Cerpen Kurnia Effendi
Aku dan
Halimun sudah berlari sangat jauh. Hanya karena takut yang kelewat batas
membuat kakiku demikian kuat. Tak kupikirkan lagi pelbagai rintangan yang
membikin sejumlah luka pada tubuhku. Aku bahkan merasakan pakaianku sudah
mendekati compang-camping karena tersangkut duri, ranting, beberapa kali pula
tergores bebatuan tajam yang menjorok di dinding tebing.
“Aku tidak
kuat lagi,” kataku dengan napas nyaris putus.
Halimun
yang berada sekian langkah di depanku menoleh dan berhenti. Ia sama sekali tak
terlihat ngos-ngosan. Hanya ada titik-titik keringat di kening, leher, dan
sebagian punggung, rembes ke pakaiannya.
“Jadi, apa
pilihanmu?” Halimun mendekatiku. “Mereka mencari nama Marmudi! Kamu
satu-satunya pemilik darah ungu yang akan disembelih sebagai obat sang raja
lalim yang sedang sakit.”
“Kita
sudah delapan jam berlari tanpa henti. Bala tentara mereka takkan melanjutkan
pengejaran.” Aku bukan hanya duduk, melainkan terkapar oleh letih yang luar
biasa. Sebetulnya malu karena Halimun lebih tua dariku.
“Baik,
kuberi waktu sebentar untuk mendapatkan kekuatan kembali.” Halimun mengambil
ancang-ancang lalu tubuhnya melompat ke pucuk pohon kelapa dan turun kembali
dengan dua butir kelapa muda. Ia hanya perlu mengayunkan sisi tangan kanannya
yang membuat buah bersabut tebal itu retak. “Minumlah.”
Aku
memperoleh kesegaran. Sungguh ajaib, rasanya kudapatkan energi baru.
“Engkau
begitu baik. Padahal—”
“Aku hanya
mendapatkan amanah dari mendiang nenekmu untuk menjaga agar rahasiamu tersimpan
rapi. Aku hanya sebuah perumpamaan … eh, maksudku perwujudan dari napas nenekmu
yang melayang di udara saat mendongeng.”
“Kau
selalu ada di saat-saat aku menghadapi bahaya.” Aku menyampaikan terima kasih.
“Kini aku tidak punya sesiapa setelah ibuku meninggal. Si yatim ini pun piatu.”
“Ayo,
jangan buang waktu. Tak sampai sore kita akan tiba di tepi sebuah telaga.
Ingat, kaum kalian dilahirkan di Pulau Timbul Tenggelam, memiliki dua alat
pernapasan.” Halimun memandangku, mencari kepastian. “Masih ingat cara
menggunakan insang?”
Aku
mengangguk. Setelah lebih sepuluh tahun, memang perlu penyesuaian kembali. Kami
gunakan penuh paru-paru sejak menghindari perompak sekaligus penyihir dari
Negeri Seribu Satu Malam yang bukan berterima kasih saat kapal mereka kandas.
Kami sebagai penduduk penolong justru dijajah dan diusir dari tanah
air—betul-betul tanah dan air. Mereka tidak menyangka mendapatkan musibah saat
tengah malam pulau kami tenggelam ke dasar laut tanpa tanda-tanda. Hanya
penduduk asli yang mengetahui waktu gilirannya setiap beberapa kali bulan
purnama.
“Nah, kau
harus menyelam dalam-dalam agar menemukan lorong arus menuju samudra. Di sana
takdir menunggumu,” ujar Halimun mantap.
“Apakah
suatu saat kita akan berjumpa lagi?” Mendadak aku merasa sedih. Meski Halimun
tidak selalu bersama denganku, tetapi ia senantuasa siaga. Kuingat beberapa
tahun lalu, ia muncul seperti menggantikan Nenek yang meninggal karena
kehabisan dongeng.
“Aku tidak
tahu, kecuali kau masih mengingatku setelah mendapatkan kebahagiaan.”
“Mana
mungkin aku lupa? Tetapi mana mungkin aku berbahagia dengan keadaanku yang aneh
ini?”
“Di palung
Samudra Atlantis, seperti yang diceritakan nenekmu—”
“Ada
seorang putri yang menderita. Setiap tabib yang berusaha menolong dan menyembuhkannya
justru menemui algojo untuk dipancung.”
“Ah,
rupanya kau mendengar juga kabar itu.” Halimun yang kadang tampan kadang cantik
itu tersenyum.
“Mengherankan
kalau para tabib keturunan pari, hiu, lumba-lumba, bahkan paus, tidak sanggup
mengobati.”
Halimun
hanya mengangkat bahu. “Waktu habis!”
Itu
artinya aku harus berlari mengikuti sepasang kakinya yang bergerak bagai angin.
Benar, di
balik gelap hutan yang kami tempuh dalam dua jam berikutnya, terbentang danau
dengan warna air keunguan.
“Ayo terjun!
Air telaga itu sudah menyerupai darahmu. Ia memanggilmu sejak lama.”
Aku
ragu-ragu. Tak kusangka tangan Halimun yang kekar itu mendorongku, tidak dapat
kutangkis.
Byur! Bahkan aku tidak sempat berpamitan. Halimun seperti ikut
melompat, namun kemudian tubuhnya meluas serupa kabut.
