Cerpen Lies Wijayanti SW
Four lines of poetic diction
Appears in the beginning of every season
Tidy, handwritten in a
blue ink
Sandwiched in a scarf of soft pink
No voice phone call but love song echoes
In a perfect plaintive- whispery voice
Hypnothised feeling!
This heart then, starts melting!
Sabtu sore, 30
Maret 1985. Kubuka jendela kamar, semilir sejuk angin Tokyo menerpa wajah, pandanganku
dipikat jajaran sakura di tepian jalan asrama multibangsa Asia Bunka Kaikan. Bunga
merah muda bermekaran, menebarkan pesona menawan. Sebuah pemandangan yang luar
biasa indah ini rupanya yang membawa Jepang dikenal sebagai negeri Sakura.
Suasana musim semi telah lama kunanti sejak pertama kali menjejakkan kaki di
Tokyo pekan keempat Januari lalu. Akhir Maret selama 2 minggu aku menikmati
keindahan sakura dan mengalami hawa musim semi yang sedikit lebih masuk akal
ketimbang musim sebelumnya.
Hari ini dan
besok, aku benar-benar ingin melepas penat setelah dua bulan penuh mengikuti
kursus intensif bahasa Jepang di Tokyo International
Centre. Kursus bahasa ini menjadi bagian integral technical training bioteknologi di laboratorium Microbial Ecology - The Institute of Physical and Chemical (RIKEN). Japan International Cooperation Agency
(JICA), sebuah badan pengelola pengembangan sumberdaya manusia iptek negara
berkembang, mensponsori program ini. Aku bersyukur diberkahi tugas negara meski
belum genap dua tahun bekerja sebagai abdi negara. Sangat excited karena bukan training
biasa melainkan program penelitian berorientasi aplikasi industri. Sudah sejak
lama aku sangat ingin membumikan ilmu, membawanya ke ranah terapan agar dapat
menghasilkan produk bermanfaat, bersinergi dengan industri atau masyarakat, membawa
hasil penelitian yang memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat. Science is not merely for science but science
must be dedicated for people welfare. Itu prinsipku saat bergabung di
kantor pemerintah yang mengawal pengkajian dan penerapan teknologi. Target
utama training ke Jepang kali ini memburu bakteri termo-alkalofilik dari sampel
tanah yang memiliki potensi kuat dan prospek cerah untuk dikembangkan menjadi
produk bermanfaat dengan melibatkan industri pada gilirannya nanti.
Temaram senja, aku memutar dan turut
melantunkan “Words and Music” gubahan
Andy Gibb yang dinyanyikannya sendiri. Lagu sangat puitis itu ditulisnya dan
dilantunkan pertama kali pada acara Countdown
tahun 1975 saat ia berusia 17 tahun. Lagu-lagu cinta sendu cenderung sedih,
sungguh membuat jiwaku melarut setiap kali mendengarkan.
Words and music make a song, for our hearts to sing along
Like a choir within the air, there’ll be music ev’rywhere
A bitter tear across your cheek, a smile from you is all I need
We’ll give them cause to breathe the air, there’ll be lovers
ever’where
..........
I’ll turn the ocean into sand, like my heart at your command
I’ll make the raindrops turn to snow, and then ev’ryone will know
that we are in love .. yeah yeah yeah...
Esok pagi, Minggu
31 Maret, aku kembali membuka jendela dan mendapati sakura merah muda masih
bertengger dengan cantiknya. Bunga sakura senantiasa menampakkan keindahan dan sangat
memikat, dalam
warna romantis soft pink. Salah satu
warna favoritku soft and pale pink
bukan yang vivid apalagi shocking pink. Pagi itu kuputar lagi “In the Morning of My Life” dari Andy
Gibb. Aku sangat menyukai suara plaintive-whispery-nya
dan setiap kali memutar di kamar, suara nan merdu dan menurutku amat seksi itu
selalu membuatku ingin sing along with the
singer.
Kuhabiskan
akhir Maret dengan santai karena awal April technical
training akan dimulai dan aku membayangkan suasana workaholic khas Jepang akan mendera hari-hariku 10 bulan ke depan.
Kendati hanya training dan bukan pendidikan bergelar namun aku harus sepenuhnya
bertanggung jawab untuk mencapai target utama: satu publikasi ilmiah di jurnal
internasional berkualitas.
