Skip to main content

Posts

Showing posts from May, 2023

Padasan Puisi Penyair Lansia

  Judul Buku: Jalan Puisi, Antologi Puisi Penyair Yogya Kelahiran 1950-an Penulis: Ons Untoro et.al Editor: Indro Suprobo, Ons Untoro Sketsa Foto dan Gambar Cover: Vincensius Dwimawan Isi:  14 X 20 cm, xxii + 262 hlm  Cetakan Pertama: Juni 2023 Penerbit: Tonggak Pustaka Para penyair kelahiran tahun 1950-an yang masih tinggal di Yogya ini sudah lama menulis puisi. Sejak awal tahun 1970-an, sudah menulis, dan sampai sekarang di era milenial, mereka masih menulis puisi. Tahun 1970-an, sampai 1980-an dinamika sastra di Yogya sangat menggairahkan di mana para penyair ini berada di dalamnya. Bahkan para penyair saling melakukan kompetisi, namun tidak melepaskan persahabatan. Antar penyair saling bertemu dan berdiskusi serta membacakan puisi, tidak hanya di panggung-panggung, melainkan juga masuk ke kampus, kampung dan menyusuri pedesaan. Sesungguhnya, ada banyak penyair kelahiran tahun 1950an yang berproses di Yogyakarta. Namun mereka meninggalkan Yogyakarta untuk menuju kota lain seperti Ja

Mendengarkan Cerita Tentang Kawan Sambil Minum Teh Jahe

Sabtu sore 20 Mei 2023 lalu, cuaca di Yogyakarta sangat cerah . Pada pukul 15.00 WIB di Museum Sandi di Jl. Faridan M Noto No.21, Kotabaru, Kec. Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55224, langit sangat bersih, matahari bersinar cerah, sehingga Sastra Bulan Purnama edisi 140, yang digelar di ruang terbuka , dilimpahi cahaya matahari sore. Sore itu, para penulis cerpen, yang terkumpul dalam buku antologi berjudul ‘Cerita tentang Kawan’  membacakan penggalan karyanya. Ninuk Retno Raras, yang menulis cerpen berjudul ‘Ziarah’ , mengenakan kebaya warna hijau, mengawali acara inti Sastra Bulan Purnama dengan membacakan karyanya secara santai, disinari oleh cahaya matahari sore , sehingga tak membutuhkan penerangan lampu. Dua pembaca lain menyusul. Meuz Prast, seorang perupa membacakan karyannya berjudul ‘Mimpi Djene di Serapeum’ , dan Margareha Widhy Pratiwi membacakan cerpen berjudul ‘Landung dan Kawan-Kawan di Gunung Kelir’ . Yuliani Kumudaswari, mengenakan

Cerita Tentang Kawan di Museum Sandi

  Tim SBP dan Pengurus Museum Sandi berfoto bersama paska rapat persiapan, Selasa 16 Mei 2023 Kumpulan cerpen yang berjudul ‘Cerita tentang Kawan’, diterbitkan Tonggak Pustaka, karya dari cerpenis yang tinggal di beberapa kota, akan diluncurkan di Sastra Bulan Purnama edisi 140,  Sabtu, 20 Mei 2023, pkl. 15.00 di Museum Sandi Jl. Faridan M Noto No.21, Kotabaru, Kec. Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55224. Atau di utara Raminten dan Balai Bahasa Yogyakarta, atau sebelah barat SMA Stella Duce 1, Kotabaru, atau juga sebelah selatan ban-ban Gondolayu .   Setyo Budi Prabowo, Kepala Museum Sandi menyebutkan, bahwa museum sandi terbuka terhadap kegiatan sastra, karena sesungguhnya, demikian kata Setyo, museum Sandi bisa dimasukan di area pengembangan literasi.   “Sastra dan koleksi museum saling bisa mengisi dan menginpirasi” kata Setyo Budi Prabowo. Para penulis cerpen ini datang dari kota yang berbeda, Anto Narasoma (Palembang), Dewi Anggraeni (Australia), Kur

Buah Hati Tersembunyi

  Cerpen Dyah Ariani SW   Ayu, perempuan pongah berhati batu. Statusnya sebagai perempuan simpanan akibat perzinaan, hingga melahirkan anak haram hasil hubungan tidak halal yang disimpannya sangat rapat sejak puluhan tahun silam. Anak tersebut, Bunga namanya, beranjak remaja. Ayu telah bersuami saat bergulat sebagai istri gelap dalam perselingkuhannya dengan Bagus, lelaki beristri. Dari lelaki satu pindah ke lelaki lain, Ayu terhempas dalam hubungan yang tidak sehat, kisah asmara yang tiada juntrungnya. Kegemarannya mengganggu kerukunan rumah tangga orang, dan senantiasa bersembunyi dengan alasan jatuh cinta itu bisa kapan saja dan di mana saja. Ayu tergoda, “rumput tetangga dipandangnya lebih hijau dari rumput di rumah sendiri”. Dia memang tidak mau setia, bukan tidak bisa setia. Namun sesuatu yang busuk, bagaimanapun pintar menyimpan, akan ketahuan juga baunya. Cerita menyangkut pengembaraan cintanya dan lahirnya anak di luar perkawinan sah, beringsut lambat laun menyeruak, d

Mimpi Djene di Serapeum

  Cerpen Meuz Prast Bintang-bintang bernyanyi seraya memamerkan cahaya warna-warni yang baru saja mereka perbarui. Malam yang cerah dan lebih indah dari siang yang penuh kemunafikan, Djene bermimpi di tengah lelap tidurnya, tiba-tiba ia berada di suatu tempat asing yang bernama Serapeum. Di sebuah kuil yang didevosikan kepada dewa Serapis. Lalu turun cahaya yang lebih terang di antara bintang-bintang itu, mahkluk bersayap enam yang di sebelah dalam sayapnya penuh dengan mata dan berkata;  “Naiklah kemari, aku akan menunjukkan padamu apa yang terjadi setelah ini”.  Kemudian Djene naik di atas situs sisa-sisa kuil Serapis dan melihat banyak kapal-kapal yang mengangkut peti kemas kontainer berdesak-desakan dari Serapeum hingga terusan Suez. Kapal-kapal itu tak bisa meneruskan perjalanannya karena ada kapal besar yang oleng hampir kandas dan menutupi lebih dari sebagian akses. Dalam satu helaan nafas yang terengah-engah sekejap peti-peti kemas berubah menjadi bus-bus yang berserakan

Posisi Penyair di Tengah Masyarakat

Oleh Fauzi Absal, Penyair Pertanyaan tentang posisi penyair di tengah masyarakat rupanya menarik krusialitas atau cukup krusial atau cukup memenuhi syarat bila kita sempatkan memperhatikan gejolak antusiasme masyarakat (walau hanya dalam lingkup komunitas) dalam mengekspresikan puisi mereka. Bila kita cermati, sejak bermigrasinya penulisan puisi (dan juga sastra) koran ke wilayah digital, sampai ke detik ini, sangat meriah karya puisi dituliskan. Penerbitan antologi puisi tunggal maupun bersama juga tak kalah semaraknya. Terlepas dari kembalinya biaya produksi atau tidak, mungkin kurang begitu jadi bahan perhitungan. Menulis adalah menulis.Apalagi bisa disiasati dengan sistem penerbitan indie. Menulis must go on. Begitu sang slogan membisikkan bara api semangat. Semangat juang "Aku Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi" serasa hidup kembali. Dunia perpuisian menjadi semarak kembali dan bahkan lebih berwarna warni di tangan kawula milenial. Tidak pula diambil peduli ada yang menar