Skip to main content

Landung dan Kawan-Kawan di Gunung Kelir

 


Cerpen Ons Untoro


    Sekitar pukul sembilan pagi aku  meninggalkan rumah. Bukan hendak pergi kerja, tetapi untuk mengunjungi satu tempat petilasan, yang di tubuhku ada terciprat sedetik sejarah, tetapi sama sekali tidak ada pertalian darah. Lepas. Dan aku tidak tahu, kenapa ada cipratan sejarah pada namaku.

       Akhirnya sampai juga aku ke makam Ratu Malang. Gunung Kelir memang tidak tinggi. Tidak seperti umumnya gunung, tapi hanyalah bukit. Gunung Kelir hanyalah nama. Bukan gunung sebagaimana gunung Merapi atau Merbabu, yang susah untuk ditempuh sampai di puncak. Sebagai lokasi, Gunung Kelir tidak beda jauh dengan Gunung Tidar di Magelang. Aku memang pernah mendaki Gunung Tidar sampai ke puncak. Persis di bawah bendera yang berkibar di Gunung Tidar.

     Bersama dengan tiga orang teman, aku pergi ke Gunung Kelir. Tiga orang teman ini adalah seniorku di bidang kebudayaan dan spiritualitas. Aku memang akrab pada ketiga orang itu. Ketiga teman itu adalah, Landung Rusyanto, Hariadi Saptono dan mBak Cici. Dalam perjalanan spiritual yang sering kulakukan mestinya ada nama satu orang lagi, tetapi seorang yang juga sahabat kita bersama tidak bisa ikut, Linus Suryadi namanya.

     Plered adalah satu wilayah Kecamatan. Lokasi Gunung Kelir ada di Plered. Jarak Plered dengan tempat tinggalku tidak terlalu jauh. Kira-kira 8 Km. Plered ada di sudut timur kota Bantul. Gunung Kelir membentang ke selatan sampai bertemu dengan pegunungan di kawasan Imogiri. Menapaki Gunung Kelir, meski tidak tinggi, tetapi kalau tidak terbiasa, pasti tidak bisa membuang rasa capek.

     Mendaki Gunung Kelir masuk dari arah barat. Dari perkampungan. Tepatnya di depan rumah juru kunci Gunung Kelir. Dari titik pertama kaki dilangkahkan sampai pada titik terakhir, panas Matahari tidak langsung menyengat karena perjalanan terlindung oleh pepohonan yang tumbuh di Gunung Kelir. Namun bukan berarti sama sekali tidak ada cahaya Matahari. Karena suasananya tidak terlalu panas, sehingga rasa capek tidak sekaligus dibakar panas Matahari.

      “Berapa kali kamu sudah sampai ke Gunung Kelir” tanya Landung padaku, sambil menapaki naik ke Gunung Kelir.

       “Ya, baru kali ini” kataku.

      “Aku sudah beberapa kali” kata Hariadi Saptono. “Beberapa waktu yang lalu aku juga ke Gunung Kelir ini ditemani Banu.

       “Aku juga baru kali ini”, mBak Cici menimpali.

     “Aku memang berulangkali ke Gunung Kelir. Aku pernah juga ke tempat ini bersama Banu lebih dari lima tahun lalu. Banu tampaknya memang sering datang ke Gunung Kelir ini” kata Landung.

      “Barangkali Banu mendapat sesuatu dari Gunung Kelir ini?” kataku.

     “Saya kira tidak. Keperluan Banu ketika ke Gunung Kelir bersamaku untuk kepentingan majalah “Jejak”, satu majalah kebudayaan yang dia kelola dan akan menuliskan kisah tentang Yogyakarta. Saya masih ingat, majalah yang dia pimpin mengangkat tema “Yogyakarta Riwayatmu Kini”. Lalu dia mengajakku menelusuri Plered dan juga naik ke Gunung Kelir ini” ujar Landung.

     Tidak sampai tiga puluh menit lokasi makam Ratu Malang bisa dicapai. Di lokasi yang memang terasa senyap dan singup, selain terdapat makam Ratu Malang,tTerdapat pula beberapa makam lain. Makam Ratu Malang di tempatkan tersendiri sekitar 20 meter dari nisan-nisan lain. Makam Ratu Malang tepat persis di bawah pohon, sehingga tidak ada cahaya Matahari langsung menembus nisan Ratu Malang. Makam yang sudah melewati abad terasa sekali kalau  tidak dirawat. Makamnya dikelilingi beteng yang sudah rapuh. Nama kompleks makamnya adalah Antakapura.