Senin, 1 April
1985 aku bangun jauh lebih awal. Shalat malam lalu subuhan. Berdoa pagi untuk keluargaku
dan orang terkasih di tanah air, kelancaran tugas kehidupan harian selama di
rantau orang. Hari itu kukenakan sackdress
warna soft pink dengan aksen minimal
kembang sakura dan scarf polos warna
senada melingkar di leher. Sedikit tampil lady-like
tak seperti biasa karena akan ada welcome
party peserta training. Kupilih
sepatu semi pantovel high heel yang
nyaman untuk jalan dan kuraih ransel feminin yang jadi tas harian selama penelitian
di RIKEN.
Agenda hari
pertama di laboratorium, perkenalan dengan pimpinan, penyelia lab dan kolega, lab tour untuk mengenal peralatan, dan bahan
kimia yang akan digunakan selama penelitian di lab Microbial Ecology. Tentu saja membahas lab safety serta rencana
riset 10 bulan ke depan. Paska jam
kerja dilanjutkan dengan welcome party yang
dijadwalkan berlangsung hingga pukul 8.30 pm.
Aku kembali ke
asrama dalam kondisi agak penat namun hati gembira karena sejak pagi bertemu
kolega lab yang menyenangkan. Setiap kali tiba di asrama, tak ada yang lebih
menggembirakan selain melihat ada sesuatu di kotak surat yang berfungsi ganda
sebagai tempat menyimpan kunci kamar. Sugawara-san, front desk paling cantik dan ramah sedang bertugas malam itu.
“Konbanwa,
I am coming home” aku mendahului menyapa.
“Welcome home, Viva
–san. You must be very happy to have two letters and one small gift” kata Sugawara-san
sambil mengulurkan kunci, surat dan bingkisan.
“Arigatou gozaimasu”
jawabku.
Kuamati ketiganya,
surat dari keluarga di Jawa Tengah dan dari mas Dewa Jakarta serta satu bingkisan
kecil tanpa nama pengirim bertuliskan “Dedicated
to Viva Permatajiwa”. Di bagian belakang ada pita warna shocking pink!
“Any idea about the sender?” aku bertanya kepada Sugawara-san.
“I am sorry Viva-san, it was already inside the box when I came”
jawabnya.
Aku menaiki
tangga menuju ladies wing lantai dua asrama.
Lima belas menit beres-beres, mandi lalu kubuka satu per satu kiriman yang tiba
hari ini. Berita dari kampung halaman selalu mengobati rindu akan keluarga
besar, ayah ibu dan adik kakak. Surat ayah seperti memutar kaset berisi deretan
pesan yang selalu diulang: marah maksimal tiga hari, tidak mendendam namun
memaafkan siapapun dan pihak manapun termasuk tindakan Jepang di masa lalu,
menjaga citra bangsa, nama baik keluarga, kehormatan diri, fokus pada prioritas
utama tugas negara bukan jalan-jalan atau pelesiran. Mas Dewa bagai biasa
menabur rayuan pulau kelapa, apalagi telah terpisah beberapa bulan. Ia juga berkisah
tentang tugas baru sebagai jurnalis koran nasional ekonomi terkemuka.
Bingkisan
warna merah muda dari anonymous berisi
scarf. Saat lipatan dibuka ada
secarik kertas berhias puisi, indah ditulis tangan dalam tinta biru:
The soft colour of sakura pattern sackdress
Wrap you exactly georgeous and flawless
Night and day remember you always
Staying at your heart is my wish
(AG, springtime 1985)
Dheg! Puisi
ritmis-romantis itu sesaat menggetarkan hatiku. Indah terselip di dalam scarf merah muda Hanae Mori. AG? Akbar
Gaffar, kawan sekelompok training? Tidak mungkin! Akbar sudah beristri, sangat
sopan dan respect kepadaku. Akira
Goto kawan lamaku? Tak mungkin, ia telah memiliki Tomoko Inoue yang juga
kukenal. Tak ada lagi seorang berinisial AG dalam pusaran pertemanan. Terhenyak
aku! Bagaimana ia tahu nama lengkapku, tahu juga aku menyukai karya Hanae Mori
perancang kondang Jepang itu? Dari
mana ia tahu aku mengenakan sackdress merah muda? Sejuta tanya menghantu, duh! Didera kantuk,
akhirnya aku menyerah dan tak hendak memikirkan. Datang ke Jepang mengemban tugas
negara tak ringan dan aku sudah berkekasih Mas Dewa. Tak usah kugubris! Aku
lalu berangkat tidur.
