Skip to main content

Kembali untuk Berdamai

 


Cerpen Dewi Anggraeni

 

    Saat memasuki Klungkung, sopir mobil berpaling kepada kami.

    Bu,’ katanya kepadaku, sebaiknya Ibu menutup jendela kalau tidak mau menghirup udara yang penuh dengan asap mesin!  

   Aku memandang keluar jendela. Kepulan-kepulan hitam yang keluar dari pipa belakang kendaraan-kendaraan besar menyambutku. Mungkin aku latah, tapi dadaku segera terasa sesak. Mobil sewaan yang kami tumpangi ini tidak berAC, jadi cuma ada dua pilihan: panas dan pengap, atau panas dan kotor.    

     Terima kasih, Pak,sahutku, ‘kami biarkan terbuka barang setengah jam lagi.’ Lalu akupun meniru Ani, menempelkan saputangan pada mulut dan hidungku sebagai penyaring agar asap kotor tidak memasuki paru-paru kami.

     Ani menatapku dari balik saputangannya yang terlipat dengan necis, yang bermotif kembang-kembang merah dan biru. ‘Kita cukup senang di sana ‘kan, apapun yang Ibu alami di gubuk itu. Bu?’ Suaranya bagai datang dari ruang tertutup, membuat aku berpaling dari jendela.

    Aku menjulurkan lenganku ke arahnya, memagut bahunya, sambil mengatakan, ‘Tentu saja, Ani. Sangat senang. Sayang kita tidak bisa tinggal lebih lama. Kalau kita lebih lama, barangkali aku punya kesempatan untuk berdamai dengan dia.’

      Mata Ani membelalak, penuh rasa tidak percaya. ‘Aku tidak tahu Ibu punya niat seperti itu! Aku tidak ingat ada yang punya niat serupa setelah perjumpaan mereka dengan dia! Mengapa Ibu tidak mengatakannya kepadaku dari tadi-tadi? Aku ‘kan bisa membantu.’

    Aku tertawa, mungkin karena agak risi sekaligus ingin membuatnya merasa senang. ‘Kau tahu,’ kataku sembarangan sambil berpikir apa yang harus kukatakan, ‘aku juga tidak terpikir akan itu, bahkan sesudah Robert menyebutnya sambil lalu. Waktu itu aku merasa ganjalan batin, yang membuat bulu kudukku berdiri tiap mengingatnya. Namun sekarang kita sudah menjauh dari tempat itu, aku pikir, barangkali tidak ada salahnya juga.’

  Ani memandangku dengan airmuka sungguh-sungguh. ‘Kalau begitu bu, minggu depan kalau Ibu masih di Bali, mari kira ke sana lagi, khusus untuk melaksanakan niat Ibu.’

   Itu terjadi minggu lalu. Dan kini kami sedang dalam perjalanan kembali ke Amlapura, dalam upaya meluruskan apa yang agak melenceng dalam apa yang kualami.

 Pada awalnya, Ani membujukku untuk mengunjungi sebuah tempat yang sangat berpengaruh asupannya dalam jiwanya: sebuah ashram, tempatnya hidup selama enam tahun. Ashram ini sudah dianggapnya sebagai rumahnya yang kedua. Dia ingin sekali aku mengalami tempat ini. Kukatakan ‘mengalami’, karena sesungguhnyalah, para pengunjung bukan sekedar menginap di situ.

Walau tidak pasti, aku merasa bahwa aku pernah menginap di ashram yang dilukiskannya, kira-kira sepuluh tahun lalu. Namun aku tidak mengatakan apa-apa.

 Kamipun berangkat untuk mengunjungi ashram Ani. Mobil yang kami tumpangi meluncur dengan kecepatan tetap, walau kadang-kadang meliuk ke lajur kanan, menghadap lalulintas yang berlawanan arah, lalu pada menit terakhir meliuk kembali ke lajur kiri.

