Cerpen Lies Wijayanti SW
Setiap triwulan, Asia Bunka Kaikan -asrama multibangsa tempatku menetap selama setahun di
Jepang- menggelar pesta namun aku tidak pernah bisa datang karena mengutamakan kerja dan
penyelesaian begitu banyak pekerjaan rumah. Perayaan tahun baru 1986 akan
dihelat tepat waktu di 31 Desember
malam. Mempertimbangkan itu pesta terakhir selama aku berada di Jepang, aku pun
mengalokasikan waktu di antara fokus penyelesaian laporan akhir dan menulis
naskah publikasi. Aku datang ke pesta bersama Wang-san kolega perempuan dari Hongkong. Pesta
tahun baru ketika itu mengambil tema “Bee
Gees and Andy Gibb Night”.
Disc Jockey sangat piawai memilih dan memutar
lagu-lagu mixed Disco besutan Bee
Gees seperti More than A Woman, Night Fever, Stayin
Alive, Tragedy dan You Should be Dancing. Dua lagu terakhir diambil dari album Andy
Gibb: Shadow Dancing serta Words
and Music.
Datang sejak awal pesta, aku sempatkan ajojing
bersama Wang-san dan menghabiskan beberapa lagu. Saat Shadow Dancing berkumandang melemah disambung Words and Music, aku dan Wang san menepi. Lumayan berpeluh karena
sudah sangat lama tidak berdansa. Sambil mengambil jus apel kami ngobrol menjauhi
area dansa.
Baru meneguk sedikit jus apel, tiba-tiba seorang pria muda berlutut di
depanku mengulurkan tangan:
“Viva, please dance with me”
Aku nyaris terjerembab untuk dua bab: ia menyebut namaku dan alangkah tampan wajah itu! Paras manis bak
dipahat dengan hidung mbangir, lesung
pipit di pipi kanan. Rambut gondrong ikal agak pirang, sungguh mengingatkanku
akan seraut wajah yang tak asing bagiku. Astaga, ia mirip banget Andy Gibb! Aku
serasa mau pingsan mendapati kembaran penyanyi kesayangan ada di pesta dansa. Aksi
berani pemuda ini menarik perhatian hingga pecah teriakan riuh para peserta
pesta terdengar “Go, go dancing! Make it
real, make it!”
“Please, Viva” ia tersulut suasana, mengulang
pinta
Sangat ingin rasanya menyambut tangan pria rupawan nan menawan itu. Dadaku
berdesir jantung berdetak kencang. Tanpa kusadari ada satu kekuatan entah dari
mana datangnya yang menahanku, hingga yang terlontar dari lisanku :
“I can’t ... I am very sorry” aku
menolak dengan sopan
Terlintas di kepala, menyambutnya berarti harus berpelukan karena ini slow dancing. Dan itu tak mungkin
kulakukan pada orang yang baru kulihat saat itu juga. Oh, tidaaaakkk!
Pria itu itu tiba-tiba berdiri, menyurutkan langkah lalu berkata:
“You are the most arrogant woman I have ever
met, the nastiest in the world” ucapnya
dengan mimik wajah penuh kecewa
“Dare you doing this to me!” ia teriak
Mendadak sontak paras manis itu pun memonster! Setengah berlari ia meninggalkan pesta. Musik tetap lembut
mengalun mengiringi pedansa lain. Banyak pasang mata menatapku seolah menyalahkan
mengapa aku tidak menyambut ajakan berdansa. Sangat tidak nyaman namun aku
berusaha sekuat tenaga mengelola perasaan dan tindakan. Sebelum pesta usai aku meninggalkan
lantai dansa dan kembali ke kamar dengan perasaan malu, kesal, marah, campur
aduk menjadi satu. Mimpi apa aku semalam!
Awal tahun 1986 adalah hari libur dan aku menghabiskan waktu bermalasan di kamar,
bangun agak kesiangan, menahan kepala berat ingat kejadian yang amat sangat tak
nyaman. Hari itu aku tidak sarapan ke kafetaria asrama karena akhir pekan dan
hari libur tutup. Masih ada persediaan roti dan selai juga buah dan susu. Telepon berdering,
setengah malas kuangkat, ternyata dari Mas Dewa mengucapkan selamat tahun baru.