Sabtu kedua,
14 April 1985 aku terjaga hingga nyaris tengah malam membaca cermat dan menggarisbawahi
butir-butir penting referensi terkait penelitian yang tengah kulakukan. Tak
lupa juga merapikan catatan data dan menyusun rencana minggu depan. Saat akan
berangkat tidur tiba-tiba telepon berdering, kuangkat tak ada suara namun
sayup-sayup terdengar larik-larik lagu yang amat sangat kukenal: “I Just Want to be Your Everything” dari Andy
Gibb. Kunikmati sebentar nyaris terlarut karena
aku teramat suka lagu tersebut. Namun segera kututup karena harus tidur cepat. Besok
pagi ada jadwal ganda mingguan: mencuci dan setrika pakaian.
Selasa 17
April 1985 adalah hari penuh berkah, aku genap berusia 26 tahun. Dini hari
waktu Tokyo Mas Dewa sudah menelepon. Berterima kasih aku padanya yang
mendoakan paling awal untuk kebaikanku di hari jadi. Aku sejenak merenung, usiaku
melampaui seperempat abad namun masih sendirian. Hubungan dengan Mas Dewa sudah
berjalan empat tahun namun belum dapat diikat resmi karena ada PR berat, aku
dan dia beda keyakinan. Masing-masing belum mengantongi izin keluarga. Terus
terang selalu pening kalau mengingat hal ini, namun kutepiskan sementara, aku
harus fokus pada tugas negara dengan segepok tantangan di negeri Sakura.
Sebelum
berangkat ke lab aku membuka jendela kamar, 15 menit
sebelum berangkat. Tiba-tiba ada suara gemericik dan saat kutengok ada kucuran
air dari atas membasahi dan menyisakan kepulan asap di lantai balkon. Aku menduga
air panas dituangkan dengan sengaja dari ketel listrik penjerang air yang ada
di tiap kamar. Aku bergeming tak kuurus karena harus bergegas ke lab. Sangat
ingin berangkat lebih pagi, menikmati perjalanan sambil mensyukuri hari jadiku
sendirian dan berencana mampir ke toko kue membeli taart untuk tea time pagi
di lab.
***
Dua bulan ini,
hari-hariku sarat aktivitas riset. Lumayan melelahkan namun sekaligus menyenangkan.
Semua materi penelitian berupa bahan kimia dan juga peralatan utama dan
pendukung sangat lengkap. Kolega satu lab sangat ramah dan menghargai. Singkat
kata atmosfer lab sangat mendukung untuk berekspresi dan berkinerja maksimal.
Kitaro sensei, meski terkesan tak terlalu ramah namun sangat
profesional dalam pembimbingan. Pemimpin tertinggi lab, Yumoto sensei dan
wakilnya Izumi sensei saat pertama bertemu, menghadiahkan buku: Manual of Methods for General Bacteriology (American
Society for Microbiology, 1981) dan Alkalophilic
Microorganisms, A New Microbial World (Japan Scientific Societies Press-Spriger
Verlag, 1982). Kedua text books itu
harus kucerna di sela begitu banyak tugas meneliti. Dua bulan ini adalah titik
awal paling kritikal, selama April dan Mei aku akan melakukan screening awal dan isolasi bakteri dari sampel tanah hotspring Ichihino Jepang.
Studi wisata ke
area Tsukuba diadakan di akhir Mei. Sangat menyenangkan melakukan kunjungan ke
kawasan khusus iptek terintegrasi di Jepang dan melakukan benchmarking penelitian di sejumlah tempat. Aku dan kawan-kawan
satu grup training pun berkesempatan
mengunjungi pameran iptek internasional Tsukuba Expo 1985, bertema “Dwelling and Surroundings Science and
Technology for Man at Home” yang dihelat Maret- September 1985.
Sabtu, 28
April 1985 lagi-lagi ada telepon berdering tanpa suara, hanya terdengar lagu
yang sama seperti dua minggu lalu. Telepon larut malam berlanjut hingga Mei
dengan lagu berbeda yakni “(Love is)
Thicker than Water”. Di antara kedua hari, pertengahan Mei terjadi
penuangan air panas dari ketel listrik tetap berulang. Aku diam membisu tanpa
kata. Seperti yang lalu, aku tak peduli. Ada yang jauh lebih penting, jadwal ketatku!
