Cerpen:
Agus Suprihono
Aku tidak ingin
bertemu dengan Dinda. Aku hanya ingin melihatnya. Dan aku tidak ingin dia
melihatku. Aku hanya ingin memastikan bahwa ia dalam keadaan sehat, gembira
hati dan perasaannya. Meskipun tentu saja, karena rasa kangenku yang kupendam
selama puluhan tahun. Bagiku, cukuplah sekedar memandangnya tanpa berkeinginan
untuk mengusik kehidupannya.
“Kenapa tidak
ingin bertemu denganku?” Tanya Dinda di boks pesan waktu itu.
Aku tidak
menjawab pertanyaan itu. Aku tidak ingin jika kami bertemu kemudian cintaku
bangkit dari tidur lamanya dan tak bisa kuninabobokkan lagi. Aku tak bisa
membayangkan mencintai perempuan yang telah bahagia bersama laki-laki lain.
Betapa menyiksanya itu.
Menemukan Dinda
kembali, aku seperti menemukan hidupku yang hilang. Meski hanya sebuah nama di
akun jejaring sosial dan kemudian foto long
shot yang buram pada awalnya. Tetapi akhirnya memang dia yang kurindukan
selama duapuluh tahun lebih. Seorang perempuan yang berhasil membuat ingatanku
hanya tertuju kepadanya. Seorang perempuan yang dulu menolakku untuk menjadi
suaminya.
“Oh, ini Dimas
yang dulu kurus itu ya?” celotehnya di boks pesan ketika itu
Senangnya hatiku
bukan main. Ternyata dia masih mengingatku. Kalau saja dia sudah tidak
mengingatku lagi, aku tentu tidak akan meneruskan untuk menghubunginya. Betapa
sakitnya seorang teman yang dilupakan oleh temannya. Karena bagiku masa lalu
itu penting untuk pedoman melangkah di masa kini. Dan karenanya, tak ada
gunanya menjalin silaturahmi pada orang yang menganggap orang lain tidak
penting.
“Anakmu sudah
berapa? Masih di Jogja? Kerja apa sekarang?” cecarnya.
“Kami cerai.
Ketiga anakku ikut ibunya. Masih seperti dulu juga, menjual angan-angan,”
jawabku.
Berbeda
denganku, sekarang dia telah dikaruniai dua orang putri yang manis-manis.
Mereka sekolah di perguruan tinggi elit di Surabaya. Sekarang suaminya tentu
setara dengan kepala dinas, karena sesuai dengan tingkat pendidikannya tentu
nasib akan mengantarkannya pada kedudukan yang sesuai pula. Dengan demikian aku
bisa memastikan, mereka bahagia. Foto-foto keluarga yang diunggah di jejaring
sosial juga mencerminkan itu.
Kupendam
dalam-dalam kerinduan ini untuk sekedar memandang wajahnya. Meski itu hanya
dari kejauhan. Ada kegetiran mengalir di tenggorokan, menjalar ke ulu hati. Tak
pantas rasanya untuk berpikir macam-macam. Aku tak ingin merusak kebahagiaan
keluarga itu dengan hal-hal yang memalukan. Aku senang jika Dinda hidup bahagia
saat ini. Dan suaminya memang pantas menjadi pendampingnya. Aku harus
menghormati laki-laki yang telah berhasil membahagiakan perempuan yang selama
ini amat kucintai dan kurindui itu. Dan cukuplah bagiku untuk tahu bahwa dia
baik-baik saja. Cukuplah bagiku pernah mengenalnya. Perempuan yang telah
memberiku banyak sekali arti hidup. Perempuan yang pernah memberi hari-hariku
begitu indah. Aku tidak ingin bertemu dengannya. Karena aku harus menghormati
orang yang akan terkhianati oleh pertemuan kami yakni suaminya! Meskipun
barangkali hanya pertemuan biasa. Pertemuan dua orang teman SMA yang lama tidak
bertemu.
