Cerpen: Dhanu Priyo Prabowo
Sihati masih terus menggerakkan tangannya di tuts-tuts laptop. Ia berharap
supaya segera dapat merangkai kalimat dan
selesai sebagaimana yang diharapkan.
Tetapi, apa yang diangan-angankannya tidak segera terlaksana. Ide yang duduk di hadapannya tampak
seperti tidak seperti Ide pada hari-hari biasanya. Di hari-hari kemarin Ide
tampak cantik seperti wanita. Atau gagah seperti kesatria. Atau apa pun yang
menawan. Ide yang biasanya memberikan inspirasi dan gairah, kali ini sangat
menyusahkan. Setiap kali Ide sudah mulai terwujud dalam struktur cerita, kemudian gagal
untuk diselesaikan. Bahkan, Ide sampai menawarkan beraneka
godaan dengan tawaran Ide lain yang
lebih menggoda. Jelas hal ini sangat menggelisahkan. Ide kali ini tidak lembut dan kalem,
tetapi perubahan kuda gila yang meronta-ronta
di seluruh panca indera Sihati.
Di tengah suasana kesemerawutan itu, Sipikir tiba-tiba datang seperti hantu di ruangan Sihati berkarya. Sipikir melihat jika orang yang didatanginya itu sedang
dalam kegalauan yang belum jelas ujungnya. Sipikir tertarik untuk memandang Ide
yang sedang jadi persoalan Sihati.
Mengetahui Sipikir berada di ruangan bersamanya, Sihati
pun kemudian menyuruh Ide untuk keluar dari ruangan. Laptop ditututupnya. Ia
merasa lebih nyaman hanya berduaan dengan Sipikir daripada bertiga bersama
dengan Ide.
“Mengapa bisa begitu? Mengapa kau suruh Ide keluar ruangan? Bukankah kalau dia ada
bertiga bersama kita, kita dapat mengajaknya berbincang?” ujar Sipikir.
“Biar saja, nanti dia akan kusuruh masuk lagi, kok. Tidak
ada gunanya Ide bersama kita. Kukira Ide yang tadi kusuruh masuk adalah Ide yang sebenarnya.”
“Siapakah Ide yang sebenarnya itu? Apakah Ide yang kau suruh keluar
tadi bukan Ide yang sebenarnya?”
Mendengar pertanyaan Sipikir yang cepat mereaksi jawabannya itu, Sihati
tidak segera memberi jawaban balik. Ia hanya memperhatikan Sipikir dengan
tajam. Ia membayangkan reaksi Sipikir itu seperti mesin penjawab yang sudah
tersusun rapi dalam sebuah sistem.
“Mengapa belum kau jawab pertanyaan itu?” kejar Sipikir.
“Gimana ya?”
“Ya, Ide itu. Yang sebenarnya! Seperti apa?”
“Yang jelas tidak seperti ketela atau tempe,” Sihati menjawab asal-asalan.
“Lha kalau memang seperti yang kau katakan itu, apa ya salah?”
“Ya, bisa salah juga bisa
benar.”
“Jika salah bagaimana? Jika benar bagaimana?” cecar Sipikir sewot.
“Jika Ide itu salah ya seperti yang sedang
kualami saat ini. Kutulis Ide untuk cerpen
ini, sudah dua halaman. Menurutku, ini pasti nanti akan segera
selesai. Eeee ternyata di tengah jalan justru yang kusangka meleset. Ide
tiba-tiba membelot, tidak mau berjalan lurus menuju tujuan. Makanya Ide kukatan itu
bisa salah. Salah jalan barangkali.”
“Lalu Ide yang benar penjelasannya
bagaimana sih?” sambil bertanya seperti itu, Sipikir kemudian mendekati Sihati sembari mengambil
sebatang rokok milik Sipikir yang tergeletak di meja. Disulut dan dihisap
dengan nikmat.