      Ini makam seorang  permaisuri Raja, tetapi tempatnya lusuh sekali. Kotor dan jarang dikunjungi orang. Di sebelah timur makam dan masih dalam satu bangunan ada kolam yang sudah kering. Konon kisahnya, kolam itu adalah tempat untuk mandi Sunan kalau berkunjung ke makam Ratu Malang dan bermalam di makam itu.

     Gunung Kelir tempat makam Ratu Malang berada pada ketinggian 29 m di atas permukaan laut. Tembok yang mengelilingi makam Ratu Malang terbuat dari batu putih. Tinggi tembok sekitar 2 m dan ketebalan tembok kira-kira 58 cm. Kolam yang ada di belakang atau di sebelah timur makam adalah berupa sendang untuk menampung air hujan. Sendang itu diberi nama Sendang Maya. Ukuran kolam atau sendang 3,5 m x 5 m dan dikelilingi tembok setinggi 3 m dengan ketebalan tembok kira-kira 210 cm.

   Aku tidak mengerti kenapa permaisuri Raja yang sudah mangkat tidak dimakamkan di pemakaman Raja-Raja di Imogiri. Padahal, kalau ditelusuri jejak sejarah, makam Imogiri dibangun pada jaman Sultan Agung memerintah Mataram. Sunan sebagai penerus Sultan Agung, mestinya mempunyai wewenang penuh untuk memakamkan permaisurinya, Ratu Malang, di Imogiri. Tetapi kenapa tidak dilakukan? Aku rasa, sejarah mempunyai “nalurinya’ sendiri sehingga di kemudian jaman, sejarah juga yang akan menyampaikan. Setidaknya seperti aku lihat sekelumit sejarah di Gunung Kelir ini.

     “Kenapa kamu mempunyai keinginan kuat ke makam Ratu Malang?” tanya mas Landung padaku.

    “Entahlah mas. Ayahku pernah ke makam ini, tetapi entah kapan. Yang pasti sebelum aku lahir. Kata ayahku, namaku diambilkan dari nama ini. Tapi maksudnya apa aku tidak tahu. Karena ayahku tidak pernah cerita kenapa namaku Ratu Malang. Memang ayahku pernah singgah di makam ini. Aku pernah dengar cerita ayahku pergi ke Gunung Kelir ketika aku masih klas 1 SMA.” kataku.

    Mas Landung berkisah: “Ada banyak cerita menarik menyangkut Ratu Malang di Mataram jaman Sunan Amangkurat I. Raja ini sangat mengasihi Ratu Malang melebihi istri-istri yang lain. Kehadiran Ratu Malang di Kraton menimbulkan intrik dan cemburu di antara istri-istri Sunan Amangkurat I. Ratu Malang sebelum diambil istri Sunan Amangkurat I sudah mengandung. Sunan Amangkurat I sangat mengasihi anak Ratu Malang yang dikenal dengan nama Pangeran Natabrata atau Raden Resika. Sunan Amangkurat sangat kasih pada Raden Resika persis seperti beliau sangat kasih pada ibunya, Ratu Malang….”

     Mas Landung duduk di dekat nisan Ratu Malang sambil menyalakan sebatang rokok. Aku dan mBak Cicit duduk di dekatnya. Sementara Hariadi selalu melihat Mas Landung dan kita dari balik lensa kamera. Sesekali mendekat dan keluar dari benteng bangunan makam untuk melihat obyek yang lain dan mengintip dari lensa kamera: klik!

    Mas Landung kembali berkisah: “Selain Ratu Malang, kehadiran Pangeran Natabrata menimbulkan persoalan tersendiri. Karena demikian kasihnya Sunan Amangkurat kepada Pangeran Natabrata, ini membuat putra mahkota cemburu dan kawatir bahwa tahtanya akan  beralih pada Pangeran Natabrata. Putra makhota takut akan kehilangan tahta raja. Karena itu, seperti dalam kisah perebutan kekuasaan dan juga sering dikisahkan dalam pertunjukan ketoprak, ada komplotan yang memihak putra mahkota dan ada komplotan yang memihak Ratu Malang dan putranya, Pangeran Natabrata. Sunan Amangkurat kelihatan memihak Ratu Malang. Karena Sunan Amangukurat pernah mencoba membunuh putra mahkota dengan racun tetapi gagal…”