Setelah beberapa kali menahan nafas tiap kali menyaksikan kiat yang berani mati itu, akupun meniru kawan-kawan seperjalananku: menekan naluri hidup dan sekaligus menegarkan diri menyerahkan kelangsungan hidupku pada Gusti penguasa alam, sambil bernapas dengan teratur.

Gusti penguasa alam pada saat itu telah menugaskan seorang sopir yang sangat trampil bernama Putu untuk menjaga kelangsungan hidup kami: aku, teman Baliku Ani, dan Robert, teman dari Australia yang kujumpai di Denpasar pekan lalu. Putu telah mengendarai mobil selama kira-kira duapuluh tahun, dan bahwa dia masih hidup, menjadi bukti bagiku bahwa rekor ketrampilannya mengendarai mobil benar mulus. Meragukan Putu sama saja artinya tidak hormat kepadanya, meskipun tidak seserius meragukan Gusti penguasa alam.  

Robertlah yang mentraktir kami dalam perjalanan ke Amlapura ini. Aku dan Ani waktu itu sedang merancang waktu untuk mengunjungi tempat ini, ketika Robert singgah dalam perjalanannya ke Singaraja untuk mengunjungi seorang kawannya.

‘Aku akan ke Amlapura lusa. Mau ikut? Aku bisa menjemput kalian kalau mau,’ katanya. Tentu saja kami menerima tawarannya tanpa ragu.

Sebenarnya jalan ini hanya cukup untuk dilalui dua kendaraan berukuran sedang yang meluncur dalam arah berlawanan, tapi nyatanya tak seorangpun tampak susah kalau pengendara motor, atau sebarisan pengendara motor muncul meliuk-liuk pada lalulintas antar-kota pulau ini, dengan jarak kurang dari satu sentimeter antara lututnya dan kendaraan di kedua sisinya. 

Akupun mengerti mengapa para pengendara motor begitu tidak sabar ingin melewati kendaraan-kendaraan beroda empat. Mereka tidak tahan lama-lama menghirup asap hitam dari pipa belakang para makhluk besi ini.

Satu setengah jam kemudian kami mencapai Klungkung, situs kerajaan yang telah diperintah sejumlah raja-raja besar Bali, ‘pusat budaya Bali,’ menurut Putu, yang kebetulan memang asalnya dari Klungkung.

Semua warga Bali, Bu, asalnya dari Klungkung. Dari sini mereka lalu menyebar ke segala penjuru, tegasnya kepadaku.

Kamipun meluncur meninggalkan kota bersejarah ini, dan sekali-sekali melihat lahan-lahan terbuka antara desa-desa yang kami lalui. Namun karena jumlah kendaraan besar tidak berkurang, udarapun tidak terlalu lebih segar. Malah, jalanan yang menanjak membuat kendaraan-kendaraan itu mengepulkan asap yang kian hitam dan kian menyeramkan. Aku makin latah saja, merasa sesak nafas. Kami tidak bisa menutup jendela mobil, karena tidak ada AC.

Ketika jalanan mulai merapat ke garis pantai, kami mulai melihat laut biru, dan napaskupun lebih bebas. Ani mulai mengangkat kepalanya dari kamus gaul bahasa Inggris yang dibelikan Robert untuknya. Nalurinya yang tajam sudah menangkap bahwa kami sudah mendekati Amlapura, dan antene batinnya sudah merasakan ashram yang kami tuju.

Ashram Amlapura ini adalah tempat yang sangat penting bagi Ani, yang tinggal di sana selama tahun-tahun sekolah menengahnya. Jadi, selama delapan bulan dia kuliah di kampus di Denpasar, alasan sekecil apapun untuk kembali ke Ashram ini, disabetnya, biarpun hanya untuk beberapa jam. Dan kali ini, jauh lebih lama dari beberapa jam.