Tak berapa lama telepon berdering lagi,
suara asing dari seberang.
“Viva speaking” aku bersuara
“It is me, Adrian, I stay upstair Room No 720 right above your room” suara itu menyebut nama.
“Don’t know him, none of my business where he stays” jawabku ketus.
“The one who begged for a dance last night” pelan ia berkata
“Sorry, I am exhausted and busy”
kataku singkat
Brak! Telepon kubanting karena kesalku belum hilang, malas bicara. Kurebahkan
tubuh sambil memasir dada memusing kepala. Aku tersedu, menangis dalam amarah, berlama-lama.
Lalu tak ingat, kapan semua jadi senyap saat
aku terbang ke alam mimpi.
Hari berikutnya Adrian menelepon lagi.
“Morning Viva darling , allow me to
explain” ia membuka percakapan
“Nothing to explain.. dare you calling
me darling! ” kataku sangat kesal
“Off course I have to explain something... face
to face. Please have a dinner with me at the dormitory cafeteria
tomorrow evening” ia menembak ajak makan malam
“Will let you know tomorrow, call me
in the earliest morning” jawabku
Aku mengingat ajaran agama dan juga nasihat ayah untuk tidak marah lebih
dari tiga hari. Aku juga tak boleh kasar pada siapa pun, kendati orang yang
menyakiti. Kupertimbangkan ajakan Adrian, dan besok kepastiannya. Jadwal Jumat
ini tak terlalu ketat karena Sabtu aku tidak libur. Jumat sangat pagi Adrian
menelpon dan aku penuhi ajakannya late
dinner di kafetaria asrama jam 8pm.
Menghindari konsumsi karbohidrat di malam hari, aku memesan Caesar salad kesukaanku dan Adrian memesan nasi
kare ayam. Kami mulai menyantap dalam diam. Habis setengah porsi, kami berhenti
sejenak dan Adrian agak terbata-bata mulai
bicara:
“I, I... apologise for the inconvenience
during the new year eve”
“It is OK.. Apologize as well, could
not dance with you” kataku meminta maaf
“ It does not matter Viva” ia
memaafkan
“And also...hm... “ ragu ia berkata,
berhenti sejenak memandangku tajam
“ Also ... for the nearly one year of
stalking”
Bleg!
Aku bagai dihantam gada besi di bawah hujan lebat lalu tersambar petir! Selera
makan mendadak hilang, ingin rasanya aku lari meninggalkan kafetaria kembali ke
kamar. Namun cepat menahan diri lalu menghabiskan makanan karena sejak kecil aku
diajarkan menghargai makanan dan pantang menciptakan loss di piring.
“What do you mean?” aku mendelik
menatapnya
“I was the one who sent you poems, made
silent callings, and poured hot water in the balcony... but unfortunately you
remained silent and no response was available for me” ia menunduk penuh
sesal
“Why the hell you did all of these to
me? Playing foolish stalking such a long time? What is your main purpose, Mister Stalker? Kataku dengan nada meninggi
Kuberondong Adrian dengan pertanyaan tak bertitik hingga ia hanya diam tak mampu
berkata sepatah katapun. Cepat kuhabiskan makanan dan pamit kembali ke kamar. Berkecamuk
aneka rasa di kepala dan hatiku. Mengapa orang semanis dia tega melakukan hal
konyol sedemikian lama. Aku tergoda untuk tahu alasannya namun aku tahan
sementara. Pekan ini aku dibebat PR
berat menganalisis data penelitian dan mulai menulis artikel untuk jurnal
ilmiah.
Gagal menuntaskan pembicaraan di kafetaria malam itu, every
other day aku ditelepon, negosiasi status hubungan. Mulai 6 Januari aku diberondong telepon.
“Viva, please be the lover of mine, I want
to be your everything” rayunya menirukan lagu cinta
“ Never, just ordinary friend” jawabku
ketus
“Spesial friend, please” ia
meminta
“No thank you.. Sorry, I am having a
tough duedate” kututup pembicaraan
Telepon
berlanjut dua hari kemudian, semakin merangseg agar tujuan besarnya tercapai :
menjadikanku kekasihnya! Duh, Gusti...
