Cerpen:
Krishna Miharja
“Kamu harus menjemputku sekarang juga!”
“Hiya, tapi… siapakah anda?” dengan sabar lelaki kurus itu tetap
menempelkan hand phone di telinga sambil mondar-mandir di teras rumah.
Sebagai seorang tukang ojek pasaran, kesabaran adalah awal rejeki. Ada
saja ulah pelanggan yang kadang cukup menyakitkan hati, misalnya dengan
membayar kurang dari yang disepakati semula. Atau kadang ada juga yang ternyata
rutenya jauh dari yang digambarkan semula. Ada yang memaksanya cepat-cepat
segera dijemput seperti saat ini, dan biasanya adalah pelanggan setia yang
nomer teleponnya sudah tercatat.
“Jek, si Tukang Ojek, kamu kira aku akan menipumu?!” suara orang di
telpun itu terdengar sedikit tertawa.
“Maaf, nomer anda terhapus dari
hape saya. Jadi saya lupa. Maaf..!”
“Baik, Jek. Aku adalah saudaramu… bahkan lebih dari sekedar saudaramu.
Segera saja ke stasiun, aku tidak suka menunggu terlalu lama.”
“Saudara saya?!” lelaki di teras itu kaget, karena dia hanya memiliki
satu saudara kandung, perempuan. Saudara satu kakek tak satupun yang berada di
luar kota.
“Jelas… hanya seorang penipu!” pikirnya akan segera mematikan hape di
tangannya.
“Sabar, jangan matikan hapemu. Apa aku perlu menyebut namamu agar kau
tak menganggapku seorang penipu, Amat?!”
Lelaki kurus bernama Amat itu sedikit kaget, karena suara di telpun yang
urung dimatikan itu menyebut namanya dengan benar. Berarti orang itu telah
mengenalnya, meski sekedar nama panggilannya, dan bukan seorang penipu.
“Masih bimbangkah kau, Amat Pekok?!” suara di telpun itu menyebut
panggilannya sewaktu masih kecil, Amat Pekok. Panggilan Pekok hanya dikenal
oleh teman-teman bermainnya sewaktu kecil, atau teman sekolahnya. Pekok adalah
kosakata yang berarti nakal dan dungu, dan itu memang tepat dengan keadaan
dirinya. Justru karena itu, dia mencoba menghapus panggilan Pekok itu. Tapi
kini, suara di telpun itu malah menyebutnya dengan jelas dan benar.
“Baiklah….”
“Apa kau masih menganggapku orang lain?!” suara di telpun itu
menyergahnya.
Amat Pekok mulai berpikir bahwa dirinya sedang dipermainkan oleh seorang
teman dekatnya. Apapun permainan itu, jika nanti bisa bertemu sahabat dekat
tentulah merupakan saat yang membahagiakannya, itulah sebabnya dia ingin
mengikuti permainan itu, walau sekonyol apapun.
“Masih kurangkah aku meyakinkanmu?” kata orang di seberang itu. Baiklah,
istrimu bernama Umi Gembleb, seorang umi yang bertubuh gembleb,
gemuk tembem dan sejenisnya. Maaf, untuk meyakinkanmu, aku harus berbicara
sejujurnya.”
“Kalau saja bukan karena disarankan oleh seseorang yang kau anggap
gurumu, tentu kau akan memilih Ratri.” Suara di seberang itu tertawa tanpa
terdengar melucu, “Ratri yang di atas bibirnya ada tahi lalat, daripada Umi
Gembleb yang suka mengenakan pakaian kedodoran berwarna gelap sehingga bau
keringatnya sangat menyengat. Bukankah begitu?!”
“Heeii…!!” Amat terkesiap mendengar celotehan di telpun itu.
“Ini bukan lelucon lagi, tapi sudah melanggar etika persahabatan.” Pikir
Amat Pekok dan segera mematikan telpun genggamnya.
Amat Pekok sudah tidak ingin dipermainkan lagi. Tapi tiba-tiba muncul
pemikirannya mengenai sahabat yang begitu banyak mengetahui kehidupannya selama
ini, bahkan istrinyapun tak mengetahui siapa itu Ratri, apalagi tahi lalat itu.