Begitu mobil direm di halaman, Ani membuka pintu mobil, melompat dan langsung berangkulan dengan beberapa perempuan muda yang menjerit-jerit memanggilnya dengan penuh kegirangan. Kalau aku pikir-pikir, agak melenceng dari perilaku yang berlaku di Ashram, karena setahuku anggota-anggota Ashram diajarkan perilaku kalem, ketenangan serta kedamaian batin. Namun benar juga, aku lebih sering melihat Ani dengan tingkah laku yang memancarkan kekaleman batin.

Seorang perempuan muda datang menghampiri dan menyambutku. Lestari, aku ingat namanya, segera mengenali aku dari kunjunganku sepuluh tahun lalu –waktu itu dia baru belasan tahun -, dan bertanya tentang keluargaku. Dia lalu mengantarkan aku ke bungalow yang sudah disediakan untukku. Tempatnya di ujung timur dari lahan Ashram yang luas ini.

Setelah memastikan bahwa semuanya beres di bungalow, Lestari meninggalkan aku untuk mandi dan menyegarkan diri. Yang kumaksudkan sebagai ‘semuanya’ ialah sebuah bale-bale, sebuah meja kecil dan sebuah kursi. Jendela yang menghadap ke barat dan yang menghadap ke selatan memberi pemandangan laut. Sangat menggetarkan, karena ombaknya tinggi-tinggi. Di sebuah sudut ada pintu ke kamar mandi.

Aku mulai mengeluarkan pakaian dan barang-barang dari koperku. Dalam waktu singkat nafasku sesak lagi, bahkan disusul dengan rasa pening.

‘Mungkin sebaiknya aku mandi dulu. Lebih bersih akan lebih menyegarkan buat pernapasan,’ pikirku, karena aku merasakan debu dari asap hitam mesin kendaraan yang menempel pada pakaian dan bagian-bagian tubuhku yang tidak tertutup.

Namun begitu aku menanggalkan pakaian, rasa dingin segera menyelimuti badanku. Aku cepat-cepat ke kamar mandi dan mandi dengan sama cepatnya, karena aku terus menggigil kedinginan. Sesudah mengenakan pakaian bersihpun aku masih merasa tidak enak badan.

Aku kenakan sepatu ketsku, tanpa kaus kaki. Begitu keluar dari pintu bungalow aku merasa lebih hangat. Bunyi ombak yang menerpa dinding pantai begitu gemuruh, menyamarkan rasa aneh yang menyerangku tadi. Berangsur-angsur rasa itu hilang, dan aku merasa sehat kembali.

Agung, seorang anggota Ashram yang banyak menemani putriku ketika dia menginap seminggu lalu, kini menemani aku berjalan-jalan, dan bercerita tentang apa yang membuatnya senang tinggal di tempat ini. ‘Sangat spiritual, Bu,’ katanya.

Seakan-akan menguatkan pernyataannya tadi, kami melihat anggota-anggota lain berjalan berbondong-bondong ke pendopo untuk sembahyang petang. Agungpun pamit dan berjalan ke arah yang sama.

Sendirian lagi, aku berjalan-jalan ke luar, mengingat-ingat, apa yang berubah dan apa yang masih sama dengan yang kuingat sepuluh tahun silam.

Amlapura kini lebih tampil seperti tempat wisata. Memang wisatawan yang datang tidak seberisik di tempat-tempat lain. Toko-toko disekitar juga lebih sederhana. Namun begitu aku menginjak kembali lahan Ashram, aku merasakan perbedaan ambiansi dan suasana.

Di Ashram udara seakan-akan lebih murni, lebih bersih, dan lebih menenangkan. Alunan yang sayup-sayup berkumandang dari para anggota yang sedang memuja Batara Guru membuat suasana lebih syahdu lagi. Aku menghela napas lega, lalu mulai bernapas dalam-dalam.

Di luar bungalowku aku berhenti dan menatap langit yang makin merah. Aku berdiri memaku, takjub pada pemandangan di hadapanku. Rasa bahagia dan rasa terima kasih memenuhi sanubariku. Aku beruntung dapat mengalami dan menyaksikan semua ini. 

