Skip to main content

Serupa Puisi yang Tak Ternoda Diksi




Judul: Trilogi Teka-Teki Titik Nol
Penulis: Marjuddin Suaeb
Editor: Indro Suprobo, Ons Untoro, Sri Wintala Achmad 
Gambar Cover: Vincensius Dwimawan
Isi: 14 X 20 cm, xvi + 108 hlm 
Cetakan Pertama Maret 2023
Penerbit: Tonggak Pustaka


      Menjadi petani yang menulis puisi sebagaimana dijalankan oleh Marjuddin Suaeb, adalah sebuah cita-cita ideal yang pada awal abad 19 dulu diungkapkan oleh seorang filsuf Jerman, penulis buku Das Kapital, bernama Karl Heinrich M, ketika menggambarkan utopia tentang terbentuknya masyarakat emansipatoris tanpa kelas, di mana masyarakat kelas dihapuskan lengkap dengan segala kejahatannya. Ia menggambarkannya sebagai masyarakat yang berlimpah di mana setiap orang menikmatinya, dan semua orang mengalami kebebasan untuk hidup dan bekerja secara kreatif, serta menentukan nasibnya sendiri dalam membangun sejarahnya. Ia mengungkapkan cita-cita itu dengan penggambaran yang kurang lebih demikian,"setiap orang dapat mengerjakan sesuatu pada hari ini, lalu mengerjakan hal yang berbeda pada hari yang lain. Orang dapat pergi berburu atau menanam pada pagi hari, memancing pada siang hari, dan memelihara ternak pada sore hari, lalu berdiskusi atau menulis kritik sastra dan puisi pada malam hari." Dalam penggambaran seperti ini, Marjuddin tergolong sebagai orang yang dapat bekerja secara bebas dan kreatif, yang tak teralienasi oleh hasil kerjanya sendiri.

Sebagai orang yang bebas dan kreatif, pilihan hidup menjadi petani yang menulis puisi ini pada gilirannya membuat Marjuddin Suaeb memiliki kepekaan terhadap peristiwa sehari-hari yang ditemuinya, yang dibacanya melalui beragam plarform berita, yang didengarnya melalui obrolan tetangga, lalu direnungkan, direfleksikan dan ditanggapinya, juga melalui cara yang bersifat sehari-hari dan biasa dalam rupa puisi. Tak mengherankan jika Marjuddin menempatkan puisi sebagai respon peristiwa puitik di angkringan. Ini mau menunjukkan bahwa puisi adalah jawaban atas panggilan profetik yang tersembunyi dalam peristiwa sehari-hari. Jika dicermati secara lebih serius dan mendalam, apa yang dijalani oleh Marjuddin ini adalah sebuah refleksi yang dilaksanakan di dalam aksi, atau sebaliknya sebagai aksi yang dilakukan sebagai perwujudan refleksi. Laku yang dihayati oleh Marjuddin dalam keseharian ini adalah sebuah perjuangan yang merupakan pelaksanaan kata-kata, yang boleh disebut sebagai contemplatio in actione. Maka sungguh pas dan pada tempatnya jika Genthong Hariono menyebutnya sebagai Wiku yang selalu eling lan waspada

Ini terbukti ketika kita membaca puisi-puisinya yang merupakan respon dari semua peristiwa, yang sekaligus merupakan kritik dan pengingat terhadap segala bentuk ketidakpatutan yang mengakibatkan keburukan bagi kehidupan. Peringatan itu ia tuliskan dalam puisi-puisi yang berupa refleksi dan renungan mendalam tentang prinsip-prinsip, nilai dan sikap dasar yang penting untuk menggapai kemartabatan. Semua yang terolah di dalam puisinya itu merupakan cerminan dari kerinduan, harapan, cita-cita, sekaligus perjuangan nyata dalam laku yang dihayatinya.

Dengan begitu, kehidupan sehari-hari sebagai petani sekaligus penyair, merupakan sebuah laku rindu sekaligus sinau untuk senantiasa terbuka membaca teka-teki dan tanda-tanda dalam hidup nyata. Ia adalah petani dan penyair yang rindu sekaligus terus-menerus sinau untuk menjadi serupa puisi yang tak ternoda diksi. Ia adalah petani dan penyair yang terus berupaya meniti jalan konsistensi, tiada henti.


Indro Suprobo dan Ons Untoro