Penelitian
berkembang sangat baik, screening dan
isolasi bakteri memberikan hasil positif sehingga aku pun melaju dengan studi awal
enzimology sekaligus lanjut melangkah
identifikasi pada pertengahan Juni. Sementara itu teror telepon minggu genap
setiap bulan masih berlangsung dan setiap bulan ganti judul lagu. “Dont Throw It All Away (Our Love)”
menjadi pilihan stalker di bulan
Juni, diselingi kucuran air panas di pertengahan bulan. Sungguh membosankan,
namun aku berhasil membiarkannya berlalu.
Memasuki musim
panas, di awal Juli, sekembali dari lab aku menerima lagi bingkisan warna sama
persis dengan yang kuterima awal April lalu. Tertebak, kali ini lagi-lagi scarf Hanae Mori diselipi puisi musim
panas:
Blue jeans, pant of informal
Broken white blouse, what a smart casual
Wrap you so attractive and energetic
My heart then become so chaotic
(AG, summertime 1985)
Puisi nan elok
membuat jiwaku sekejap berbinar. Selama ini belum pernah aku menerima puisi
dari siapa pun termasuk dari Mas Dewa kekasihku yang memang tak pandai berpuisi.
Lagu “An Everlasting Love” menjadi tema pengganti suara telepon bulan Juli. Suara
Andy Gibb penyanyi kesayanganku, mendayu merdu terlantunkan menusuk-nusuk
perasaan.
Akhir Juli aku
bersama seluruh peserta training melakukan wisata studi ke Furano-Hokkaido, sebuah kota yang menggambarkan potret asli
tradisional Jepang. Mengunjungi Farm Tomita, perkebunan lavender terintegrasi.
Produk berbasis lavender tersedia di tempat ini, mulai dari es krim, coklat, cakes dan cookies serta aneka kembang gula semuanya beraroma lavender. Cinderamata
berupa yukata, kaos, scarf, shawl, topi, gantungan kunci, juga berdesain lavender. Sejauh mata
memandang terhampar warna ungu lambang keagungan yang sungguh menenteramkan
jiwa.
Di akhir Juli
aku mulai menengarai ritme stalker dalam
mengirim puisi , menelpon dan mengucurkan air. Jadwalnya ternyata awal musim berpuisi,
tengah bulan menuang air dan dua minggu sekali menelepon. Manusia macam apa dia
ini. Aku pun sedikit penasaran, walau tetap fokus dengan penelitian yang
semakin membuatku excited untuk terus
melaju dalam memburu bakteri bermanfaat.
Musim panas
adalah waktu ternyaman buatku, karena hawa Tokyo dan sekitarnya menyerupai
Jakarta, namun tentu saja jauh lebih bersih dan tidak banyak polutan. Ritme
gangguan stalker mulai terbaca,
sehingga sengaja di Sabtu kedua dan keempat aku tidur lebih awal, mematikan
lampu sebelum larut. Namun apa yang terjadi telepon berdering seketika setelah
lampu kupadamkan. Saat gagang telepon kuangkat lagu “Desire” terlantun apik sempurna. Aku ingin teriak namun
kukendalikan dan gagang telepon kututup tanpa suara. Tepat di hari Indonesia merdeka
aku menerima kucuran air di balkon. Duh Gusti, mengapa semua ini musti kualami?
Di bulan
Agustus itu, komunikasi dengan Mas Dewa menjarang, surat lama tak datang, pun telepon
tak sekerap biasa. Tak apa, aku memahami ia pasti fokus dengan tugas baru dan
juga pameran akbar flateli nasional, perayaan dalam rangka Agustusan di kantor
maupun di lingkungan rumah. Sementara itu, deraan peristiwa kucuran air panas
dan telepon Sabtu pekan genap tetap berlangsung selama September. Telepon
berirama “I Can’t Help It” duet manis-harmonis
Andy Gibb dengan Olivia Newton John.
Sang stalker sangat ketat mematuhi jadwalnya.