‘Mengapa mereka memberikan bungalow itu kepadaku, Ani?’ pertanyaanku yang tiba-tiba setelah tidak berbicara beberapa lama agak mengejutkan Ani. Lalu dia melepaskan saputangannya dari wajahnya dan menjawab tanpa banyak pikir,

Aku rasa karena mereka tahu Ibu tidak asing di Ashram. Bahkan Lestari mengira Ibu pernah tidur di gubuk itu. Waktu Ibu pertama menginap di sana, barangkali?

Tidak, belum pernah, aku menekankan.       

Ingatanku mengambang, lalu lambat-lambat arus membawaku kembali ke Ashram. Petang itu ketika aku berdiri begitu dekat pada laut, aku merasa terangkat ke dunia di mana tidak ada yang bergerak selain ombak yang pecah pada dinding tebing, surut kembali ke laut, lalu balik lagi menerpa tebing. Semua itu berulang-ulang terjadi hanya beberapa meter dari tempatku terpaku.

Lamunanku terputus ketika Ketut, seorang anggota muda, memanggilku untuk makan malam.

Aku lalu mengikutinya ke sebuah gubuk besar. Semua tamu duduk di atas bantal tipis di lantai memenuhi sebuah sisi dari meja besar penuh dengan hidangan dan piring-piring untuk dipakai para tamu. Yang duduk di barisan belakang makan dari mangkok-mangkok yang terbuat dari batok kelapa.

Aku duduk di antara Robert dan seorang tamu dari Belanda. Kakiku kulipatkan di bawah meja. Di sekitarku orang-orang berbicara dalam bahasa Belanda, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, dan di antara para anggota Ashram, bahasa Bali.

Sesudah makan malam para tamu mengobrol beberapa lama, menikmati malam yang sunyi dan sejuk dan perut yang kenyang. Aku mulai mengantuk, apalagi setelah perjalanan yang cukup melelahkan. Rasanya aku bisa cepat tidur.

Deru ombak mengiringi langkah-langkahku kembali ke bungalowku. Di beranda dua orang anggota Ashram duduk menjaga. Melihat aku menghampiri, mereka bangkit dari duduknya, menyapaku, dan melangkah pergi.

Sejenak aku merasa kesepian. Aku memandang ke sekeliling. Tidak ada yang luar biasa. Waktu aku membuka pintu, dan mulai bergerak melangkahi ambang pintu, perasaan tidak nyaman menjalar dari jari-jari yang masih memegangi grendel pintu yang terbuat dari batang pohon kelapa, lambat-lambat tapi pasti, ke dadaku, lalu ke seluruh tubuhku. Aku menarik napas dalam-dalam dan terus melangkah masuk.

Aku tegarkan diri, sambil meyakinkan diriku bahwa aku mungkin kurang enak badan setelah perjalanan yang melelahkan sebelumnya.

Tanpa berpikir lebih jauh, aku berganti pakaian, siap untuk tidur. Tapi rasa sesak napas yang kualami sore tadi segera kembali, dan mataku terasa perih. Aku mencuci muka sebersih-bersihnya, lalu membaringkan diri di ranjang. 

Posisi apapun yang kuambil, napasku bertambah sesak. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan, seakan-akan menunggu munculnya sosok yang bertanggungjawab atas apa yang terjadi pada diriku. Tapi kamarku tetap sepi dan gelap, tanpa siapa-siapa selain aku sendiri.

Akhirnya kulemparkan selimut tipis ke sisi, dan kukenakan kemeja panjangku dan sepatu ketsku, lalu melangkah keluar. Begitu kakiku menginjak lantai teras di luar, dadaku lapang lagi. Pesan yang kuterima dari dalam bungalow jelas : aku tidak welcome. Mula-mula penolakan ini membuat aku sedih.

Aku menuruni tangga-tangga teras. Seingatku ada lima anak tangga.