Melihat Sihati merokok, Sipikir pun ikut-ikutan mengisap rokok. Tetapi ia
merasakan lidahnya kurang bisa menikmati, mungkin karena kebanyakan merokok
sebelumnya,
“Oke, Ide yang benar dan menawan itu ya cepat keluar dan cepat selesai, terus berubah wujud jadi
cerita yang utuh. Cantik atau ganteng, indah, dan menawan. Tanpa perlu rewel, lurus mulus seperti landasan pesawat itu
lho.”
“Kukira aku akan mendapatkan jawaban yang hebat darimu tentang Ide. Maksudku yang filosofis gitu lho. Yang dakik-dakik kayak
para doktor ketika bicara dalam sebuah seminar.”
“Bagiku filosofis atau tidak itu tergantung yang membaca saja hasil
tulisanku. Aku tidak pernah sampai hal seperti itu. Hal terpenting, bagaimana
aku bisa menuliskan Ideku menjadi sebuah cerita
yang unik. Gitu aja,” jawab Sihati dengan
kalimat yang sedikit panjang, “Kuharap Sipikir bisa memahami apa yang kumaksudkan.”
Perbincangan di ruangan yang sempit itu sejenak terhenti. Mereka seperti
sedang sepakat untuk menunda pembicaraan demi sedotan-sedotan rokok yang mereka
nikmati. Alam pikiran keduanya kemudian berjalan sendiri-sendiri seperti
mengikuti gerak asap rokok yang kadang meliuk-meliuk ke atas atau
bergulung-gulung tak tahu aturan tertiup angin malam yang semilir.
“Maksudku begini, lho. Boleh gak aku cerita pengalaman temanku? Barangkali bisa
menjadi pertimbangan. Siapa tahu bisa menjadi masukan,”
Sipikir mencoba mengarahkankan Sihati menuju alur keinginannya.
“Sebuah tawaran yang mungkin bisa
kupertimbangkan,” Sihati berucap sambil menyedot rokok untuk yang kesekian
kali.
“Gini, lho.” Sipikir memulai ceritanya, juga sambil menghisap rokok
seperti tak kalah nikmatnya dengan Sihati, “Mungkin, kalau kau ditemui Ide, langsung kau tulis di komputer
ya?”
“Ya, supaya segera jadi cerita.”
“Berbeda dengan temanku,” Sipikir bertutur sambil membuka ponselnya, lalu
dibuka file dokumen yang tersimpan di dalamnya. File yang diinginkan sudah
didapatinya, “Nah, dia bilang begini: Aku
tidak bisa tiba-tiba menuliskan Ide walau sudah
kutemukan. Aku harus mengolahnya terlebih dahulu semua Ide yang muncul secara filosofis. Harapanku, supaya cerita
yang kutulis bisa hebat dan terus
tertanam di dalam hati dan pikiran sidang pembaca.”
Sihati sigap menjeda ucapan Sipikir, “O, tentu saja. Aku juga juga
mengolah Ide yang kutemukan, tapi aku tak
bertendensi tentang filosofis-filosofisan gitu. Tadi aku kan sudah bilang.”
“Ya, biar kuselesaikan dulu ucapanku,”
“Oke. Mangga!” Sihati berkata sembari mengacungkan jempolnya
sebagai ungkapan mempersilakan.
“Temanku itu bilang, membuat cerita itu sulit.”
“Ya, memang tidak mudah. Jika gampang,
pasti semua orang jadi pengarang, dong!” tukas Sipikir cepat.
“Ya, ya! Tapi begini, Mas. Baginya mengarang itu diibaratkan memanggul
sebuah tugas yang harus melahirkan karya-karya baru yang kreatif. Karya baru
yang semakin berbeda dengan karya-karya
sebelumnya yang pernah ditulisnya. Selain itu, harus berbeda dengan milik orang
lain.”
“Setuju! Terus?”
“Baginya, kesulitan yang utama itu sewaktu memroses Ide dengan kreativitas. Proses itu sangat panjang. Temanku itu
tidak hanya duduk bersemadi untuk pemrosesannya, tetapi ia terus belajar membaca buku-buku filsafat, agama,
psikologi, dan sebagainya. Pokoknya bacaan apa saja yang berguna untuk
menyuburkan karya-karyanya,” Sipikir menyela omongannya. Ia menyulut rokok milik Sihati untuk kali yang kedua.
