Skip to main content

Sebidang Kalang Sejengkal Bumi



Cerpen Yonas Suharyono

 

PULANG kampung sejatinya menjadi hak semua orang, apalagi jika masih memiliki rasa kangen dan ada rasa ikatan batin dengan tanah tumpah darahnya. Kampung halaman selalu menjadi daya tarik seseorang untuk melakukan perjalanan jarak jauh, meskipun orang itu sudah mapan hidup di tempat lain. Begitu juga yang dirasakan Kasdu belakangan ini.

Namun keinginan pulang kampung halaman itu selalu mendapatkan penolakan dari teman dan kerabatnya sesama transmigran dari daerah yang sama. Dia sudah empat puluh tahun merantau di tanah orang, jauh dari pandang pada peta ilmu bumi yang didapatkannya waktu sekolah dasar di kampungnya. Pada sepetak tanah  warisan orang tua yang cukup menorehkan kenangan betapa sebidang kalang sejengkal bumi adalah sesuatu yang sangat berharga meskipun tak menghasilkan apa-apa.

Kemarau panjang tahun 1975 adalah kemarau terakhir dia menjejakkan kaki di bumi kelahirannya, kampung Sawur yang berada di lereng bukit Penggung. Tanah gersang itu tidak menjanjikan apa-apa, tak bisa ditanami padi dan palawija. Hanya batang singkong yang bisa tumbuh di tanah sela-sela bebatuan. Ada tiga puluh rumah dihuni oleh tiga puluh kepala keluarga yang saban harinya hanya mengandalkan hasil bumi berbatu padas. Kaum lelaki sebagian besar bekerja sebagai buruh cangkul atau tukang panggul di pasar kota yang jauh letaknya. Anak-anak berjalan tanpa alas kaki menuju sekolah di kampung sebelah yang sekolahnya menempati rumah lurah dan sebagian menggunakan pendapa milik juragan Soma Ngabas.

Kasdu, yang hanya sampai kelas empat sudah harus berhadapan dengan polisi pamong praja ketika kedapatan menyatroni rumah juragan Soma Ngabas dan menggasak isi tokonya untuk dibagi-bagikan ke teman dan tetangga yang kelaparan karena tidak kunjung beroleh kiriman dari para orang tua.

“Sebaiknya tunda dulu niatmu menengok tanah leluhur kita, Kang Kasdu!” rayu Wasman, teman seperjuangan di tempat baru itu. “Di sana sedang kacau. Tidak menerima pendatang dari luar daerah, termasuk kita pewaris tanah leluhur,” lanjutnya.

“Persetan dengan semua omongan orang. Pokoknya kita harus pulang demi menengok leluhur kita yang sudah bersemayam di tempat kita lahir dan dibesarkan.”

“Tetapi keadaan sedang genting. Kita tunda barang setahun dua tahun, agar keadaan kondusif, baru kita pulang bersama-sama. Belum tentu mereka juga menerimamu karena sudah dianggap sebagai orang hilang.”

Mata Kasdu menerawang jauh ke masa lalu yang getir. Ya, diakuinya bahwa dirinya bukan anak kampung Sawur yang baik, yang memiliki tanggung jawab terhadap tanah kelahiran, yang menjunjung adat nenek moyang. Malah sebaliknya. Meski bukan satu-satunya, Kasdu sering terlibat tindak kriminal, colong jupuk, menyatroni rumah Soma Ngabas, hingga memanen tanaman pangannya. Tetapi siapa yang bisa diam bertahan melihat tanaman kacang dan singkong juragan yang terkenal pelit itu ketika perut merengek minta segera diisi, sementara di rumah tak dia temui nasi tiwul barang sesuap. Maka, bagi Kasdu, gelapnya malam adalah teman paling setia untuk mendapatkan beberapa batang singkong milik juragan. Dan siang adalah musuh paling dibenci karena harus bertgelut dengan godam demi mendapatkan batu lintang untuk dijual ke pengepul.

 “Kalau kalian tidak mau, biarlah aku berangkat sendiri. Aku sudah berkirim surat ke kampung.”