Waktu aku menginjak bumi lagi, dalam kegelapan, aku berjalan-jalan sebentar di sekitar gubuk, suara gemuruh ombak memenuhi telingaku. Dan sekali-sekali aku kena juga siraman air laut. Setelah rasa kantuk kembali, aku masuk lagi.

Baru saja aku memalang pintu kayu depan, rasa dingin menyelimuti seluruh tubuhku, dan dalam waktu singkat pernafasanku tersumbat lagi. Pasti ada sesuatu dalam gubuk ini yang membangkitkan allergiku, pikirku menuruti logika. Aku harus pindah ke gubuk lain. Namun bagaimana berjalan dalam kegelapan, ke rumah utama yang begitu jauh? Aku menjadi hilang akal dan putus asa.

Untunglah aku hidup di abad modern. Kukeluarkan telepon genggamku dari tas, dan menelepon ke rumah utama. Agung menjawab. Kujelaskan masalahku, dan bertanya apa aku bisa pindah ke bungalow lain.

Baik, saya akan datang segera, Bu ujar Agung.

Waktu Agung melangkah masuk ke gubukku, dia tidak melihat ke sekeliling mencari apa yang menyebabkan gangguan kesehatanku. Dia menatapku. Lalu, masih berdiri, dia minta aku mengisahkan apa yang aku alami.

Setelah bungkam beberapa lama, Agung berkata,

Mari Bu, saya bantu membawakan barang-barang Ibu.

Gubuk yang kami masuki mempunyai dua ranjang. Kami masing-masing duduk di sebuah ranjang, dan tanpa mengatakan apa-apa, Agung memandangi aku.

Pernafasanku sudah kembali normal.

Jadi, bagaimana pendapat Ibu tentang gubuk ini? tanya Agung.   Yang ini lebih cocok, jawabku.

Sebelum meninggalkan aku, Agung mengatakan,

Aku akan tidur di gubuk di sebelah, Bu, jadi kalau ada apa-apa tengah malam, datang saja ketuk pintunya.

Aku mengucapkan terima kasih kepadanya dan sekali lagi, bersiap-siap untuk tidur.

Keesokan paginya ketika aku ke gubuk umum untuk sarapan, Helena, yang sudah beberapa lama tinggal di Ashram sebagai tamu, berkali-kali melirik ke arahku. Diam-diam aku memeriksa pakaian yang kukenakan kalau-kalau ada yang tidak senonoh. Maklum masih gelap waktu aku berpakaian tadi. Setelah puas bahwa baju dan rokku tidak terbalik atau ada kancing yang terbuka, aku menggeser ke arahnya dan menyapanya.

‘Apa kabar?’

‘Baik sekali. Enak tidur semalam?’ Pertanyaan biasa.

‘Enak. Enak sekali.’

Dia melirik sebentar, lalu cepat-cepat memandang ke cangkir kopinya.

Anda … semalam tidur di bale pucu, saya dengar, katanya.

 Aku mulai memberi perhatian. Oh, itu namanya? Benar, mula-mula di situ.

Mengapa Anda bertanya?

Lalu Anda pindah? Mengapa?

Dia mendengarkan ceritaku, lalu mengangguk. Oh, begitu. Mula-mula saya kira Anda termasuk orang yang cocok dengan penjaga gubuk itu, karena ketika Anda muncul tadi, saya tidak mendapat kesan bahwa Anda bermasalah tidur.. Jadi Anda tidur di mana?

Ketika kuberitahu, dia mengangguk lagi. Nah, untuk membuat Anda merasa lebih baik, saya mengaku, saya juga mengalami sesuatu yang tidak enak di gubuk itu. Tiap kali saya tertidur saya langsung bermimpi dicekek orang. Sampai-sampai saya takut tertidur lagi. Keesokannya, saya minta pindah.

Aku jadi penasaran. Agung memberitahu bahwa aku pindah dari bale pucu? tanyaku.