“Kau matikan ya?” suara di seberang sesaat telpun genggamnya berdering
dan dibuka lagi oleh Amat Pekok.
“Masih kurangkah aku meyakinkanmu? Baiklah, kau juga memiliki tahilalat
di jari tengahmu. Juga di tempat lain yang hanya Ratri saja yang mengetahui.
Bahkan Umi Gembleb, istrimu itu, sama sekali tidak mengetahui. Seperti yang
pernah kau ceritakan. Yaa.. bukankah Ratri juga memilik tahi lalat di dadanya?
Apakah nanti perlu aku ceritakan ke Umi Gembleb-mu ketika aku tiba di rumahmu?”
“Cukup! Tidak perlu!” Amat Pekok menahan suaranya, dia memutuskan untuk
menjemput orang yang telah mengetahui segala pada dirinya, “Baiklah, akan aku
jemput. Tapi, siapakah namamu?”
“Kalau saja seorang wanita, bisa jadi Ratrilah yang mempermainkanku saat
ini. Ratri… ya Ratri, aku ingat semua tentangmu. Maaf Ratri, aku harus menjadi
suami dari istriku saat ini, Umi Gembleb.” Pikir Amat Pekok, sambil tetap
menempelkan hape di telinganya. “Apa mungkin lelaki ini adalah suami Ratri?
Bisa jadi, dan siapapun dia.. ini adalah permainan yang menyakitkan dan aku
harus mengikutinya.”
“Namaku Gusti. Ingatkah? Yaa.. nanti aku akan menginap di rumahmu. Tak
usah bingung, aku bisa istirahat di teras rumahmu, atau bahkan di halaman
rumahmu yang sempit itu. Dan aku tidak akan menceritakan yang aku bilang tadi
kepada istrimu si Gembleb itu.”
“Gusti?! Banyak teman yang bernama Gusti.” Amat Pekok sudah berniat lagi
untuk mengikuti permainan ini, “Gusti, si Agustinus. Gusti, si I Gusti teman
dari Bali. Gusti, si santri Gus Mukti yang aku panggil Gusti. Gusti, si Agus
Tielur, teman yang suka ngamen di panggung titer… “
“Baiklah..” Amat Pekok langsung mematikan telpun genggamnya, dan dia
sudah siap untuk dipermainkan.
Sebagai ojek pasar, langganan Amat Pekok memang tak jauh dari kehidupan
pasar. Hanya beberapa saja yang tidak suntuk beraktivitas di pasar, dan
beberapa di antaranya ada yang menyimpan nomer telpun Amat Pekok, juga
sebaliknya. Dari beberapa pelanggan ini tak satupun yang bernama Gusti.
Permainan ini dirasanya cukup menyulitkan, karena Amat Pekok belum
pernah masuk ke dalam area stasiun. Dia hanya mengetahui gambaran stasiun
berdasarkan obrolan beberapa temannya.
Gambaran itupun musnah ketika tiba di pelataran stasiun yang ternyata
dipenuhi pedagang yang berteriak-teriak menawarkan dagangannya, tak lebih
sebuah pasar. Bahkan pedagang di tempat ini lebih tidak sopan dibanding
pedagang di pasar, mereka menjelekkan dagangan orang lain agar dagangannya
nampak lebih unggul dari milik pedagang lain.
Amat Pekok terbengong sesaat, kemudian bergegas menuju sebuah bentuk
yang diyakininya adalah sebuah pintu. Keyakinannya yang memang tak pernah
berlandaskan pemikiran. Hingga kalaupun itu memang sebuah pintu, Amat Pekok tak
perlu berpikir bahwa itu adalah pintu keluar ataukah pintu masuk, atau mungkin
pintu kamar kecil,
“Hai…” Amat Pekok menyapa penjaga pintu yang berdiri kaku.
Penjaga itu diam tak menanggapi, dan itu sudah diduga oleh Amat Pekok.