Pergantian musim pun ditandai dengan puisi. Tema puisi musim gugur tetap sama,
menyoroti caraku berpakaian dikaitkan dengan keterpikatannya akan diriku:
Mapple leave pattern of shawl
Welcoming the cool season of fall
You are truly beautiful in soft brown
My feeling then flying down
(AG, autumn 1985)
Di bulan
Oktober, melalui telepon aku mendapat hadiah lagu kesayanganku “Words and Music”. Hatiku serasa
tercabik-cabik setiap mendengar lagu ini, ada satu kekuatan magis nan nyaris memicu
tangis. Hampir saja aku ikut bersenandung saat menerima telepon rutin malam itu
namun beruntung dapat kukendalikan sehingga tak larut ikut bersuara. Gelisah aku,
tak mudah pejamkan mata malam itu hanya gara-gara terusik lagu. Menyebalkan
sekali!
Penelitian terus
lancar melaju. Aku semakin termotivasi untuk bekerja lebih giat lagi mencapai
penyelesaian tugas dan target publikasi. Di bulan November dimulai prosedur
kerja yang lebih kompleks yakni isolasi lipid dan DNA. Bulan November dijadwalkan
excursion ke kawasan Kansai untuk
studi banding ke beberapa pusat penelitian dan universitas, sekaligus menikmati
pergantian warna daun mapple di
Kyoto. Aku dan kawan-kawan satu grup peserta training sangat menikmati
keindahan Kyoto yang merupakan sister
city Yogyakarta.
Saat kembali
ke asrama, di waktu sedikit senggang, aku tergoda memikirkan rentetan kejadian
aneh yang menimpaku. Terlebih lagi akhir-akhir ini komunikasi dengan Mas Dewa merenggang.
Aku mulai merindukan puisi, menantikan kucuran air dan mengharap telepon jelang
tengah malam. Apakah aku mulai menyukainya, walau demi Tuhan tidak punya ide mengenai
siapa orangnya.
November, melalui
telepon ia setia datang lebih awal membawa lagu yang lain lagi: “Rest Your Love on Me”. Duh, lagu duet
terindah itu pun menoreh rasa, mengiris hati. Meleleh jiwa ini, tiap kali.
Awal Desember,
winter poetry berbeda dengan yang
sebelumnya, terselip di antara lipatan shawl
tebal dibungkus dengan gift box agak
besar warna putih gading.
Passed by season over season
No voice of yours no reason
Why you keep silent, why
So empty, so lonely
(AG, winter 1985)
Aku bergumam
kesal, bagaimana mau merespons kalau tidak tahu siapa yang kuhadapi! Bulan Desember
berlalu dengan format sama, dua kali telepon dengan lagu “(Me) Without You” tak lupa kucuran air panas menghias balkon di tengah
bulan. Kubiarkan semua berlalu dengan sendirinya, aku akan fokus dan selamanya
tetap fokus pada pekerjaan yang kian hari kian tak ringan, memerlukan perasan
energi dan curah pikir.
Jakarta-
Rabu Wage, 22 Februari 2023
Lahir di Kudus dan besar di Jepara, Lies Wijayanti SW kini menetap di Jakarta. Buku puisi berjudul Mozaik (Indie Book Corner, 2014) merupakan karya pertamanya sebagai penulis tunggal. Sejumlah karya yang ditulis bersama: antologi cerpen Bianglala (Carangbook, 2010), buku-buku puisi terbitan RayaKultura Press: Saujana (2014), Gita Negara Bumi Ilir (2014), Perjalanan (2015). Juga Resonansi Tiga Hati (Grasindo, 2016), 17 Therapist Writing for Tips for Happiness Healing Therapy (KKK, 2022), 21 Cerita Pembasuh Jiwa (KKK, 2023). Menyertakan puisi dalam buku Mata Air Hujan di Bulan Purnama (2020), Hujan Pertama di Bulan Purnama (2021), 121 Purnama (2021), dan Pulang Ke Rumahmu (2022) terbitan Tonggak Pustaka bekerjasama dengan Tembi Rumah Budaya. Selain buku fiksi, Lies menjadi kontributor penulisan buku iptek The Dancing Leader (Kompas, 2011) dan Pioneers in Green Science (Dian Rakyat, 2011). Hobi melukis membawanya mengikuti beberapa pameran di Bandar Lampung dan Jakarta. Tak hanya beraktivitas dalam dunia sastra dan seni, ia seorang pelaku iptek dan pernah berkiprah selama lebih dari 30 tahun sebagai abdi negara sekaligus birokrat di BPPT dan Kementerian Riset dan Teknologi RI (1983-2017). Sejak 2019 menikmati masa penuh anugerah sebagai pensiunan dan ingin terus menulis. E-mail: lieswija@gmail.com.