Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2023

The Stalker

  Cerpen Lies Wijayanti SW   Four lines of poetic diction Appears in the beginning of every season Tidy, h andwritten in a blue ink Sandwiched in a scarf of soft pink   No voice phone call but love song echoes In a perfect plaintive- whispery voice Hypnothised feeling! This heart then, starts melting!     Sabtu sore, 30 Maret 1985. Kubuka jendela kamar, semilir sejuk angin Tokyo menerpa wajah, pandanganku dipikat jajaran sakura di tepian jalan asrama multibangsa Asia Bunka Kaikan. Bunga merah muda bermekaran, menebarkan pesona menawan. Sebuah pemandangan yang luar biasa indah ini rupanya yang membawa Jepang dikenal sebagai negeri Sakura. Suasana musim semi telah lama kunanti sejak pertama kali menjejakkan kaki di Tokyo pekan keempat Januari lalu. Akhir Maret selama 2 minggu aku menikmati keindahan sakura dan mengalami hawa musim semi yang sedikit lebih masuk akal ketimbang musim sebelumnya. Hari ini dan besok, aku benar-benar ingin melepas penat setelah dua

Antara Aku, Ibu dan Anak Perempuanku

  Cerpen: Margareth Widhy Pratiwi “Cerai! Itu saja keputusanku, Bu.”             Kalimat itu terasa keluar dengan ringan, dari bibir Myrna. Anak perempuanku itu datang ke rumah masih lengkap dengan seragam kantornya. Aku menatap wajahnya yang kaku. Ada emosi yang nampak sudah lama dipendamnya.             “Aku sudah gak tahan lagi, Bu.” Myrna kembali berucap. Nada marah masih jelas terdengar. Mata yang tadi menatap keluar, kini beralih ke wajahku. Lalu ia kembali berujar, “Daripada semakin sakit hati, maka perceraian itulah jalan terbaik.”             Aku menelan ludah. Kugigit bibirku, kucoba mencerna kalimat-kalimat yang keluar dari anak sulungku itu. Pernikahan mereka belum genap dua tahun. Kutatap wajahnya yang kaku, lalu kutarik napas yang tiba-tiba menyesakkan dada.             “Kau lelah sepulang dari kantor, Na,” kataku pelan. “Mandi dan ganti bajumu. Supaya hatimu tenang.” Aku berusaha untuk meredakan amarahnya.             Myrna menatapku. Ia nampak akan berbicara lagi, namun

Kembali untuk Berdamai

  Cerpen Dewi Anggraeni        Saat memasuki Klungkung, sopir mobil berpaling kepada kami.     “ Bu,’ katanya kepadaku, sebaiknya Ibu menutup jendela kalau tidak mau menghirup udara yang penuh dengan asap mesin! ”        Aku memandang keluar jendela. Kepulan-kepulan hitam yang keluar dari pipa belakang kendaraan-kendaraan besar menyambutku. Mungkin aku latah, tapi dadaku segera terasa sesak. Mobil sewaan yang kami tumpangi ini tidak berAC, jadi cuma ada dua pilihan: panas dan pengap, atau panas dan kotor.            “ Terima kasih, Pak, ” sahutku, ‘kami biarkan terbuka barang setengah jam lagi.’ Lalu akupun meniru Ani, menempelkan saputangan pada mulut dan hidungku sebagai penyaring agar asap kotor tidak memasuki paru-paru kami.       Ani menatapku dari balik saputangannya yang terlipat dengan necis, yang bermotif kembang-kembang merah dan biru. ‘Kita cukup senang di sana ‘kan, apapun yang Ibu alami di gubuk itu. Bu?’ Suaranya bagai datang dari ruang tertutup, membuat aku be