Cerpen : Anto Narasoma
KETIKA
paku itu menusuk ke daging kayu, tak ada suara protes dan teriakan kesakitan.
Namun fakta itu jelas telah melukai kayu sebagai korbannya. Namun yang perlu kita tanyakan adalah
fungsi kedua materi dari persoalan itu. Paku dibentuk dengan format besi dan
memiliki ketajaman di matanya. Sedangkan
papan, dibentuk dari kayu gelondong untuk difungsikan sebagai dinding rumah.
Namun ketika akan direkatkan, tubuhnya harus ditembus paku. Begitu pilunya hati papan kayu ketika
lapisan dagingnya secara paksa ditembus ketajaman mata paku.
Setelah keduanya menyatu, papan kayu menyatakan
kesedihannya.
"Kau begitu tega melukai tubuhku. Kau tak
pernah mendengar jeritanku, ketika secara perlahan kau tembus dagingku,"
ujar papan kayu sembari berurai air mata.
Paku tak menjawab. Sebenarnya ia tak tega menyakiti
siapa pun. Di dalam hatinya, paku merasa sangat berdosa telah melukai papan
kayu.
"Maafkan aku, papan kayu. Di hatiku, tak
sedikit pun terbersik untuk melukai siapa saja. Apalagi menembus dagingmu. Tapi
inilah fakta yang kita alami," kata paku dengan suara diatur agar tak
menyakiti peraasaan rekannya itu.
Papan kayu diam. Ia tak melakukan reaksi meskipun
hatinya sakit sekali mendengar ucapan paku. Sebab selama hidupnya, paku selalu difungsikan untuk menerobos serat
dagingnya.
Cuaca mulai sejuk. Angin malam berhembus pelan.
Rintik hujan menambah sunyi suasana yang mencekam perasaan di hati keduanya. Itulah fakta kehidupan, yang
masing-masing bentuk harus berfungsi pada ruangnya.
Dalam tradisi sebagian masyarakat, bentuk papan kayu
dan paku, selalu berfungsi secara bergandengan. Meski relatif hidup
bareng, namun bukan untuk menciptakan
kasih sayang.
"Kita sudah menyatu selama tradisi kehidupan
manusia itu berkembang. Bahkan, diciptakannya paku dan papan kayu, untuk saling
bersatu. Bahkan tubuhku sendiri berkali-kali ditembus ketajaman mata
paku," ujar tiang kayu rumah.
Papan kayu dan paku menoleh ke arah tiang kayu.
Keduanya meresapi ucapan tiang kayu tersebut. "Kalian jangan saling
menyalahi. Kalian diciptakan memang harus berada dalam kondisi yang harus
saling menyakiti. Inilah takdir kita," ujar tiang kayu.
Secara spiritual, hidup dalam ketentuan seperti itu
adalah ketentuan garis takdir. Dalam kehidupan spiritualitas Jawa, Tuhan dihadirkan
sebagai konsep personal yang bebas melakukan apa saja terhadap kehidupan sosok
yang diciptakan.
Karena itulah segala takdir yang muncul dari balik
keberadaan aku, papan kayu, dan paku, akan selalu dihiasi dengan persoalan kekerasan
yang saling menyakiti.
"Meski ini suatu kesalahan fatal, namun tak
satu makhluk pun yang mengatakan bahwa masalah itu adalah kesalahan. Si empunya
rumah akan tertawa senang apabila kita menyatu dalam tautan mata paku,"
ujar tiang kayu dengan getaran suara lirih.
Meski ungkapan itu nadanya tidak menyakitkan, namun dalam hatinya paku menyumpah serapah
dirinya habis-habisan. Mengapa aku
dibentuk dari baja, bertubuh panjang dan bermata tajam?
Ah, ini tidak adil. Meski paku tak pernah ada
sedikit pun niat untuk melukai tubuh siapa pun, faktanya ia selalu digunakan
untuk menyatukan papan dengan sosok tiang kayu.
Meski hatinya menolak keras, namun paku akan selalu
berperan untuk menerobos daging papan dan tiang kayu.
Meski fakta itu menyakitkan, namun rumusan hidup
memang menentukan harus seperti itu. Mata paku difungsikan untuk mencoblos
daging papan, sedangkan paku sendiri tak lebih buruk dari nasib papan dan tiang
kayu. Sebab berkali-kali pula kepala paku
harus digetok palu. Bahkan akibat kerasnya pukulan dan kokohnya daging kayu,
kepala paku pun ikut lepas dari lehernya.
"Nah, kita hanya menderita luka saja. Sedangkan
paku, ketika tekanan daya pukul itu datang secara bertubi-tubi, jika tubuhnya
tidak bengkung, kepalanya akan terlepas dari lehernya," tegas tiang kayu
dengan suara bergetar.
Karena itu tiang kayu menyarankan papan untuk tidak
menyalahkan paku atas nasib buruk yang mereka alami.
Paku tak pernah mengatakan apa-apa tentang proses
kejadian dan difungsikannya sebagai alat yang terpaksa harus melukai daging
papan dan tiang kayu. Padahal hatinya perih sekali merasakan itu.
"Aku tak pernah menyesali keadaan yang memaksa
harus melukai kalian. Bahkan aku pun menderita setengah mati ketika pukulan
palu menghantam kepalaku untuk menerobos daging kalian," kata paku. Air mata paku pun meleleh ke
pipinya.
Tapi tak apa. Itulah jalan hidup yang harus dilalui
dengan hati yang luas. Siapa pun yang lahir dan terbentuk sebagai apa, harus
menyukuri dirinya. Karena dengan fungsi yang melekat sebagai apa, ia akan
tampil bermanfaat bagi kegunaan dirinya untuk orang banyak.
Andaikan paku mampu menghimpun papan, tiang kayu,
maka hasilnya akan mahal. Terutama setelah menjadi rumah hunian. Tak hanya
nilai rupiahnya yang mampu mengembangkan senyum bagi pemilik rumah, namun mampu
melindungi orang dari cahaya matahari,
curah hujan serta dinginnya angin malam. (*)
Anto Narasoma, Sastrawan dan wartawan dari Palembang Sumatera Selatan. Karya-karyanya dimuat diberbagai media nasional dan buku antologi. Kerap diminta jadi pembicara. Alamat: Jalan Bendung Dalam (Sekip Bendung) Gang Pulau No. 20/153 RT 36 RW 09 Kelurahan 8 Ilir Kec. Ilir Timur III Palembang Sumsel. WA. 0813 6745 9281