   Satu batang rokok habis. Mas Landung mengambil botol air mineral. Lalu meneguknya. Kelihatan nikmat sekali. Di bawah pepohonan di atas bukit, di lingkungan petilasan yang menyimpan sejarah Jawa Mas Landung seperti sosok yang bisa membaca sesuatu yang tidak tampak tanpa harus kehilangan referensi. Mas Landung kembali menceritakan, tetapi bukan menyangkut Ratu Malang, melainkan Sunan Amangkurat I. Kata Mas Landung: “Sultan Agung, Raja Mataram memiliki sejumlah anak, salah satunya adalah Sunan Amangkurat Agung. Ia merupakan anak kesepuluh dan merupakan putra kedua dari permaisuri  kedua. Nama ibundanya Raden Ayu Wetan. Sedang, Kanjeng Ratu Kulon atau yang sering disebut Ratu Emas Tinumpak merupakan permaisuri pertama dari Sultan Agung. Kanjeng Ratu Kulon, dalam kisah sejarah, setelah melahirkan putra pertama, Raden Mas Sahwawrat namanya, diusir dari Kraton. Barangkali pengusiran ini akibat intrik politik di dalam Kraton. Tetapi yang jelas, dari kisah sejarah, setelah permaisuri pertama diusir, permaisuri kedua namanya diganti  menjadi Kanjeng Ratu Kulon. Penggantian nama ini, barangkali bisa untuk menduga adanya intrik politik antar permaisuri”.

     Kembali Mas Landung  mengambil sebatang rokok. Sebelum menyulutnya ia mengambil air mineral untuk diteguknya. Tidak ketinggalan, mBak Cici yang sejak dari awal takjub mendengarkan kisah dari Mas Landung juga mengambil air mineral untuk diteguknya. Hariadi sudah duduk lesehan bersama untuk ikut mendengarkan. Sambil mengunyah permen. Hariadi mendengarkan kisah dari mas Landung. Uraiannya:

“Sebagaimana Raja yang mempunyai sejumlah nama, Amangkurat yang lahir tahun 1619 semula bernama Raden Mas Sayidin. Dikemudian hari diberi nama Jibus dan Rangkah. Setelah diangkat sebagai putra mahkota kemudian diberi nama Pangeran Aria Mataram. Sebagai Raja beliau dikenal pula dengan nama Susuhunan Amangkurat Senapati Ingalaga. Selain itu dikenal pula dengan nama Susuhunan Tegalwangi. Atau juga dikenal dengan nama Sultan Plered”.

      “Wah, kita sudah seperti kuliah sejarah dalam beberapa jam ini, dan langsung di lapangan pula” komentar Hariadi.

          Kita tertawa bersama.

      Mas Landung berdiri. Kelihatan capek. “Cobalah nanti kalau sudah sampai di rumah kamu, Ratu,  mencoba membuka bukunya De Graaf, yang berjudul “Runtuhnya Istana Mataram”. Kamu bisa cari di halaman awal kisah mengenai Ratu Malang. Memang tidak banyak bahan yang bisa dipakai untuk mengkisahkan Ratu Malang, tetapi De Graaf ada mencatat”.

     Gunung Kelir kita tinggalkan bersama. Setelah turun dari Gunung Kelir. Mobil yang kita tumpangi, milik Hariadi Saptono, menyusuri jalan kampung dan lewat tepian sawah. Gunung Kelir memang tidak jauh dari Pasar Plered dan tidak jauh dari kantor Kecamatan.

       Di sepanjang jalan pulang aku masih terus gelisah soal Ratu Malang. Bukan mengenai kenapa namaku Ratu Malang. Namun lebih pada kisah sejarah yang kelam dan menakutkan pada jaman itu. Seorang perempuan yang menyimpan sumber malapetaka kekuasaan. Di mobil aku lebih banyak diam, sementara Landung dan Hariadi saling berbincang. Aku hanya mendengarkan perbincangannya.

       “Dalam sejarah perempuan seperti tidak bisa  lepas dari kekuasaan. Perempuan menyertai dan ada di pusat kekuasaan” kata Hariadi.

     Aku lihat Landung mengangguk. “Ken Arok merebut kekuasaan Tunggul Ametung karena terpesona Ken Dedes” kata Landung.

    “Barangkali untuk memahami kekuasaan bisa memasukinya dari dunia perempuan” ujar Hariadi.

      “Seringkali, kekuasaan bisa dijelaskan dari tingkah laku perempuan” kata Landung

      “Maksud mas Landung?”tanya Hariadi

    “Seperti Ratu Malang yang membuat Sunan Amangkurat bisa mengambil kebijakan yang mengerikan, misalnya mencoba membunuh putra mahkota dengan racun, meski gagal” kata Landung

       “Artinya, meski perempuan secara formal tidak berada di dalam struktur kekuasaan, tetapi mempunyai pengaruh terhadap perilaku kekuasaan?” tanya Hariadi.