Seperti diberi kesempatan untuk mereaksi kisah Sipikir, Sihati langsung
masuk dalam ucapan, “Yah tentu saja, pengarang harus banyak belajar. Kalau
perlu seumur hidup. Dari apa saja, termasuk buku-buku yang kau sebutkan tadi.”
“Ya, aku tidak meragukan hal itu.”
“Kalau boleh terus terang, aku sedikit tersinggung
dengan kisahmu tentang temanmu itu dan buku-bukunya. Kayaknya aku seperti orang
tidak pernah tahu soal itu.”
“Nggak! Aku nggak bermaksud menyinggung keluasan
wawasanmu tentang sumber referensi kreativitasmu.” Sipikir melihat situasi
batin temannya memang sedang labil, “Dia punya Ide yang oleh banyak orang
dianggap unik dan berani. Seperti dirimu kala berkarya. Bahkan, ia juga
mengatakan padaku, jika Ide itu bermunculan hampir tiap menit.”
“Salut. Aku salut pada temanmu itu, Mas. Tapi, sudah
berapa karya-karya atau apakah setiap bulan karya-karyanya muncul di media
massa? Atau bahkan diterbitkan dalam bentuk buku?” Sihati bertanya layaknya
hakim mengejar sebuah kesahihan jawaban terdakwa di sebuah persidangan.
“Itu yang jadi berbeda dengan dirimu,” kata Sipikir
tandas, cepat, bahkan dengan nada yang agak meninggi. Kecewa. Ia pun minta
diri. Sebelum menghilang di balik pintu, ia masih sempat mengambil sebatang
rokok milik Sihati sebatang dan menyalakannya, “Sebatang lagi ya, boleh ya?”
Melihat kelakuan Sipikir tersebut, Sihati tidak heran.
Sudah menjadi adatnya, Sipikir tidak segan-segan menyisil rokok temannya.
Sihati sendiri punya kelakuan yang sama. Jadi, bagi Sihati semua yang terjadi
dengan adegan rokok seperti itu diterimanya dengan lapang dada. Ia sendiri,
sewaktu kehabisan rokok, pada suatu jagongan bersama teman-temannya, dengan
enteng langsung meminta sebatang rokok.
Ketika ruangan itu kembali sepi dari perbincangan,
Sihati kemudian kembali ingin melanjutkan mengetik. Ide yang tadi disuruh
keluar dari ruangan, kembali disuruh ke ruangan. Ia ingin melanjutkan lagi
merangkai kata bagi Ide. Akan tetapi, ternyata Ide tidak mau keluar dari tut-tuts
laptop. Bahkan, laptop itu sampai direstart berkali-kali, tetap saja tidak
keluar. Sihati mencari di tempat lain. Bahkan, di seluruh ruang yang ada di
rumahnya, Ide itu tak ditemukannya. Ia kemudian keluar rumah, menyusuri
gang-gang yang membujur di kampungnya. Siapa tahu Ide sedang makan bakso atau
mie ayam di warung kesukaannya.
“Mas, apakah Ide tadi makan bakso di sini?” Sihati
mencoba bertanya kepada penjual bakso.
“Ndak itu, Mas. Kalau Ida tadi memang ke sini.
Habis semangkok bakso komplet dengan bakso gorengnya. Empat buah.”
Sihati tidak memperpanjang dialognya. Ia melanjutkan
pencariannya, ke toko kelontong yang tidak jauh dari tempat penjual bakso. Dari
pemilik toko kelontong, Sihati memperoleh jawaban yang hampir sama sebagaimana
disampaikan penjual bakso. Pemilik kelontong itu hanya menerangkan, bahwa Ide
sempat mampir sebentar. Membeli dua bungkus permen kesukaannya.
“Ia bilang mau ke perpustakaan. Tapi nggak ngerti
perpustakaan mana. Cuma perpustakaan gitu,” pemilik toko kelontong menerangkan.
Sihati pulang ke rumahnya. Ia segera berganti pakaian.