“What
about my proposal for a position inside your heart”
“As a friend” aku keukeuh menjawab
“As
special one” ia masih ngeyel
“Not
available... sorry I am sleepy, have
to get up early tomorrow”kataku malas
“Wait a moment.. what about eating outside, I need to completely explain”
ujarnya
“Will let you know later” kuberi ia harapan
Telepon kututup, klak! Aku menuju pulau surtaling, kasur bantal dan guling...
berjuang keras untuk tidur. Aku sangat
ingin tidur cepat dan pulas!
Berlangsung ritmis, telepon ketiga berdering pada pagi dinihari, 10
Januari.
“Viva, Let me invite you for a lunch” suara itu
menghiba
“With one strict condition”
jawabku
“What sort of condition ?”
tanyanya antusias
“We are ORDINARY FRIENDS, written in CAPITAL
LETTERS no more discussion”
jawabku tegas
Ia terdiam seribu bahasa. Lalu sunyi sepi.
“You have couple of hours to think. Ring me, early
tomorrow morning with positive decision” aku menutup pembicaraan
***
Tanggal 11 dinihari Adrian menghubungiku, hari itu aku libur dan aku
putuskan memenuhi ajakan Adrian makan siang di luar asrama setelah ia setuju
dengan syarat menjadikanku kawan biasa. Terus terang aku punya agenda tersembunyi
memenuhi undangannya karena ingin interogasi mengapa ia melakukan stalking gila namun berirama sekian
lama!
Janjian di lobby asrama, aku sangat kaget! Ia, juga aku, mengenakan jeans dan
atasan putih gading. Adrian pakai shawl
motif warna biru bergradasi dan aku kombinasi soft pink abu-abu pucat, sama-sama membawa ransel dan coat biru tua. Persis seperti anak
kembar lain ayah beda ibu! Aku tertawa dan ia pun. Bergegas, berdua lalu jalan kaki menuju stasiun
kereta Japan National Railways (JNR) Sugamo sambil membicarakan rencana makan
siang.
“One should choose the place, the other one ...” Adrian memulai
pembicaraan
“Be my guest, will treat you happily” kataku spontan
sebelum ia selesai bicara
“No Viva, I am the one who invite” ia menolak
“Never.. I got so many gifts from you. It
will be on me or we cancel our lunch” kataku merajuk
“Fine then, we’d better go to
Bengawan Solo” ia buru-buru meralat dan menuruti mauku, nampaknya khawatir
aku benar-benar nekad membatalkan janji
Menurutku, Bengawan Solo di kawasan Roppongi adalah restoran Indonesia terbaik di Jepang. Aku beberapa kali kesana
dan menemukan rawon, gado-gado, pisang goreng sangat lezat, cenderung juara. Tepat
di jam makan siang, kami tiba di lokasi. Beruntung tidak terlalu ramai, aku dan
Adrian memilih duduk di tempat yang agak terpisah untuk berdua leluasa bicara
tanpa gangguan. Aku penasaran, tergelitik mengetahui alasan ia doing
the stalking.
Sambil menunggu pesanan makanan, tanpa
ditanya ia bicara tentang dirinya, bernama lengkap Adrian Maulana Gibson
blasteran 75% Malaysia dan 25% Inggris, lebih muda beberapa tahun dariku. Pria
muda cerdas ini seorang sarjana farmasi yang lulus lebih cepat dari usia
rata-rata. Berada setahun di Tokyo Jepang untuk magang di perusahaan obat alami
milik kawan ayahnya sejak minggu kedua Januari 1985.
Ia sedang dikader menjadi garda depan divisi penelitian dan pengembangan di
perusahaan sekembali ke Malaysia. Perusahaan keluarganya aktif menggali dan mengembangkan potensi
tanaman obat lokal menjadi herbal
medicine. Seperti yang kuduga ia berasal dari keluarga the haves dan terpandang di negaranya. Kelihatan dari cara bertutur
dan berpakaian yang stylish-fashionable. Aku jadi ingat hadiah-hadiah untukku yang
tanpa kecuali semuanya branded-selected items dan sangat berkelas.