“Tahan dulu, kang Kasdu. Ini juga demi kamu dan anak isterimu. Aku mengkhawatirkan keselamatanmu nanti kalau kau memaksakan diri pulang.”

“Jangan pedulikan aku, Man. Bukan Kasdu kalau tidak bisa mewujudkan keinginan. Bukan bromocorah kampung Sawur jika tidak bisa menggulingkan traktor Soma Ngabas hingga enyah dari tanah leluhur kita.”

“Kang Kasdu, di sini kamu sudah menjadi orang kaya raya. Tanahmu luas, rumahmu banyak. Bisnis anak isterimu berkembang menggurita. Lalu, apa yang ingin kaucari di tanah leluhurmu yang kering kerontang itu?”

Kasdu hanya mengangkat bahu. Malam makin merangkak mengantar bulan menuju langit barat. Terdengar lagu langgam keroncong Lingsir Wengi mendendangkan alunan melodi magis. Jangkrik mengerik bersahutan membawakan musik malam yang penuh kesyahduan. Yang  jantan mengundang betinanya mendekat kemudian mengisi malam dengan upacara asmara. Binatang malam itu berpagut asmara hingga bulan lingsir ke arah barat.

***

Sebidang kalang sejengkal bumi. Meskipun tidak bisa menghasilkan padi dan palawija, namun keberadaannya sangat berarti. Orang-orang kampung menerjemahkan sebagai sadumuk bathuk sanyari bumi, setelunjuk kening sejari tanah, merupakan kehormatan yang harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Tanah, seberapa sempitnya adalah kehormatan yang harus diperjuangkan meskipun sampai harus berkalang. Karena bumi adalah ibu pertiwi dan mati mempertahankan bumi kelahiran adalah kebanggaan. Orang-orang kampung Sawur pantang menjual tanah warisan leluhur kepada kaum kaya dari luar daerah meski diiming-iming segepok uang, segudang beras, atau serenteng emas.

Hari ke enam belas setelah lebaran, Kasdu nekad pulang kampung. Tak ada satu pun warga yang mengantarnya karena tak ada yang dia pamiti kecuali anak isterinya. Dari anaknya pula dia mendapatkan tiket pesawat dari Bandara Radin Inten menuju Cengkareng. Di sana sudah ada kerabat yang menjemput menuju stasiun Senen kemudian berganti kereta api menuju Stasiun Tugu Yogyakarta.

Bayangan tanah tandus berbatu dan teman-temannya bekerja serabutan membelah batu untuk ditukarkan beras memberi dorongan kuat agar cepat sampai di kampung Sawur dan meneguk air langsung dari belik Belimbing. Beban paling berat adalah meminta restu dan mencuci dosa-dosanya kepada kedua orang tuanya yang sudah berbaring di kubur kampung. Betapa tidak. Dia sudah melakukan hal bodoh selama ini hingga kematian bapak emboknya pun tak dia ketahui. Dia sudah dianggap hilang dan tidak lagi diakui sebagai anak. Bahkan doa yang selama ini selalu dipanjatkan saat ibadah serasa tak pernah sampai alamat.

Dan pada siang yang cerah, lelaki itu sudah sampai di tapal batas tanah kelahiran. Betapa terkejutnya dia. Tanah yang dahulu kering berbatu, kini sudah ditumbuhi pohon-pohon sengon dan jati menjulang. Tanah tegalan tempat dulu dia mencabut rumput pakan kambing, kini menjadi sawah subur. Ada saluran air melewati kaki bukit, mengalirkan air menuju berbagai arah. Rumah-rumah yang dulu berdinding bambu, kini sudah bertembok dan bercat warna-warni.

Kasdu tidak menyadari, kedatangannya memang tidak diinginkan oleh penduduk sekitar kampung Sawur. Mereka sudah membuat pagar betis demi menghadang bekas begal itu kembali ke kampung halamannya. Rupanya mereka sudah mendapat kabar dari teman sesama trasmigran akan kedatangannya ini. Seorang hansip berbadan tegap berkacamata hitam menghampiri kemudian tanpa bersuara menggaet tangan Kasdu. Mereka membawanya menaiki bukit yang dahulu sering didaki bersama teman-teman.