Motor bebeknya segera dikeluarkan dari garasi. Motor diarahkan ke perpustakaan
besar di kotanya. Perpustakaan yang menjadi favorit Ide. Sihati tahu
perpustakaan itu merupakan tempat kesukaan Ide setiap saat. Ide pernah
bercerita bahwa di tempat banyak buku itu, ia seperti menemukan oase batin dan
jiwanya. Di situ Ide dapat menemukan buku-buku tentang kemoderenan yang
komplet. Selain itu, yang menjadi minat lainnya di koleksi buku-buku lama dan
kuno. Bagi Sipikir, bisa memberikan perspektif bagi kehidupannya sebagai
manusia. Membaca karya-karya itu, Ide menemukan sebuah sejarah panjang para
pujangga atau pengarang dalam mengolah imajinasinya tentang suatu zaman dan
peristiwa. Suatu keadaan yang sudah tidak ditemukan kembali di era sekarang.
Betul juga, Sihati menemukan Ide asyik sedang membaca
sebuah buku lama di sudut ruangan perpustakaan. Dihampirinyalah Ide. Akan
tetapi, tampaknya Ide yang sedang asyik membaca itu tidak mau diganggu. Ia
hanya menyilakan Sihati untuk duduk di kursi kosong. Setelah itu, Ide kembali
tenggelam di halaman demi halaman buku yang dibacanya. Sihati salah tingkah
setelah sekian lamanya menemani Ide membaca. Tanpa ada dialog dan tanpa rokok
yang menyala, menunggu menjadi sebuah siksaan bagi Sihati. Sihati tidak kuasa
lagi duduk terlalu di ruangan itu.
“Baik. Silahkan lanjut. Aku pulang dulu, ya,” ujar
Sihati.
Sejenak Ide mengalihkan pandangannya dari buku. Matanya
menatap tajam mata Sihati, “Ya. Maaf, ya. Aku mau menyelesaikan beberapa
halaman lagi. Setidaknya sampai bab ini biar habis kuselami.”
Sampai di rumah, Sipikir menuju laptopnya yang masih
menyala di meja kerja. Langsung membuka file
naskah cerita yang tertunda diselesaikan. Matanya terbelalak. Mulutnya melongo
sehingga tampak gigi-ginya yang terbalur warna coklat nikotin. Di hadapannya,
Ide itu telah hadir duduk manis. Dengan mata berpendaran, Ide memandang Sihati
dengan penuh gairah. Gairah yang meluap-luap, ingin segera dibelai bagai
seorang gadis cantik yang baru pertama kali masuk ke pelaminan.
“Apa yang kau tunggu lagi, Mas? Ide sudah duduk di
sini. Di hadapanmu.”
Mulut Sihati serasa gagu mendengar sapaan Ide yang
mendayu penuh gairah. Gairah suci.
“Lekaslah kau lukis aku jadi sebuah kalimat yang
menawan melalui tuts-tuts laptopmu ini. Aku ini Ide yang apa adanya. Ide yang
juga berada di Timur tetapi juga bisa berada di Barat. Ide yang sudah menyatu
antara Timur dan Barat. Aku ingin mengajakmu kembali kepada dunia kita. Dunia
yang penuh keharmonisan dan ketenteraman. Kalau kita tenteram, kita pasti bisa
menurunkan anak dan cucu yang berbahagia. Yang memahami adanya perbedaan.
Karena kita ini, sebagai manusia, sebenarnya layaknya lidi-lidi yang disatukan
dalam sebuah tali supaya menjadi alat yang berguna. Menjadi sapu lidi. Atau menjadi
pelangi di langit. Bukankah sekarang pelangi sudah jarang muncul di langit.
Apakah kau tidak merindukannya, Mas?”
Kata-kata Ide itu bagaikan air terjun di musim
penghujan kala airnya berlimpah, menggerojok menimbulkan buih-buih embun yang
menyejukkan. Sihati terpana. Tidak lama, ia segera memainkan tuts-tuts
laptopnya dengan penuh gairah mencumbui Ide.
*****
Dhanu Priyo Prabowo, menulis fiksi dalam bahasa Jawa dan Indonesia, baik cerita anak-anak, cerita pendek maupu novel