Dulu aku
menganggap Dinda tidak sekedar kekasih. Aku begitu menyayanginya.
Menghormatinya. Ingin membahagiakannya. Tak kan pernah kusakiti hatinya. Aku
menganggapnya sebagai malaikat kecilku. Bagiku, dia terlampau mulia untuk bisa
menerima kata-kata polos seorang lelaki macam diriku. Sehingga, jika nanti kami
menikah, aku ragu apakah aku tega menyetubuhinya? Aku yakin, bahwa inilah yang
disebut cinta sejati itu.
“Dimas, kita
putus saja ya!” katanya di suatu malam.
Kata-kata itu
tentu saja bagai geledeg yang menyambar dekat telingaku. Aku tercengang.
Pandanganku berkunang. Tak percaya, bahwa aku akan kehilangan Dinda. Tak
percaya, bahwa harapan-harapan yang kupupuk selama ini bersamanya tak akan
terwujud. Aku tak akan pernah bisa memandangi anak-anakku yang lahir dari
rahimnya.
Aku tidak
bertanya kenapa Dinda memutuskan cinta kami. Sebab cinta itu masalah hati. Jika
hati sudah tak berkenan, maka tak ada gunanya mempertanyakan alasan!
“Kamu marah?”
“Tidak. Cuma
sedih!”
Dinda tertunduk.
Dan ketika kulirik wajahnya, ada setetes airmata jatuh ke pangkuannya.
“Maafkan saya,
Dimas!”
“Tak ada yang
perlu dimaafkan. Nasibku saja yang buruk!”
Aku menghela
napas berat. Aku penjamkan mataku yang panas karena air mata yang mulai membasahi
kelopak mataku. “Kelak, jika dalam setahun ini kamu menikah, jangan undang
aku!”
“Kenapa?”
“Aku belum bisa
melupakanmu. Lagi pula, aku tak akan kuat memandang kamu duduk di samping
suamimu di pelaminan.”
“Tapi kita masih
berteman bukan?”
Tidak ada mantan
pacar menjadi teman baik. Kalau itu ada, pasti sedang bercokol kebohongan di
sana. Rasa cinta masih akan tetap ada dan sewaktu-waktu akan bangkit. Salah
satu atau keduanya. Saling membohongi diri atau saling menyiksa diri.
Melupakannya
dalam setahun? Bahkan sampai seumur hidupku bayangan dirinya tak pernah
beranjak dari hatiku. Tiap hari, tiap saat ingatanku terus dan terus padanya.
Dialog secara imajiner dengannya. Aku sendiri heran, aku tak mampu membayangkan
perempuan selain dia.
Bahkan sampai
aku menikah beberapa tahun kemudian, dan tiga orang anakku lahir dari rahim
istriku. Meskipun kemudian, sejak pernikahanku aku berjanji untuk
mempertahankan pernikahan itu sampai kapan pun. Karena membina rumah tangga
bagiku adalah amanah. Tugas mulia bagi seorang laki-laki. Karena aku merasa,
Tuhan telah memberikan kepadaku seorang perempuan yang harus kucintai, harus
kusayangi, kujaga perasaan dan hatinya. Dan semua itu akan tetap kujaga sampai
kapan pun. Meskipun, sebagai laki-laki aku juga pernah memperoleh kesempatan
untuk berselingkuh. Tetapi itu tidak kulakukan. Sebab, itu akan melukai hati
dan kepercayaan istriku dan anak-anakku. Meskipun bayangan diri Dinda tak
pernah sekali pun lepas dari hatiku. Ia tak pernah beranjak dari hatiku. Soal
keluargaku sekarang berantakan, itu masalah lain. Dan itu tak ada hubungannya sama sekali dengan
Dinda.
*
“Kenapa tidak
ingin bertemu denganku?” Dinda mengulangi pertanyaannya beberapa waktu yang
lalu.