Kemarahan Kasdu memuncak begitu melihat pemandangan yang sangat menyedihkan. Kampung Sawur yang dulu pernah ditinggali bertahun-tahun kini berubah menjadi telaga. Tak tersisa bukit yang dulu pernah didaki bersama teman-teman, bahkan tanah kubur leluhur ikut tenggelam. Maka menangislah lelaki perkasa itu meratapi tanah leluhurnya yang hilang. Impian membangun tanah kelahiran dengan uang yang dikumpulkan sedikit-demi sedikit selama berpuluh tahun merantau lenyap, menyisakan penyesalan yang menghimpit dadanya. Sebidang kalang sejengkal bumi yang ingin dia tanami uang kebanggaan sebagai lelaki sejati yang sudah menang perang kini lenyap tertutup limpahan air yang menggenang.

“Di mana Soma Ngabas berada?”

“Beliau sudah meninggal, Lik Kasdu.”

“Bajingan dia, di mana kuburnya?”

“Di sana. Di bukit Dawul, bersama para leluhur termasuk bapak embokmu. Semua jasad orang-orang kampung Sawur di pindah ke atas bukit agar tidak tergenang.”

Sejenak sepi, hanya kesiur angin kemarau sesekali menampar wajah Kasdu yang menahan gundah. Baling-baling bambu mainan anak-anak berputar lebih kencang, dan pada puncak putaran terdengan bunyi menyalak seperti salak anjing bersahutan.

“Lik, ketahuilah, Den Soma Ngabas yang membangun bendung ini. Penghuninya sudah dipindahkan ke kampung lain menempati tanah milik beliau. Beliau juga yang memindahkan kubur para leluhur ke atas bukit. Lihatlah, Lik. Tanah sekitar sini sekarang subur, rumah-rumah dibangun tertata rapi.”

“Jadi, juragan licik itu membangun bendung ini?”

“Benar, Lik. Selepas Lik Kasdu berangkat bertransmigrasi, tanah ini dikuasai juragan Soma Ngabas. Warga yang tidak ikut transmigrasi diberi tanah warisannya di dukuh sebelah yang lebih layak huni. Dan seperti yang kau lihat, kampung Sawur dijadikan bendung untuk mengairi tanah di sebelah selatan. Sekarang mereka lebih makmur dan sejahtera. Kini tidak pernah ada pertengkaran antarwarga kampung dan antara kampung Sawur dengan kampung-kampung sebelah.”

Kasdu merasa beban di pundaknya semakin berat. Selama ini dia sudah termakan oleh prasangkanya sendiri. Dia tak sadar bahwa tanah lahirnya memerlukan orang cerdas dan dermawan untuk membangunnya. Maka melangkah tertatih dia menuju surau kecil di dekat pendapa kampung. Dia bersujud di lembaran sajadah, rebah dan pasrah.

Esoknya, ketika warga menjamunya dalam kenduri di pendapa kampung, lelaki itu membongkar isi ransel yang selalu menggelayuti pundaknya. Dari dalamnya tersembul bergepok-gepok uang kertas ratusan ribu rupiah. Dia ingin menggenapkan janjinya membangun tanah kelahiran dengan mendirikan rumah ibadah di dekat pendapa. Lelaki itu ingin pulang dan istirahat panjang di tanah kelahirannya.***



Yonas Suharyono, mantan Guru SMP Negeri 1 Cilacap, menulis kumpulan cerpen, pentigraf, novel, puisi, dan opini. Tinggal di Cilacap. Alamat jalan Jatiwangi No. 2 Rt 04 Rw 03 Tritih Kulon Cilacap Jawa Tengah, 53233. Email: yonasgunkid@gmail.com No. HP/WA:081578065102. Akun FB: Yonas Suharyono. IG: yonassuharyono