Semenjak kecil orang tuaku mendidikku agar menghargai setiap orang, memberikan
perhatian dan perlakuan lebih baik kepada siapa saja yang menganggap diriku
prioritas di dalam hidupnya. Aku merasa selama ini Adrian menjadikanku prioritas, maka aku harus
berlaku lebih baik padanya. Aku juga
memiliki prinsip “Friendship is a matter of giving and taking, listening and advising.”
Maka kucoba memberikan pandangan dan menasihati, bagaimana seharusnya ia
memanfaatkan kelebihan energi bukan untuk stalking
orang namun fokus untuk mengembangkan kapabilitasnya. Kuberikan motivasi
kepadanya untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi ke jenjang Magister bahkan bila
mungkin Doktoral. Melakukan penelitian lebih dengan tema pilihan relevan dengan
bisnis yang akan dikembangkan. Mendalami tanaman unggulan dan prospektif
Malaysia, dengan fokus studi etnobotani, analisis fitokimia bahkan elusidasi
strukturnya, formulasi sediaan farmasi dan seterusnya hingga diproduksi sebagai
obat alami baru. Adrian sepakat dengan insight
yang kuberikan dan mempertimbangkan untuk memasukkan dalam rencana studi
berikutnya.
Pesanan makanan telah disajikan dan kami mulai menyantap dengan santai
menikmati sedapnya rawon menu khas Jawa Timur. Setelah menyendok dua tiga kali,
aku mulai interogasi Adrian.
“Is there any specific reason to
stalk me almost the whole year, Adrian?”
“For sure, yes! I adore you, crushing on you Viva. Smart appearance of yours, way of speaking, everything. You are
energetic and attractice, indifferent” jawabnya sangat rinci
“Liar...
do not believe! kataku tak percaya
“I
am telling the truth, Viva” serius ia meyakinkanku
Amat sangat penasaran, aku pun lanjut dengan pertanyaan seputar puisi
pergatian musim.
“Why sending me such beautiful season
poems” tanyaku
“Because you deserved to have them” jawabnya
“Wrote youself or asked somebody else to write them for you”
tanyaku lagi
“Oh no, never ask any other people to write! All
poems were authentically written by AG. Writing poetry is a hobby of mine”
ia menjawab serius dan aku percaya.
Aku mulai merasa nyaman berbincang dengan Adrian, melaju bertanya mengapa
ia tahu aku suka rancangan Hanae Mori hingga ia menghujaniku dengan aksesories
mahal di setiap pergantian musim tanpa ada yang terlewat.
“How come you know I like Hanae Mori’s accesories” aku mengejar
“Off course, I notice you wear scarf quite often. As for Hanae
Mori.. I like her outstanding design with iconic butterfly in every piece of
her work” jawabnya meyakinkanku
Masih penasaran tentang kucuran air panas yang terjadi di pertengahan
bulan, maka kutanyakan juga:
“Why
did you pour hot water, monthly in the balcony”
“ Just expressing that my love for you is thicker
than water and is hotter than anything”
ucapan romantis bertema lagu ini membuatku dheg-dhegan
“Why should be in the mid of the month”?
tanyaku penasaran
“No special reason... just guessing that you
may be there, shouting to me then we may have a cool conversation” jawabnya
polos.
Gubrak! Aku merasa sangat bersalah. Tidak pernah menggubris usaha kerasnya
ingin mengajakku bicara. Duh! Lebih jauh dari urusan tuang menuang air, aku
juga ingin tahu soal telepon yang terjadwal ajeg
dua mingguan:
“The telephone ring every even week
end, why so scheduled?
“Just assuming you will be more relax on the
week end. I learned from a friend that the
trainees at RIKEN will be free every other Saturday” jawabnya
Tersisa a very big question mark
yang sungguh membuatku penasaran selama berbulan-bulan. Masih misterius,
mengapa harus tembang yang dilantunkan Andy Gibb diperdengarkan setiap kali ia
menelpon. Apakah ia tahu kalau aku amat sangat mengagumi bahkan tergila-gila
suara Andy?