***
“Marmudi …
itu seperti nama dewa kami yang sudah tak digunakan lagi karena terlalu kuno,”
ujar Sang Raja Duyung yang duduk di singgasana Palung Atlantis. Meski berusaha
sangar dan berwibawa, tampak keletihan akibat kesedihan membayang pada
wajahnya. Seluruh rambut di bawah mahkotanya berwarna perak.
Aku ndeprok karena tetap ingin menghadap ke
balairung meskipun dihalangi para hulubalang.
“Tahu
tidak? Semuda dan sesempurna dirimu, hanya akan menyerahkan nyawa? Putri raja
kami itu bagai kena teluh, tidak mungkin sembuh!” Itu ucapan penjaga yang
kuingat di gerbang istana.
Temannya
berbisik kepadaku, “Raja memang merasa kualat telah mengabaikan Dewa Marmida
sejak putrinya tumbuh menjadi remaja.”
Nama itu
yang membuatku semakin yakin bahwa Nenek mengutusku ke Kerajaan Duyung itu.
“Biarkan
dia masuk,” kata Sang Raja itu pasrah. “Kalian tetap di luar pintu, menjaga,
jangan sampai dia lari setelah bertemu putriku.”
Aku
berterima kasih kepada arwah Nenek atas izin yang diberikan sang Raja. Aku
diiring ketat dua pengawal perkasa. Ekor mataku melihat sang Raja duduk lungkrah bertambah duka, menyembunyikan
air mata.
Ah, dia
pasti raja yang memiliki welas asih. Entah mengapa sampai ia ceroboh terhadap
dewanya. Dengan insang yang berkembang-kempis di dadaku, aku berusaha tenang
menghadapi setiap kenyataan yang menyongsong.
Harum
ganggang menyerbu hidung saat pintu kamar sang Putri Duyung kudorong hingga
badanku bisa masuk. Aku terpesona pada keindahan isi kamarnya. Namun, semua itu
tampaknya tak berarti baginya.
Mula-mula
aku tidak berani menatap langsung sekujur badan di ranjang yang berseprai warna
emas indah. Namun, akhirnya pandanganku menuju wajahnya. Amboi, cantiknya,
dengan rambut pirang bertandan-tandan. Ia masih menutup mata dan aku tahu di
balik pelupuknya ada genangan yang ditahan berkali-kali. Perlahan ia membuka
mata. Begitu aku tampak olehnya, matanya menunjukkan rasa terkejut. Sepasang
kaki yang terbalut ekor cantik bersisik emas itu langsung melipat seperti ketakutan.
“Aku
Marmudi, datang untuk menolongmu.”
“Kamu …
lancang!” Ia hanya berucap seperti itu lalu menangis. Aku tertegun, tidak
berani mendekat. “Apakah kamu tidak ingin hidup panjang? Sungguh kamu pemuda
tampan, aku menyayangkan bila harus mati.”
“Sebentar,
Sang Putri,” ujarku berusaha menenangkan. “Dengar kata-kataku. Aku rela mati
setelah memandangmu hari ini. Tak kusangka kau cantik sekali. Bahkan di luar
yang dapat kubayangkan melalui cerita nenekku. Aku sama sekali tidak menyesal.”
“Nenek?”
Sang Putri kemudian duduk. Bersandar bantal beludru.
“Sebelum
para hulubalang di luar curiga, katakanlah apa penyakitmu?” tanyaku tanpa
menjawab keheranannya
“Mungkin
aku lebih baik ikut mati bersamamu,” ujar sang Putri. Tanpa dapat kupercaya,
dia membuka sepasang pahanya sehingga tersibak sisik-sisik emas nan halus.
“Cukup!”
seruku. Bukan hardikan, lebih merupakan kebahagiaan yang tak terutarakan. Aku
melihat sesuatu yang menjadi rahasiaku.
“Marmudi,”
bisiknya dan ia meluncur dari ranjang menubrukku. “Bisa kau bayangkan aku malu lahir batin
karena memiliki dua. Ya, si kembar.”
Dengan
perasaan penuh perlindungan, aku mendekapnya. Kucari telinganya yang indah
lebar. “Milikku juga kembar.”
Aku
teringat Halimun. Aku takkan melupakannya!
“Apa yang
harus kukatakan kepada Ayahanda?”
“Sampaikan
kepada seluruh Negeri Palung Atlantis bahwa Putri Duyung telah menemukan
seorang pangeran yang mampu mengobati penyakitnya.”
Kupandang
wajah Sang Putri. Sebelum air mata duyung bahagia mengaliri pipi tirusnya, aku
mencium bibirnya. Bibir yang sudah terlalu lama menggetarkan doa dan keluh
kesedihan. Kini lumat dalam pagutanku. []
Kurnia Effendi dilahirkan di Tegal, 20 Oktober 1960. Menulis pertama kali untuk media massa pada 1978. Telah menerbitkan 25 buku aneka genre (puisi, cerpen, novel, esai, dan memoar). Diundang ke berbagai perhelatan sastra baik regional, nasional, maupun internasional. Kumcer Kincir Api masuk shortlist Kusala Sastra Khatulistiwa (2006), kumcer Anak Arloji meraih hadiah sastra Badan Bahasa (2013), kumpulan puisi Mencari Raden Saleh mendapat Anugerah Pustaka Terbaik 3 dari Perpustakaan Nasional (2019). Tinggal dan bergiat di Jakarta. Dapat dihubungi melalui email kurnia_ef@yahoo.com dan WA 0811859603.