            Landung mengangguk. “Itulah kenapa, orang, terutama kalangan ilmuwan sosial sering melihat struktur gelap sebagai wilayah yang memiliki peran dalam proses pengambilan keputusan politik” jelas Landung.

            “Maksudnya struktur gelap? tanya Hariadi.

          Sambil menatap Hariadi dan sesekali menoleh padaku dan mBak Cici, mas Landung seperti agak serius menjelaskan satu soal yang ditanyakan  Hariadi. Dahinya berkerut. Suaranya mantap, mas Landung berkata:

 “Dalam tata negara secara formal sudah ada struktur yang dibentuk, tetapi seringkali apa yang disebut sebagai formal tidak fungsional. Struktur formal hanya formalitas dalam tata negara, tetapi fungsinya sering diambil alih oleh yang bukan formal. Itulah struktur gelap”.

            Hariadi hanya diam. Tetapi sorot matanya kelihatan kalau tidak paham. Tangan kanannya dipukul-pukulkan pelan pada kemudi mobil.

“Lalu letak struktur gelap itu di mana pada struktur formal” tanya Hariadi sambil menghentikan tangan kanannya memukul-mukul kemudi mobil.

            Landung tersenyum dan paham arah pertanyaan Hariadi. Lalu katanya:    

“Namanya struktur gelap, ya tidak ada di dalam struktur formal”

         "Tetapi kenapa memiliki peran dan mengalahkan struktur formal” tanya Hariadi heran dan kelihatan tidak sabar.

            “Mungkin kalau saya beri contoh bisa membantumu untuk mengerti” kata Landung. “Misalnya, lanjut Landung, dalam struktur formal negara kita ada mentri sosial, tetapi fungsi mentri sosial tidak dominan, yang lebih berperan putri presiden. Keputusan kementiran sosial lebih banyak berasal dari putri presiden, tetapi yang menyampaikan keputusan  kepada publik mentri sosial. Itulah contoh struktur gelap”.

            Hariadi tersenyum. Seperti merasa puas menyangkut apa yang dia tanyakan mengenai struktur gelap, melalui titik masuk Ratu Malang.

            “Kenapa kamu diam Ratu?” tanya Hariadi padaku seperti mengalihkan suasana.

            “Aku masih gelisah” jawabku”

            “Soal kisah Ratu Malang atau kamu merasa sebagai struktur gelap di antara kita bertiga?”tanya Landung sambil tertawa.

            Kita bersama tertawa. Lepas. Tapi aku  hanya tersenyum tipis.

            “Ya dan juga tempatnya” jawabku.

            “Apa yang kamu maksud tempatnya?”tanya Hariadi

            “Lokasi itu menyimpan sejarah, tetapi tempatnya tidak terawat. Siapa yang harus bertanggung jawab menjaga dan mengembangkan tempat itu? kataku.

            “Secara administratif lokasi itu ada di Kabupaten Bantul. Aku tidak tahu apakah pihak pemda Bantul merasa mempunyai wewenang terhadap lokasi itu” ujar Hariadi.

            “Itulah. Apa mungkin Kraton?” ucap Landung.

            Tidak terasa perbincangan di sepanjang perjalanan seperti menyingkat jarak. Mobil sudah masuk dan diparkir di depan rumah mas Landung di Kemetiran tempat kita berkumpul dan berangkat bersama. Aku mengambil motor, Honda Astrea Impressa warna hitam dan langsung pulang dengan membawa kegelisahan.

            Malam sekitar pukul tujuh, televisi di rumah sudah menyala. Ayah dan Ibu melihat televisi. Aku menyiapkan makan malam untuk ayah dan ibu. Setiap hari di rumah kita bertiga makan malam pukul setengah delapan. Selesai makan aku segera masuk kamar. Ayah dan Ibu masih  berbincang sambil melihat televisi.

            Di kamar aku langsung mengambil buku De Graaf mengenai seri sejarah Mataram. Buku yang berjudul “Runtuhnya Istana Mataram” seperti dikatakan mas Landung ada di paling bawah dalam rak buku. Aku mengambilnya dan membuka lembar demi lembar sambil mencermati kisah yang disampaikan De Graaf. Pada halaman 18 aku berhenti. Tertegun. Ada sub judul: Ratu Malang. Aku membacanya.

