Cerpen: Margareth Widhy
Pratiwi
“Cerai!
Itu saja keputusanku, Bu.”
Kalimat itu terasa keluar dengan
ringan, dari bibir Myrna. Anak perempuanku itu datang ke rumah masih lengkap
dengan seragam kantornya. Aku menatap wajahnya yang kaku. Ada emosi yang nampak
sudah lama dipendamnya.
“Aku sudah gak tahan lagi, Bu.”
Myrna kembali berucap. Nada marah masih jelas terdengar. Mata yang tadi menatap
keluar, kini beralih ke wajahku. Lalu ia kembali berujar, “Daripada semakin
sakit hati, maka perceraian itulah jalan terbaik.”
Aku menelan ludah. Kugigit bibirku,
kucoba mencerna kalimat-kalimat yang keluar dari anak sulungku itu. Pernikahan
mereka belum genap dua tahun. Kutatap wajahnya yang kaku, lalu kutarik napas
yang tiba-tiba menyesakkan dada.
“Kau lelah sepulang dari kantor,
Na,” kataku pelan. “Mandi dan ganti bajumu. Supaya hatimu tenang.” Aku berusaha
untuk meredakan amarahnya.
Myrna menatapku. Ia nampak akan
berbicara lagi, namun hanya membuang napasnya lalu beranjak. Tidak lagi
membantah, saat kusuruh membersihkan diri.
Kutarik napas panjang. Mencoba
mengisi paru dengan udara segar. Apa yang disampaikan Myrna baru saja, tentang
sikapnya sempat membuat napasku sedikit sesak. Sikap anak perempuanku yang
berani mengambil keputusan secara mandiri, tanpa rasa takut. Sikap yang membuat
anganku terlempar masa tigapuluh tahun ke belakang.
Perceraian. Tigapuluh tahun yang
lalu, keinginan seperti itu selalu terlintas dalam benakku. Keinginan yang
sama, namun tak pernah bisa kusampaikan pada ibuku. Perceraian adalah hal yang
tabu bagi seorang perempuan Jawa.
“Ora ilok.” Begitu selalu
kata ibuku waktu itu. “Wanita memang seharusnya melayani laki-laki. Kalau
kamu pinter melayani, suami tidak akan pernah melupakanmu, Ndhuk. Sejauh apapun
suamimu pergi, ia akan kembali dalam pelukanmu.”
Kata-kata ibu sedemikian terpatri.
Telah menjadi pedoman perkawinan ibu, yang harus kuturuti tanpa lagi bisa
menolak atau mendebatnya. Jika aku pulang ke rumah dan mengadu tentang
perlakuan ayah Myrna, bukan pembelaan atau perlindungan yang kudapat.
“Pulanglah, Wi. Rumahmu bukan
lagi di sini, kamu sudah punya keluarga. Rumahmu bersama suami dan anakmu.”
Itulah yang dinasehatkan ibu waktu itu.
Ahh, Ibu. Kalimat itu melemparkan semakin jauh ke masa kecilku. Benarkah sekuat itu hati perempuan yang menjadi ibuku. Baru kupahami setelah dewasa, ternyata bapak dalam kondisi mabok saat pulang meracau dan bersikap kasar pada ibu. Dua kakakku hanya memberi isyarat diam dengan telunjuknya, saat aku ketakutan dalam pelukan kakak-kakakku. Aku tak paham apa yang terjadi, selain meringkuk dan tertidur hingga pagi. Kulihat sekilas mata ibu yang bengkak, tapi kekanak-kanakanku tak punya pikiran apapun waktu itu. Ibu seperti biasa membuatkan sarapan, dan menyiapkan segala sesuatu keperluan bapak. Ibuku yang kuat, atau seorang perempuan yang mampu menyembunyikan kerapuhan hatinya? Aku tak bisa membedakannya. Hingga bapak tiada menjelang aku dewasa. Hanya saja menjadi trauma bagiku. Aku tak mau berumah tangga, hingga ibuku kalang kabut dan memaksaku untuk menerima jodoh yang dipilihnya. Keputusan yang gegabah, saat aku apatis dan takluk pada keinginan ibu.
Aku berusaha mencintai Mas Heru,
laki-laki pilihan ibuku namun ternyata gagal. Mas Heru tidak sepenuhnya bisa
kumiliki, karena hatinya untuk wanita lain. Aku menangis, menyimpan segalanya
sendiri. Seperti inikah perasaan ibuku dulu. Mas Heru memang tidak pulang dalam
keadaan mabok dan meracau bau alkohol seperti bapak, namun kurasakan hatinya
yang dingin. Dan kupikir itu lebih menyakitkan. Namun saat aku pulang ke rumah,
dan mengadu selalu saja kuperoleh jawaban yang sama.
