dia teringat apa yang dikatakan ayahnya, bahwa informasi dari
media sosial bukan harus dihindari, tetapi bukan satu-satunya. Perlu dikonfirmasi
dari sumber lain agar tidak tersesat pikirannnya.
“Selain di sekolah, belajarlah di
perpustakaan, tidak hanya di perpustakaan ayah, bisa di perpustakaan kampus dan
perpustakaan lain” kata Hariono sambil menepuk pundak anaknya.
Yonas terkejut, tiba-tiba ayahnya
datang. Ia sedikit malu pada ayahnya, karena mulai rajin memasuki perpustakaan
pribadi ayahnya. Namun ayahnya malah senang, bahwa anaknya mulai bisa mencari
sumber informasi lain. Semakin dia mempunyai banyak sumber, daya kritisnya akan
tumbuh.
“Ayah, bagaimana cara menguji sikap
kritis?” tanya Yonas.
“Ada banyak pilihan, kamu berdiskusi
membahas satu masalah, nanti akan terlihat bagaimana sikap kritis seseorang
dalam melihat masalah. Apakah hanya melihat dari satu sisi, atau bisa melihat
dari beberapa sisi sambil memberikan argumentasi” ujar Hariono.
“Kalau dalam konteks demonstrasi,
bagaimana menguji sikap kritis? tanya Yonas lagi.
“Bisa dilihat pada pilihan isu yang
diambil. Apakah isunya berangkat dari pemahaman persoalan secara mendalam, atau
hanya ikut-ikutan, lebih parah lagi kalau isunya diberi oleh orang yang memberi
biaya demonstrasi itu” Hariono menjelaskan.
“Oh, demonstrasi ada yang membiayai ya?” kata Yonas begitu lugunya.
“Ini termasuk bagaimana kamu menguji
sikap kritismu terhadap posisimu dalam demonstrasi itu” lagi-lagi Hariono
menegaskan.
“Pilihan
isue yang diambil, demikian kata Hariono sambil menatap Yonas, bisa untuk
memahami ke mana kelompokmu berpihak. Sekaligus kamu bisa menelisik,
ke mana orientasi kelompokmu, atau lebih-lebih ketuanya
mengambil arah-langkah, dan mengenali patronnya siapa. Kalau hal itu bisa kamu
kenali, kamu bisa paham kenapa pilihan isue itu yang diambil” Hariono terus
menatap Yonas.
“Demonstrasi
memang menyenangkan, terkadang juga pelakunya seperti seorang hero, meskipun
mungkin tidak paham betul apa yang dilakukan. Karena hanya sekedar ikut-kut”
ujar Hariono.
Yonas hanya diam mendengar apa yang
dikatakan ayahnya. Karena selama ikut demonstrasi hanya ikut-ikut bersama
teman-temannya. Sebagai mahasiswa merasa malu kalau tidak ikut demonstrasi,
padahal, sungguh, Yonas dan teman-temannya tidak tahu tuntutan apa yang akan
disampaikan dalam demonstrasi itu, mengapa tuntutan itu perlu dilakukan. Hanya
diminta membawa poster, ia dan teman-temannya sudah merasa heroik. Seolah sudah
merasa mengkritisi pemerintah. Padahal pemerintah dan wakil rakyat dua hal yang
berbeda. Bagi Yonas, dan kawan-kawannya, wakil rakyat itu ya pemerintah, Jadi
kalau mahasiswa kritis terhadap wakil rakyat, artinya kritis terhadap
pemerintah.
Lagi-lagi Yonas termenung. Dia ingat
banyak rakyat menerima uang supaya memilih wakil rakyat yang memberi uang.
Padahal tidak tahu kualitas dan rekam jejak dari calon wakil rakyat itu. Kalau
di kemudian hari wakil rakyat yang, sebut saja sudah ‘membeli suara’ dan tidak
peduli terhadap rakyat setelah berhasil menjadi legislatif, ya itu resikonya.
Ia, Yonas, merenungkan apa yang
pernah dikatakan ayahnya. Mahasiswa harus cerdas, pinter dan pengetahuannya
luas, dan bisa bekerja, karena kelak akan mengisi negara dan ikut membangun
negara untuk masa depan bangsanya. Namun juga tetap kritis terhadap kekuasaan
yang otoriter dan tidak segan-segan ikun turun jalan, karena parlemen sudah
tidak bisa lagi dipercaya.
Yonas ingat, sering bertemu dengan mantan aktivis mahasiswa, yang sekarang tidak memiliki pekerjaan jelas, dan masih sering bergabung dengan para aktivis mahasiswa yang lebih muda. Aktivis itu selalu mengkritik pemerintah, apapun kebijakan yang diambil pemerintah seolah tidak ada yang beres dalam pikirannya. Meskipun pemetintahan sudah ganti presiden, dia selalu mengkritik. Sepertinya, siapapun yang menjadi presiden akan selalu dia kritik, dan dianggap tidak pernah benar. Padahal, sehari-harinya, tidak melakukan apapun untuk kepentingan masyarakat. Yonas juga melihat, para aktivis yang masuk di tengah kekuasaan, beragam posisi yang diduduki, tetapi tidak membawa perubahan seperti yang diteriakkan ketika melakukan demonstrasi. Seolah, apa yang pernah dilakukan sebagai aktivis hanya sekedar masa lalu, dan mudah untuk dilupakan. Lebih parah lagi, malah ikut ambil bagian dalam perilaku korupsi: sesuatu yang dulu ditolak, dan dengan keras memaki para koruptor.
Sikap mantan aktivis mahasiswa itu menjadi bahan pelajaran bagi Yonas. Kelak, setelah selesai sekolah, dia harus memiliki pekerjaan, atau malah bisa menciptakan pekerjaan untuk dirinya dan orang lain. Ia merenungkan betul apa yang dikatakan ayahnya: menjadi demonstran harus bisa bekerja, bukan hanya bisa membawa poster sambil teriak-teriak.
Yonas duduk di kursi perpustakaan
ayahnya. Kepalanya ditelungkupkan di meja. Waktu menunjuk pukul 01.00. Ia tertidur sambil memeluk buku. (*)
Ons Untoro, tinggal di Yogyakarta. Sejumlah puisinya masuk dalam berbagai antologi puisi bersama penyar Indonesia di tahun yang berbeda-beda. Antologi puisi tunggal, Mengenali Yogya (2012), Pastor Menikah (2016), Obituari: Mereka yang Telah Pergi (2017), Membaca Tanda: Esai-esai Tentang Kebudayaan (2019), Penyair di Tengah Pandemi (2021, Novelet), Isoman Ramuan Imajinasi (2022)