Sebagai seorang tukang ojek, Amat Pekok merasa dirinya adalah seorang Petualang
Sejati. Dia setiap saat bertemu dengan wajah-wajah baru, juga menelusuri rute
perjalanan baru yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.
Ketika penjaga pintu tetap diam pada sapaan berikutnya, Amat Pekok pun
tak menghiraukannya lagi. Dia pun segera menyelinap tanpa permisi lagi, dan dia
terbengong untuk kedua kalinya saat menemukan suasana dalam stasiun yang sangat
sepi. Bahkan tak satupun petugas, seperti yang dibayangkannya, ada di tempat
ini. Bangku yang kosong terdiam kaku berjajar tak berpenghuni.
Amat Pekok mulai berpikir bahwa saat ini sudah tiba yang disebutnya
Jaman Tertutup, sehingga semua petugas stasiun berada di dalam ruangan dengan
pintu yang tertutup, semua pedagang juga berada dalam lapaknya yang tertutup.
Semuanya tertutup, hanya yang merasa berkepentingan saja yang bisa melihatnya.
Semuanya tertutup seperti juga dalam kehidupan rumah tangga Amat Pekok
dengan istrinya, Umi Gembleb. Selain dirinya tak ada orang lain yang bisa
melihat selain mata Umi Gembleb.
“Mungkin, di balik salah satu pintu yang tertutup itu Gusti sudah
menunggu sambil minum kopi. Tentu saja juga sudah menyiapkan segelas untukku.”
Pikir Amat Pekok “Bisa jadi dia juga mengetahui kehidupanku yang morat-marit,
lalu menghadiahiku barang, sukur jika memberikan cukup banyak uang. Lalu
tertawa terbahak-bahak, dan kemudian saling mengolok. Yaaa… tapi jika orang di
telpun itu memang temanku, dan semua ini bukan sebuah permainan. Tapi bisa saja
orang itu sedang mempermainkanku, dan sekarang dia sedang mengintipku. Dan
betapa teganya dia mempermainkan orang semacamku.”
“Gustiiiii….” Amat Pekok berteriak memanggil, karena tidak ingin
memperpanjang permainan ini.
Suaranya menggema, membentur sepi tiang-tiang peron, menggetarkan atap
dan menghilang di atas rel-rel kaku yang angkuh.
“Gustiiii… aku sudah datang!” teriaknya lagi.
Tiba-tiba atap bangunan bergetar tak juga berhenti meski gaung suara
Amat Pekok telah usai.
“Gempa?!” pikir Amat Pekok sambil menatap atap.
Ketika tanah mulai ikut bergetar, Amat Pekok bersiap untuk berlari
menyelamatkan diri.
“Ouh…” Amat Pekok merasa lega saat terdengar suara menderu dan
dilihatnya jauh di ujung rel muncul kereta yang mulai melaju pelan.
“Ouh, ternyata keretanya baru datang. Yaa, salah satu penumpang mesti
bernama Gusti. Lalu, bagaimana aku mengenal Gusti? Apa aku harus memanggil
setiap penumpang yang turun? Aneh… dan tentu saja aku tidak ingin disangka
orang gila! Oh iya, tentu saja dia sudah mengenalku… maka aku akan menempatkan
diri sehingga semua penumpang akan melihatku. Lalu, Gusti yang mengenalku tentu
akan menghampiri sambil tertawa-tawa…”
Ketika kereta sudah berhenti dan semua pintu terbuka, Amat Pekok sudah
berdiri di tempat yang sekiranya semua penumpang itu akan melihatnya.
“Gusti?!” Amat Pekok menyapa penumpang pertama yang lewat jalur keluar
di depannya. Orang itu tak menjawab.
“Gusti… hai… Gusti!” Amat Pekok mengejar orang pertama itu dikarenakan
dengan pasti Amat Pekok membaca tulisan GUSTI di baju bagian dada kanan orang
itu. Tapi orang itu tetap berlalu tanpa menghiraukan Amat Pekok.