“How do you know my favourite songs
and singer” aku lanjut bertanya
“Once twice, I hear you sang Andy Gibb’s songs at your room, make
me willing to enter you heart more and more” jawabnya lengkap
“Is that why you showered me with Andy Gibb’s
songs on the phone?” tanyaku penasaran
“Indeed! I like the singer and the songs... I think you do the same, right?”
ia menjawab penuh percaya diri
Aku membenarkan. Andy Gibb memang vocalist
yang sangat kusukai karena menurutku ia selalu melibatkan hati ketika bernyanyi.
Seorang yang dianugerahi Tuhan suara distinctive:
tenor nan sendu, berbisik dan mendayu dengan vibrasi indah sempurna. Tak
hanya piawai menyanyi dengan suara yang menghipnotis, namun ia pun seorang
multitalenta yang dibuktikan ketika bekerjasama dengan sejumlah bintang tenar
sejak tahun 1970an. Tercatat beberapa kolaborasi dengan Donny & Marie
Osmond Show (1978), komedian Bob Hope (1978) dan juga selebritas serbabisa Dean
Martin (1980). Kesemuanya menunjukkan ia sangat adaptif dan luwes membawakan
peran apa saja. Sebagai host
sekaligus pengisi acara Solid Gold pun Andy tampil sangat
profesional dan keren. Ia juga bermain
apik dalam pertunjukan drama musikal The Pirates
of Penzance. Duet dengan berbagai penyanyi beraliran musik berbeda pun ia
bawakan dengan manis. Ia selalu ngeklik
berduet dengan sejumlah penyanyi terkenal
masa itu, antara lain Olivia Newton John, Dione Warwick, Crystal Gayle, Gladys
Knight, Marilyn Mcoo, Victoria Principal, Irene Cara, dan Marie Osmond.
Andy tertakdir menikmati semua puncak karir di usia sangat muda, dua
puluhan tahun. Semuanya seolah diatur-Nya serba prematur: pernikahan dini, tenar
di usia sangat muda. Ia pribadi yang menyenangkan, humble, ramah, down to earth dan penuh perhatian. Tak ada manusia yang sempurna, di balik popularitas mendunia, ia
mengalami ujian kehidupan tak ringan. gagal membina hubungan menimbulkan rasa
sepi dan tak percaya diri. Mengalami depresi tingkat Dewa telah membuatnya
salah memilih solusi sehingga menyebabkan karir surut memburam. Tahun 1980-an
awal adalah saat yang paling berat dan kompleks
untuknya melawan kecanduan kokain. Tahun 1985, ia menjalani rehabilitasi di Betty
Ford Rehabilitation Center, California.
Cerita singkat tentang Andy Gibb kubahas bersama Adrian dengan penuh
antusias karena kami sama-sama penggemar berat penyanyi
ganteng bersuara angelic itu.
***
Menyimak cara Adrian menjelaskan semua alasan stalking dengan gamblang , bares- apa adanya, aku semakin
merasakan chemistry-clicking luar biasa.
Aku nyaman berada bersamanya. Lega rasanya mendengar pengakuan jujur Adrian.
Akhirnya terkuak alasan mengapa ia melakukan semua ini padaku. Aku berdoa, semoga setelah ini ia menjadi jauh
lebih baik dan fokus pada studi lanjut untuk karir yang akan dititi. Ada perasaan
aneh menjalariku. Anak muda ini sebenarnya sangat manis juga sopan. Sejujurnya,
aku mulai menyukainya. Sangat disayangkan perjumpaan dengan Adrian tergolong
salah musim. Andai saja terjadi bertahun-tahun lalu, kupastikan aku akan sangat
tergila-gila padanya. Jatuh cinta belum cukup, benar-benar cinta mati! Kutepiskan
pikiran liarku, aku tak ingin mencederai cinta Mas Dewa! Duh, Gusti ...
Atas nama persahabatan, kuhadiahi
Adrian selembar dasi sutra batik Yogya sebagai
“kunjungan balasan” atas cinderamata berupa puisi dan aksesories berkelas serta
perhatiannya yang begitu besar terhadapku
selama ini. Kupilih dasi batik sutra bermotif klasik yang melambangkan kewibawaan,
kesopanan, tatakrama. Warna dasi itu dominan biru refleksi kelembutan pekerti, ketenangan, keikhlasan dan kesetiaan. Kupersembahkan
dengan segenap harapan agar Adrian akan tetap memiliki sifat baik dan menyebarkan
energi positif dimana pun!