“Kamu tidak boleh menyerah,
Ndhuk. Jangan tinggalkan rumahmu, apapun yang terjadi. Kalau kamu pulang ke
rumah dalam kemarahan dan lari dari
masalah, ibu tidak akan menerimamu.”
“Tapi, Bu….” Aku coba akan
membantah waktu itu.
Namun dengan lembut ibu akan
memelukku dan mengatakan. “Cinta itu keiklasan hati, Ndhuk. Kalau kamu
mencintai dengan keiklasan, semuanya akan menjadi tenang dan damai. Engkau akan
melalui masalahmu dengan baik.”
Dunia memang hanya berisi sepasang
makhluk. Laki-laki dan perempuan. Sepasang manusia yang berkembang, turun
temurun membangun keluarga berdasar cinta. Namun cinta seperti apakah yang
menjadi dasar sebuah keluarga. Cinta ibuku pada bapakkah?
“Jangan kau racuni pikiranmu
dengan perceraian. Tidak baik dilihat tetangga. Akan menjadi omongan tak
berkesudahan, martabatmu sebagai wanita akan jatuh. Janda cerai, menjadi status
jelek di mata tetanggamu.” Kata-kata ibu sangat tegas penuh penekanan waktu
itu.
Aku tak mau menyakiti hati ibu
dengan perceraian. Aku mencoba seperti ibu yang tegar, mendidik dengan iklas
tiga anaknya hingga semua berhasil mandiri membangun keluarga dengan ‘selamat’.
Ibu bangga melihat kami bertiga. Mas Adi yang sukses menjadi pimpinan
perusahaan dengan memiliki dua anak, tinggal di Solo. Mbak Ria menjadi istri
seorang pejabat pemerintahan, selain sebagai dosen dengan satu anak yang
beranjak remaja. Dan aku? Orang pasti melihat kesuksesanku dengan dua anak
perempuan. Meski aku hanya di rumah, namun aktif dalam kegiatan sosial. Nampak
bahagia, orang tak akan mengira apa yang terjadi di baliknya. Kami menjadi
keluarga besar saat berkumpul di hari raya. Sungkem pada ibu, dan ibu pun
nampak bahagia melihat anak-anaknya yang berbakti sesuai harapannya. Ibu
menjadi wanita terhormat di mata tetangga, mampu menjaga martabat keluarga.
“Bu…”
Myrna datang memecah bayangan masa
silamku. Rambutnya basah sehabis keramas. Mengenakan daster batik, ia masih
sangat cantik di usia menginjak tiga puluh tahun.
Sambil duduk di sebelahku Myrna
kembali berkata, “Beberapa hari ini aku tidur di sini ya, Bu?” katanya ringan.
“Aku masih anak ibu kan?”
Myrna. Kutatap anak sulungku. Dua
tahun yang lalu ia menyampaikan niatnya untuk berumah tangga. Bersama Desta
keduanya berpacaran sejak kuliah, hingga masing-masing bekerja. Mereka berdua
memiliki cinta yang kuat untuk membangun keluarganya, dengan ditopang oleh
materi yang kuat pula. Dimana kekurangan mereka. Jika
belum ada anak sebagai buah cinta mereka, tentunya bukan suatu yang perlu
diributkan karena usia perkawinan mereka yang masih sedikit.
“Boleh kan, Bu? Ini juga masih
rumahku kan?”
Jawaban apa yang harus kuberikan? Akankah kujawab seperti ibuku dulu memberi jawaban saat aku datang padanya membawa luka hati? Akankah pengalaman buruk itu dirasakan pula oleh anak perempuanku. Tidak! Aku tak rela anak perempuanku disia-siakan oleh laki-laki, terlebih dari suaminya sendiri. Namun, perceraian itu adalah aib. Ora ilok. Prinsip ibuku kembali terngiang di telinga.
“Pikirkanlah
dengan masak-masak, Na.” Setelah berusaha menelan ludah, aku menjawab dengan
pelan.
“Sudah
kupikirkan, Bu. Laki-laki tidak cuma Desta, kalau dia sudah berkhianat untuk
apa dipertahankan.” Myrna kembali bicara dengan suara tinggi.
“Berkhianat
apa maksudmu?”