“Karena….karena jika kita bertemu, aku tidak
tahan untuk tidak memelukmu,” jawabku nakal. “Maaf, …bercanda,” lanjutku ketika
lama kemudian ia tidak menulis balasan, padahal masih on.
“Senang
mendengar kamu bisa bercanda.”
Perasaanku dulu
kepada Dinda membuat sikap-sikapku agak kaku. Perasaan yang serba terlalu
kepadanya membuatku justru tidak mampu bersikap layaknya seorang kekasih.
Terlalu mencintainya, terlalu takut kehilangan dia. Aku bahkan tak berani
menyentuh jari-jemarinya. Aku bahkan tak bisa seenaknya bicara, karena takut
akan melukai perasannya. Baru kusadari kemudian bahwa justru itulah penyebab
kenapa Dinda memutuskan cintaku waktu itu. Dia bosan menghadapiku yang pendiam,
pemalu dan terkesan penakut.
“Sekarang kok
beda ya?”
“Apanya yang
beda?”
“Lebih berani!”
Waktu itu aku
tidak punya target. Karena itu aku tidak punya beban sedikit pun. Aku telah
menyerah, mengikhaskan dirinya menikmati kebahagiaan bersama keluarganya.
Sehingga apa yang kutulis dalam pesan singkat maupun chating lebih bebas dan leluasa.
“Jika tahu
begitu, dulu kan…”
“Yang sudah
berlalu, biarlah berlalu!”
Aku
menyembunyikan rasa kagetku. Aku tidak tahu makna dari tulisannya di atas.
Tetapi diam-diam bangga juga ada kesan
menyesal dalam tulisan itu. Hatiku berbunga, jika tidak boleh dikatakan ge-er.
Meskipun mungkin dia salah tulis. Aku jadi merasa lebih nyaman ngobrol
dengannya, walau cuma lewat pesan pendek. Bahagianya hatiku bisa menikmati
perhatian dan waktunya untukku. Keinginanku masih tetap, aku ingin melihatnya,
tetapi jangan sampai dia melihatku. Aku tetap ingin menjaga perasaan suaminya.
“Beberapa bulan ini kita intensif berhubungan
meskipun hanya melalui sms. Tiap pagi, siang, sore bahkan malam, jika tidak
kamu, aku yang mendahului mengirim pesan,” kata Dinda dalam pesan pendek.
“Iya, saya
senang bisa ngobrol denganmu lagi meski cuma lewat sms,” jawabku.
“Cuma itu?”
Tersekat
leherku. Dadaku berdegup kencang. Apa maksud pertanyaannya itu?
“Mmm…apa boleh
punya perasaan lebih?” tanyaku ragu.
“Katakan saja!
Apa itu?”
Dadaku semakin
kecang berdegup. Berkali-kali aku menarik napas panjang.
“Cintaku
kepadamu tak pernah hilang, Dinda. Selalu kujaga hingga kini. Bolehkah…bolehkah
aku berharap kamu juga memiliki perasan yang sama kepadaku?” jari jemariku
gemetar menulis di tuts ponsel.
Lama sekali
balasan Dinda. Jantungku masih berdebar-debar. Tetapi semua sudah terlanjur.
Dan aku tak pernah menyesal telah menulis itu di pesan pendek untuk Dinda.
“Maaf, …aku tahu
aku tak pantas berharap sejauh itu?”
“Soal pantas dan
tidak, biar saya saja yang menganggapnya,” balasnya kemudian setelah aku putus
asa menunggu balasan darinya. “Maka mari kita jalin kembali cinta kita yang
sudah lama tertidur. Siapa tahu, saya bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan yang
pernah saya perbuat kepadamu dulu.”
Aku nyaris
pingsan begitu membaca tulisan di pesan pendek dari Dinda itu. Berharap ia
masih mengingatku saja aku sudah bersyukur. Kemudian berharap ia masih
mencintaiku saja aku makin bersyukur. Tetapi yang kuperoleh bahkan keinginannya
untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah lalu.