            Membaca tulisan De Graaf pada sub judul “Ratu Malang” aku seperti kembali ke Gunung Kelir. Seperti membongkar makamnya dan bertanya pada Ratu Malang mengenai apa yang terjadi sesungguhnya. Ratu Malang, yang diberi gelar Ratu Wetan oleh Sunan Amangkurat, dikisahkan oleh De Graaf dengan data-data dan membuatku seperti bertemu dengan kisah masa lalu yang kelam dan mengerikan. Di kamar, sendirian,  aku seperti sedang suntuk mendengarkan De Graaf bertutur:

            “Jenazahnya (Ratru Malang, pen) dibawa ke Gunung Kelir, tetapi liang lahat tidak ditutup karena Sunan tergila-gila mencintainya: ‘siang dan malam bersama anaknya ia menjaga di samping jenazah Ratu Malang.’ Kepergian Raja menimbulkan kekacauan di Kraton. Keluarga dan para bupati memohon kepadanya supaya kembali pulang. Pada suatu malam Sunan mendengar dalam mimpinya bahwa Ratu Malang telah menemani kembali suaminya, Ki Dalem. Setelah terbangun, dilihatnya jenazah Ratu Malang sudah tidak berbentuk manusia lagi. Setelah itu ia kembali ke Kraton dan dengan marah diperintahkannya agar menutup liang lahat. Setelah itu suasana kembali tenang”

        Seolah melihat De Graaf sedang membetulkan kacamatanya sambil memperbaiki letak duduknya, aku kembali mendengarkan apa yang dia tuturkan dalam kisah yang lebih mengerikan lagi:

            “Tidak lama kemudian Raja memerintahkan agar 43 orang selirnya, sekalipun sama sekali tidak bersalah atas kematian istrinya itu, “ditahan di suatu tempat tertentu tanpa diberi makan atau minum, dan siapa saja yang kelaparan, dipaksa makan sesama mereka yang sudah mati, sampai akhirnya seorang saja yang tinggal. Kepada selir yang masih hidup ini Raja bertanya, mengapa ia tidak mati juga. Selir itu menjawab, ‘Hamba tidak tahu, Sri Baginda.’. ‘Baiklah’ katanya. ‘Tetapi kau akan menyusul istriku yang sudah mati.” Setelah itu diperintahkannya selir itu dikuburkan hidup-hidup di sebelah makam permaisurinya. Selain selir-selir ini masih ada 350 orang lagi yang melayang jiwanya.”

        Tidak terasa tanganku bergetar memegang buku De Graaf. Bukan karena De Graaf hadir di hadapanku atau Ratu Malang menyelinap dalam tubuhku. Tetapi kisah yang menggetarkan sekaligus mengerikan di abad yang sudah lewat, jejak tapaknya bisa dikunjungi di satu tempat dan tidak jauh dari kota. Gunung Kelir adalah nama tempat itu, Plered adalah nama desa dan sekaligus nama Kecamatannya. Ada satu alinea lagi yang ditulis De Graaf yang memberikan aksentuasi rasa kasih pada Ratu Malang. Dengarkan kisah itu:

        “Konon di bawah pemerintahan Sunan ini ada salah seorang istrinya “bernama Njai Mas Maling”, yang bisa memperoleh segala apa saja dari Raja. Ketika wanita itu pada suatu waktu meninggal, Sunan menjadi demikian sedihnya sehingga ia mengabaikan segala masalah kerajaan. Setelah  pemakaman istrinya, diam-diam ia kembali ke makam istrinya tanpa diketahui seorangpun “dan begitu kasihnya kepada wanita itu sehingga ia tidak dapat menahan diri, dan turut membaringkan dirinya di dalam kuburan…”

         Tidak terasa malam sudah agak meninggi. Waktu menujuk pukul sebelas malam. Sudah tidak terdengar suara televisi dan tidak terdengar suara ayah dan ibu. Aku keluar kamar untuk menuju ruang tengah. Sudah sepi. Lampu sudah dimatikan. Pintu sudah dikunci. Ayah dan ibu sudah pergi tidur. Aku kembali masuk kamar. Terasa kantuk tak tertahankan. Namun ingatan petilasan Ratu Malang tidak hilang dari benak.

            “Aku akan menyusuri jejak tapak sejarah yang lain” kataku dalam hati sambil berselimut untuk pergi tidur.


Ons Untoro, tinggal di Yogyakarta. Sejumlah puisinya masuk dalam berbagai antologi puisi bersama penyar Indonesia di tahun yang berbeda-beda. Antologi puisi tunggal,  Mengenali Yogya (2012), Pastor Menikah (2016), Obituari: Mereka yang Telah Pergi (2017), Membaca Tanda: Esai-esai Tentang Kebudayaan (2019), Penyair di Tengah Pandemi (2021, Novelet), Isoman Ramuan Imajinasi  (2022).