Myrna
tak segera menjawab. Anak sulungku itu nampak berpikir sejenak. “Desta punya
selingkuhan,” katanya kemudian. “Desta selingkuh dengan teman sekantor, Bu.
Jika laki-laki sudah berselingkuh, itu sudah tak lagi bisa ditoleransi.
Bercerai, itu saja. Simpel kan.”
Dadaku
terasa penuh. Kalimat itu yang dulu ingin kuucapkan pada ibuku, saat aku merasa
dikhianati Mas Heru. Kalimat yang tak pernah terucap, karena tak ingin melukai
hati ibuku. Meski ternyata aku paham, kami sama-sama menyimpan luka.
“Sebelum
semua terlanjur, Bu.” Myrna meneruskan ucapannya. Kini dengan menyeruput lemon
tea kesukaannya. “Mumpung kami belum punya anak kan, jadi urusan lebih mudah.”
Ia nampak tenang, tanpa beban ketika berkata.
Kutatap
tubuh anakku, dari atas ke bawah. Kucecap segala kalimat yang ringan diucapkan.
Cara mengambil keputusan yang berani dan mandiri. Saat aku merasa dikhianati
ayahnya, Myrna baru berusia tiga tahun. Kujalani semua dengan caraku sendiri,
hingga kelahiran Sinta -adiknya- lima tahun kemudian. Dengan dua anak yang ada,
tetap saja Mas Heru tidak berubah dan aku semakin tidak berani untuk bercerai.
Rumah tangga yang kujalani dengan hampa, hingga kepergian Mas Heru karena
didera sakit. Aku menjadi janda dengan menyandang status sebagai Nyonya Heru
Ardian. Martabatku dianggap tetap terhormat di mata tetangga, seperti ibuku.
“Aku
juga tak mau menawarkan pilihan pada Desta, pilih aku atau dia.” Myrna kembali
bicara dengan nada ringan. “Karena bagiku itu konyol,” lanjutnya agak sinis.
“Hhhmmmm…”
Tak terasa kenangan pada Mas Heru, Ayah Myrna itu kembali terlintas. Laki-laki
yang tak pernah menyintaiku, namun memberi dua anak perempuan padaku. Anak
perempuan yang harus kujaga martabatnya. Martabat seperti apa? Menjadi janda,
apakah kemudian kehilangan martabat?
“Tidak
usah mikirin orang lain yang nyinyir. Biarkan saja, toh kita tidak minta makan
pada mereka.”
Aku
berpaling pada anakku. Ia berkata seolah sedang membaca isi pikiranku. Myrna
nampak dewasa dan matang jiwanya. Sebagai seorang direktur perusahaan, soal
materi tak menjadi persoalan. Ia bisa menghidupi dirinya sendiri tanpa
bergantung pada finansial suami. Sementara aku dulu merasa khawatir jika harus
menghidupi anak-anakku tanpa suami.
“Kau
hanya sedang emosi, Na.” Akhirnya aku mampu mengucapkan kalimatku. “Keputusan
yang diambil dengan emosi akan tidak baik jadinya,” sambungku.
Myrna
hanya mendengus. “Bisa saja begitu, Bu,” katanya sambil menerawang menatap
entah kemana. “Tapi percayalah, Bu. Semua sudah kupikirkan masak-masak, ini
yang terbaik untuk kami.”
Kucerna
kalimat Myrna yang diucapkan dengan kesungguhan. Pelan kuanggukkan kepalaku,
dengan napas berat yang memenuhi dada.
“Baiklah,
Na. Kalau itu memang yang terbaik untuk kalian. Aku setuju.” Akhirnya kusetujui
keputusan Myrna bercerai dari suaminya itu. Ia punya alasan kuat yang perlu
dukunganku, tak peduli omongan tetangga. Kurasakan dadaku terasa longgar,
seolah mewakili keinginanku yang terpendam tiga puluh tahun yang lalu.
“Terimakasih,
Bu.” Myrna memeluk tubuhku erat.
Kuseka
mata yang tiba-tiba basah. Aku menangis. Ya, aku menangis. Tangis kebahagiaan
ataukah tangis kesedihan. Kebahagiaankah, karena sikap Myrna yang diambil
seolah kurayakan saat ini. Aku membahagiakan hatinya, ataukah menghancurkan
hatinya?
“Ibu
menangis?” Mirna menyentakkan tubuhku. Menatap mataku dan kembali memelukku erat
sekali. “Jangan sedih, Bu,” katanya lirih di telingaku.