“Kurang ajar, aku telah dipermainkannya!” Amat Pekok hampir tersulut
amarahnya kalau saja tidak melihat penumpang berikutnya juga mengenakan baju
dengan tanda nama sama; GUSTI.
“Gilaa..!” Amat Pekok hampir berteriak saat dilihatnya semua penumpang
yang turun dari kereta mengenakan tulisan yang sama pada dada kanan baju, dan
baju-baju itu ternyata sama juga model dan warnanya, “Aku telah dipermainkan…
dan aku memang telah sengaja masuk dalam permainan ini. Ya, akulah yang salah!”
Amat Pekok terduduk lemas di
jalur keluar itu hingga semua penumpang tak tersisa lagi. Tapi dia bangkit dan
berniat tetap akan melanjutkan permainan ini.
“Ya, mungkin GUSTI bukan nama seseorang melainkan nama sebuah pabrik!
Gumamnya dan terkejut lagi ketika dilihatnya di dinding luar gerbong kereta
yang kini kosong juga terdapat tulisan: GUSTI.
Satu per satu gerbong kereta itu dijenguknya, semua kosong. Hingga di
lokomotif terdepan pun tak lagi terlihat masinisnya. Lelaki dengan tubuh
lungkrah itu menjatuhkan diri di kursi masinis yang ruangannya terbuka.
“Kenapa aku harus yakin hanya karena seseorang yang kuanggap lebih dari
sekedar mengenal diriku? Kenapa aku tidak berpikir lebih panjang lagi? Ya,
keyakinan tak lebih hanya sebuah kebodohan jika tak pernah menggunakan akal.”
Pikir Amat Pekok bersandar di kursi masinis.
“Aku adalah korban kebodohanku sendiri!” sambil bergumam Amat Pekok
beranjak turun keluar dari ruang masinis
“Gusti… Gustiii… Gussstiiii….”
Amat Pekok kaget saat mendengar teriakan yang ternyata berasal dari
kerumunan orang-orang di jalur keluar stasiun. Orang-orang itu juga mengelu-elu
kedatangan Gusti, dan mereka mungkin belum mengerti bahwa mereka terperangkap
dalam permainan seperti diri Amat Pekok.
“Ternyata bukan hanya aku yang termakan permainan ini.” Gumam Amat Pekok
sedikit tersenyum, karena merasa bahwa dirinya bukan korban satu-satunya dalam
permainan ini.
Senyum Amat Pekok mendadak hilang saat melihat orang-orang yang
berteriak itu berlari mendekati dirinya. Mata orang-orang itu memancarkan
tatapan aneh yang membikin Amat Pekok ketakutan. Tatap penuh harap, kelegaan,
kepasrahan dan tatap-tatap lain yang tidak dimengertinya.
“Gusti.. Gusti.. Gusti.. “
Amat Pekok tak sempat lagi menghindar ketika semua orang itu merangkulnya, menubruknya sambil terus
berteriak-teriak, hingga Amat Pekok jatuh terkapar.
“Aku bukan Gusstiii… “ teriak Amat Pekok, dan semuanya tak berarti
lagi.
Teriakan orang-orang itu lebih menggema. Penuh keyakinan!
Krishna Mihardja, belajar menulis sejak menjadi mahasiswa matematika di IKIP Yogyakarta (UNY) hingga sekarang sudah pensiun. Apa saja ditulisnya dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. Cukup banyak buku karyanya yang memenangkan lomba dan mendapatkan penghargaan. Karena banyak buku fiksinya menjadi koleksi sekolah-sekolah se Indonesia, maka dia mendapatkan Penghargaan Pendidikan Bidang Sastra dari Mendiknas (2003). Buku antologi cerita pendek Bibir mendapat Penghargaan Sastra Pendidik dari Badan Bahasa Kemendikbud (2011). Buku antologi cerita pendek berbahasa Jawa Pratisara mendapatkan Penghargaan Sastra RANCAGE (2013). Buku terakhirnya berupa novel berbahasa Jawa, Omah (Interlude, Yogyakarta, 2021), adalah buku karyanya yang paling berbobot dalam ukuran gram.