Helena menggeleng. ‘Oh, tidak. Tidak ada yang memberitahu. Aku tahu saja.’

Aku menatapnya, membatin meminta penjelasan lebih jauh.

Helena tersenyum kecil.

Saya di sini sedang menjalani semacam pembersihan batin. Para anggota senior dari Ashram membantu saya. Setelah beberapa lama, saya belajar mendorong keluar segala-gala yang mengotori batin saya, dan menolak masuknya yang tidak diundang. Anda mengerti?

Aku mengangguk, kendati tidak sepenuhnya percaya pada apa yang dikatakannya.

‘Bonusnya,’ Helena meneruskan, ‘Tanpa berusaha, saya juga dapat menangkap peristiwa-peristiwa di sekitar yang tidak biasa. Maksud saya, tidak biasa buat penghuni baru.’

Aku meluruskan tatapanku ke depan lagi.

Sesudah sarapan anggota-anggota Ashram berbenah dan mengerjakan tugas sehari-hari mereka, dan para tamu berpencar, ada yang sendiri-sendiri, ada juga yang berkelompok, keluar jalan-jalan.

Robert kudapatkan sedang membaca di beranda muka gubuknya. Di meja kecil di hadapannya, sebuah poci teh dan dua cangkir kecil menemaninya.

Dia mengundang aku minum teh. Sambil minum dia bercerita bahwa dia sendiri pernah tidur di bale pucu tapi tidak mengalami apa-apa yang luar biasa. ‘Namun saya tahu banyak orang yang mengalami yang aneh-aneh di sana. Mungkin penjaganya punya kepribadian sendiri. Yang jelas Agung merasa dia bukan sosok jahat. Dia sering bersamadi di sana..’

Aku menatap wajah Robert. Ah, dia sungguh-sungguh.

Siapa yang bersamadi, Agung atau si penjaga?

Agung. Dan sebelum kau tanya, menurut Agung, penjaga itu pria.

Diam-diam aku menggigil. Aduh, betapa rentannya aku waktu itu. Sendirian, berpakaian dan tidak berpakaian, jauh dari manusia lain, berjarak kegelapan, kegelapan bagai jurang yang memisahkan diriku dengan orang lain.

Robert mengangkat cangkirnya sambil termenung, lalu dengan senyum kecil dia mengatakan,

Coba kau pikir, kalau roh punya kepribadian, kemungkinan besar dia mau berdamai. Bawalah sesajian, umpamanya.

Dengan wajah serius, aku memandangi wajahnya, mencari tanda-tanda kalau dia sedang mempermainkan aku.

Masalahnya aku tidak punya keinginan sama sekali untuk tidur di gubuk itu lagi, kataku akhirnya.

Dua malam selanjutnya, aku tidur di gubuk yang diberikan Agung, dan tidak mengalami hal-hal yang luar biasa. Namun tiap kali aku memandang ke bale pucu, aku menggigil, dan cepat-cepat berpaling ke tempat lain.

Ani, roh penjaga ini, apa dia punya kepribadian, seperti manusia?

Kata orang begitu, jawab Ani ringan, seakan-akan kami sedang membicarakan seorang pelayan toko.

Mobil kami mulai memperlambat jalannya di Batubulan, Ani menutup jendelanya.

Sebaiknya kita tutup jendela sekarang, Bu

Tiba-tiba dia bertanya, Mengapa Ibu ingin berdamai dengan roh penjaga itu?

Aku menghela nafas. ‘Pada dasarnya aku suka merapikan segala-gala yang tidak mulus dalam hidupku. Aku tidak suka ada ketegangan dengan siapapun, bahkan dengan roh.’

Oh,sahutnya ringan.

Kami kembali melihat ke depan, dan pelan-pelan, kembali pada lamunan masing-masing.

 

***

 

 


Dewi Anggraeni, 
Seorang wartawan dan novelis. Beberapa buku novel dan kumpulan cerpennya sudah terbit. Tinggal di Australia.