Tak
urung aku betul-betul menangis. Myrna tak tahu apa yang kutangisi. Ia pasti
mengira kalau aku menangisi perceraiannya. Dadaku memang terasa sesak, namun
yang pasti aku menghargai sikapnya. Perempuan memang harus mandiri secara
pikiran agar berani mengambil keputusan yang tepat untuk kebahagiaannya, tanpa
merugikan orang lain.
“Jangan
sedih, Ibu. Kalau ibu menangis dan sedih, aku akan membatalkan rencana ini.”
Aku
menggeleng. “Tidak, Na,” kataku sambil menyusut hidung. “Kalau perkawinanmu
tidak membuatmu bahagia, hanya membuatmu tersakiti tak perlu kau teruskan.
Hanya saja yang ibu minta, ambillah keputusan secara dewasa.”
“Pasti,
Ibu.” Suara Myrna mantap. Ia yang suka bermanja-manja itu nampak sangat dewasa.
“Tapi ibu setuju kan kalau aku bercerai?” tanyanya kemudian.
Aku
mengangguk. Kali ini anggukanku mantap. Kami berdua kembali berpelukan.
Berpelukan sebagai dua perempuan merdeka. Berpelukan sebagai ibu dan anak. Aku
tidak mau apa yang dialami ibuku, apa yang kualami terjadi pada anakku. Aku
akan melakukan apapun untuk kebahagiaan anakku, tanpa peduli omongan orang
lain.
“Hei,
apa ini?” Sinta tiba-tiba
berteriak di depan pintu. “Haloo kakak cantik, tumben datang nih.”
“Yuuk,
nonton…” Myrna menyambut kepulangan adiknya.
“Asyiiik…,”
Sinta meletakkan
tas ranselnya, dan mencium tanganku. “Ada apa nih, Bu? Tiba-tiba kakak datang
ngajak nonton. Biasanya sibuknya minta ampun.”
“Sudahlah,
ayo siap-siap.” Myrna nampak bersemangat, seolah tak peduli dengan masalah yang
tengah dihadapi. “Ibu juga ya…” lanjutnya sambil berdiri menggamit lenganku,
“Pergilah
kalian berdua,” jawabku.
“Aaah,
ayolah, Bu. Kapan ibu punya waktu bersenang-senang?”
Aku
tersenyum. “Ta,
temani kakakmu nonton, biar hatinya bahagia,” kataku.
“Emang
kakak lagi sedih?”
Myrna
memonyongkan bibirnya. Kedua anak perempuanku, mereka lahir dari buah cintaku.
Tak peduli seberapa besar cinta Mas Heru, namun sepenuhnya kuyakini cinta yang
utuh mengalir pada keduanya. Si kakak telah berumah tangga, dan adiknya sedang
menyelesaikan skripsinya. Namun di mataku, keduanya tetap saja menjadi
anak-anak yang manja.
Akhirnya
Myrna berhasil mengajak adiknya untuk keluar. Aku mencoba menenangkan hatiku.
Ada keraguan yang tiba-tiba muncul. Kenapa begitu cepat aku menyetujui
keinginan anakku untuk bercerai. Kenapa aku tidak mencari informasi lain dari
suaminya? Bukankah keterangan yang kudengar hanya sepihak? Kenapa aku terbawa
pada perassanku sendiri, untuk menebus kekecewaanku di masa lalu? Puaskah aku?
Kenapa aku tak berusaha mendamaikan keduanya.
Aku
masih didera berbagai pertanyaan saat terdengar suara mobil di halaman. Sekian
menit kemudian, Desta telah berdiri di pintu yang masih terbuka. Menantuku
berdiri termangu, nampak ragu melihatku.
“Desta,
silakan masuk…”
Desta
mencium punggung tanganku, kulihat wajahnya yang tegang. Ia duduk, dan
mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan. “Ibu, Myrna tidak ke sini?” tanyanya
kemudian.
“Ada
apa, Des?”
Laki-laki
itu menghembuskan napasnya. Lalu ia mendekatiku dan bersimpuh di kakiku.
Suaranya tertahan isak tangis ketika berkata, “Ibu, bantulah saya. Myrna
mengajukan gugatan perceraian pada saya. Saya sangat mencintainya, Bu.”
Aku
membantu Desta untuk bangkit, dan mengajaknya duduk kembali. “Tak ada asap
kalau tak ada api, Des,” kataku kemudian.