Hari berikutnya
sms Dinda berisi curhatnya kepadaku. Aku mendengarkan dan berusaha membesarkan
hatinya tanpa menjatuhkan suaminya. Kami sepasang kekasih gelap, tetapi aku
tidak mau mencari kesempatan untuk menarik simpati Dinda dengan
menjelek-jelekkan suaminya.
Hanya saja pandanganku
kepada suaminya kini jadi berbalik seratus delapanpuluh satu derajat. Ternyata
laki-laki itu cuma seorang yang beruntung mendapatkan istri Dinda.
Keberuntungan yang tak pernah disyukurinya. Punya kedudukan, punya istri
cantik, setia, patuh pada suami, tetapi dia sia-siakan. Hatiku merasa terluka
menyadari nasib Dinda. Pelahan-lahan mengalir di dadaku rasa tidak suka pada
laki-laki itu, yang kemudian menggumpal menjadi dendam kesumat. Dia telah
menyia-nyiakan kesetiaan Dinda, perempuan yang selama ini kucintai dan
kurindui.
Nasib laki-laki
itu bagai bumi dan langit dengan nasibku. Aku yang tak pernah macam-macam,
tetapi dikhianati istri. Kini beroleh cinta sejatiku kembali, tetapi telah jadi
milik orang lain. Yang ternyata tak mensyukuri apa yang telah didapatnya.
“Dimas, ke rumah
dong. Dinda mudik nih,” ada pesan pedek datang dari Dinda.
Keinginanku pun
berubah seiring dengan keluhan Dinda kepadaku. Sekarang aku ingin bertemu
dengan Dinda! Aku tak peduli lagi dengan laki-laki itu. Aku juga tidak gentar dengannya.
Maka begitu aku terima pesan pendek dari Dinda itu, meluncurlah aku ke
rumahnya. Rumah yang dulu pernah kukunjungi untuk meng”apel’inya.
Sampai di
halaman rumah itu, aku terkesima. Ya Tuhan, bidadarikah makhluk yang ada di
depanku ini? Dinda ternyata tidak berubah sedikit pun dari ketika dia SMA.
Bahkan kini lebih cantik. Lebih cantik dari foto-foto yang diunggahnya di
medsos. Dua anak yang lahir dari rahimnya tak mempengaruhi apa pun pada
penampilannya. Aku tak percaya dengan apa yang tengah kulihat ini.
“Apa kabar?”
sapanya masih tetap tersenyum. Seraya mengulurkan tangan kanannya untuk
berjabat tangan denganku. Kusambut tangan itu. Digenggam dengan kuat. Mengalirlah
kerinduanku di sana.
Kulirik di teras,
ada suaminya di sana. Aku pun kemudian menyalaminya. Bagaimana pun juga, aku
tetap menghargainya. Aku tak ingin merusak rumah tangganya. Kami ngobrol sampai
menjelang sore.
“Apa yang kamu
inginkan dariku?”
“Sebuah ciuman
mesra,” kataku serius.
“Hanya itu?”
“Ya. Hanya itu.
Karena Tuhan tidak mengijinkanku untuk minta lebih darimu,” ungkapku dengan
dada sesak.
Dinda terkesima
mendengar jawabku. Tetapi kemudian tersenyum. Aku tahu, Ia hanya berharap agar
aku mau mendengar keluhan-keluhannya, sambil sesekali bersikap manja kepadaku.
“Terima kasih,” ucapnya
dengan air mata berlinang. “Kamu memang laki-laki sejatiku.”
Tentu saja aku
berbohong. Karena aku ingin dia menjadi istriku. Aku ingin selalu bersamanya
sampai kematian memisahkan kami. Aku ingin…aku ingin, aku ingin lahir kembali,
dan saat itu tak akan kulepaskan Dinda dariku.
Agus Suprihono, penulis novel dan cerita cekak dalam bahasa Jawa, tinggal di Sayegan, Sleman.