Hari berganti hari, aku semakin tak mudah melupakan Andy Gibb versi Asia bernama
Adrian Gibson. Tak ada kejadian kebetulan, bagaimanapun pernah sangat singkat ia
dipilih Tuhan untuk singgah, bertamu di teras hatiku. Meski sangat singkat, ia
telah menebar bias-bias kasih nan indah tiada terperi. Aku tak bisa melarangnya
menyukaiku namun tak bisa menerima cintanya karena aku hanya punya 100% cinta
yang sudah kuberikan pada Mas Dewa. Pikiranku melayang ke Jakarta, membayangkan
kekasihku tengah menyiapkan keberangkatan ke Tokyo menetap seminggu lalu
kembali bersama ke Jakarta. Hmm...
Bersyukur aku baru bertemu Adrian saat pesta tahun baru. Kalau lebih awal mungkin
aku akan berada dalam pusaran situasi runyam apalagi komunikasi dengan Mas Dewa
sempat terinterupsi. Pesona wajah manis Adrian
dengan rambut gondrong ala Andy Gibb serta tubuh kurus tinggi langsing begitu
menggoda dan menimbulkan daya pukau dahsyat. Belum lagi senyumnya yang natural sungguh mampu melumerkan hatiku.
Personality setelah kenal juga
menawan, sejatinya ia tipe lelaki sangat romantis yang tahu menghargai
perempuan.
Seminggu sebelum Mas Dewa datang, Adrian berpamitan kembali ke Malaysia. Sabtu
itu aku tidak libur, hanya bisa menemuinya di lobi asrama. Seribu haru
menyeruak saat kulihat wajah menyedih memaksakan senyuman. Tanganku erat dijabat,
seolah tak ingin dilepaskan. Ia mengedipkan sebelah mata menginginkan farewell hug. Kuikhlaskan berdetik-detik
pelukan hangat persahabatan untuknya. Kemepyur
ini dada!
Pungguk itu tak hanya merindu namun telah bersua bulan. Berbisik hati, merebak rasa ingin mencintai,
namun rasio mendominasi. Kepada Adrian, melabuhkan
hati tak mungkin kulakukan! The story ends...
the feelings gone away, then!
Jakarta- Rabu Pon, 8 Maret 2023
Lahir di Kudus dan besar di Jepara, Lies Wijayanti SW kini menetap di Jakarta. Buku puisi berjudul Mozaik (Indie Book Corner, 2014) merupakan karya pertamanya sebagai penulis tunggal. Sejumlah karya yang ditulis bersama: antologi cerpen Bianglala (Carangbook, 2010), buku-buku puisi terbitan RayaKultura Press: Saujana (2014), Gita Negara Bumi Ilir (2014), Perjalanan (2015). Juga Resonansi Tiga Hati (Grasindo, 2016), 17 Therapist Writing for Tips for Happiness Healing Therapy (KKK, 2022), 21 Cerita Pembasuh Jiwa (KKK, 2023). Menyertakan puisi dalam buku Mata Air Hujan di Bulan Purnama (2020), Hujan Pertama di Bulan Purnama (2021), 121 Purnama (2021), dan Pulang Ke Rumahmu (2022) terbitan Tonggak Pustaka bekerjasama dengan Tembi Rumah Budaya. Selain buku fiksi, Lies menjadi kontributor penulisan buku iptek The Dancing Leader (Kompas, 2011) dan Pioneers in Green Science (Dian Rakyat, 2011). Hobi melukis membawanya mengikuti beberapa pameran di Bandar Lampung dan Jakarta. Tak hanya beraktivitas dalam dunia sastra dan seni, ia seorang pelaku iptek dan pernah berkiprah selama lebih dari 30 tahun sebagai abdi negara sekaligus birokrat di BPPT dan Kementerian Riset dan Teknologi RI (1983-2017). Sejak 2019 menikmati masa penuh anugerah sebagai pensiunan dan ingin terus menulis. E-mail: lieswija@gmail.com.