“Myrna
ke sini, Ibu? Myrna cerita apa pada Ibu?”
“Aku
yang perlu bertanya padamu, Des.” Kupotong ucapan Desta. “Apa yang kau lakukan
sehingga Myrna mengajukan cerai,” lanjutku.
Desta
nampak menghela napasnya. Namun kemudian dengan jelas ia bercerita, “Myrna
mengira saya selingkuh, Bu. Memang ada teman sekantor yang suka cari gara-gara
dengan sikap yang berlebihan pada saya. Tapi saya tak mungkin meladeninya, saya
sudah beristri. Saya mencintai Myrna, Bu.”
Aku
menatap tepat pada kedua matanya. Mencoba mencari kebenaran di sana. Lelaki itu
nampak jujur. “Bisakah kupercaya ucapanmu?”
“Saya
berani bersumpah di hadapan Ibu.”
Aku
menghela napas.
“Hanya
ibu yang bisa membantu menasehati Myrna. Tolonglah saya, Bu.”
“Aku
akan mencoba, Des,” kataku pelan.
“Myrna
sekarang di mana, Bu.”
“Biarlah
di sini dahulu, menenangkan hatinya, Des. Kau tahu sifatnya kan?”
Desta
meraih tanganku kembali dan dijabat dengan erat. “Terimakasih, Ibu. Percayalah,
saya akan membahagiakan Myrna. Hanya dia yang saya miliki, Bu.”
Aku
tak bisa menahannya saat Desta berpamitan pulang. Kuantar sampai depan gerbang,
dan kulepas kepergiannya yang membawa harapan aku akan bisa membantunya. Ahh,
langkahku berat memasuki rumah. Dari mana aku harus memulai mengembalikan kepercayaan
Myrna pada suaminya.
Langkahku
belum juga sampai pintu, saat kudengar suara mobil berhenti di gerbang. Myrna,
cepat sekali nonton filmnya. Setengah berlari aku kembali membuka gerbang
untuknya.
Myrna
membanting tubuhnya ke sova. Wajahnya nampak sulit ditebak.
“Kenapa?”
Aku mencoba bertanya. “Gak jadi nonton?”
“Gak
tau tuh Kak Myrna…” Sinta bersungut-sungut.
“Makanya lain kali yang awas,” katanya sambil menutup pintu.
“Bu….”
Myrna menatapku. “Aku yang keliru soal Desta…”
Aku
terkejut. “Maksudmu?”
Myrna
nampak menelan ludah, lalu berkata dengan suara pelan. “Benar yang dikatakan
Desta, perempuan itu memang sundal. Aku melihatnya sedang digandeng lelaki tua
di lobby gedung bioskop.”
“Jadi…”
Suaraku terputus.
Myrna
menyandarkan bahu, kemudian berkata menatapku. “Aku yang salah, apakah Desta
mau memaafkan aku ya, Bu.”
Dadaku
terasa penuh dengan kesejukan. Kuhampiri anakku dan pelan kukatakan, “Cinta itu
kekuatan, Myrna. Kekuatan untuk memaafkan. Jika kamu menyadari kesalahanmu,
pasti Desta tak akan mempermasalahkan.”
“Aku
malu, Bu,” Myrna merajuk seperti anak kecil. “Berarti aku yang kalah.”
“Myrna.
Cinta bukan soal kalah atau menang.”
“Tapi…”
“Telponlah
suamimu, dan minta dijemput. Kalian hanya butuh waktu berdua untuk membangun
komunikasi. Selama ini kalian selalu bersimpang waktu.”
“Ibu
yang menelpon ya….”
Aku
membuka HP dan mencari nomer Desta. Begitu cepat tersambung seperti yang
kuharapkan. Segera kusorongkan Hpku pada Myrna.
“Kamu
yang salah, kamu yang harus lebih dahulu meminta maaf.” Aku berkata tegas,
tanpa kuceritakan Desta baru saja datang dan mencarinya.
Kuhela napas. Ada beban yang terasa lepas. ***
Margareth Widhy Pratiwi, lahir di Yogyakarta 61 tahun silam. Dunia menulis ditekuni sejak tahun 1982, dan telah berhasil memenangkan berbagai lomba menulis baik berbahasa Indonesia maupun berbahasa Jawa. Juga menerbitkan beberapa novel. Tinggal di Nitiprayan, Bantul. Pegiat Komunitas sanggar sastra Jawa Bantul Yogyakarta, juga sebagai fasilitator di Sekolah Sanggar Anak Alam Bantul.