Skip to main content

Mendengarkan Cerita Tentang Kawan Sambil Minum Teh Jahe



Sabtu sore 20 Mei 2023 lalu, cuaca di Yogyakarta sangat cerah. Pada pukul 15.00 WIB di Museum Sandi di Jl. Faridan M Noto No.21, Kotabaru, Kec. Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55224, langit sangat bersih, matahari bersinar cerah, sehingga Sastra Bulan Purnama edisi 140, yang digelar di ruang terbuka, dilimpahi cahaya matahari sore.

Sore itu, para penulis cerpen, yang terkumpul dalam buku antologi berjudul ‘Cerita tentang Kawan’ membacakan penggalan karyanya. Ninuk Retno Raras, yang menulis cerpen berjudul ‘Ziarah’, mengenakan kebaya warna hijau, mengawali acara inti Sastra Bulan Purnama dengan membacakan karyanya secara santai, disinari oleh cahaya matahari sore, sehingga tak membutuhkan penerangan lampu.


Dua pembaca lain menyusul. Meuz Prast, seorang perupa membacakan karyannya berjudul ‘Mimpi Djene di Serapeum’, dan Margareha Widhy Pratiwi membacakan cerpen berjudul ‘Landung dan Kawan-Kawan di Gunung Kelir’. Yuliani Kumudaswari, mengenakan kemeja berwarna biru, sambil duduk di kursi warna biru, membacakan cerpen karyanya berjudul ‘Kursi di Sudut Kamar’.

Hadirin menikmati semua pembacaan itu sambil duduk santai. Ada yang duduk di kursi, ada yang berdiri, ada juga yang duduk di batu semen penyangga tiang bendera. Beberapa orang berdiri sambil menikmati teh jahe, mendengarkan kisah-kisah cerpen dilantukan. Pendeknya, sambil minun teh jahe, semuanya mendengarkan cerita tentang kawan.

Matahari mulai meredup. Sore merayap ke depan, dan lampu-lampu museum serta lampu taman, menggantikan sinar matahari. Hadirin masih tampak santai, lagi-lagi sambil menikmati teh jahe, dan ada juga yang menghisap rokok. Karena di ruang terbuka, udara cerah bisa sekaligus membawa asap rokok pergi menjauh dari area pertunjukan.

Sore menuju petang, Eko Winardi, seorang aktor teater, mengenakan kemeja warna kuning, membacakan cerpen berjudul ‘Senyuman Butet’ secara utuh. Eko membaca dengan mengembangkan imajinasi yang dibumbui improvisasi, sehingga nama tokoh-tokoh dalam cerpen diganti dengan nama-nama orang yang hadir mendengarkan pembacaan cerpen. Suasana menjadi komunikatif dan hidup.

Melalui improvisasi, agaknya Eko Winardi ingin agar pembacaannya semakin dekat dengah kisahnya, karena menyentuh nama-nama yang hadir dalam acara itu. Karena Eko tahu, nama tokoh yang ada di dalam cerpen, dan nama-nama yang dikenal seperti Butet, Whany, Susilo, Eswe tidak hadir dalam pembacaan itu, maka oleh Eko diganti nama-nama lain yang hadir. 

Pembaca terakhir, seorang penulis novel sastra Jawa, yang produktif, selain pemain ketoprak, juga lama menjadi penyiar radio. Bayu Saptama namanya, tetapi ketika menulis sering menggunakan nama Bey Saptama. Rambutnya panjang tergerai sampai pundak. Mengenakan kemeja warna pink, ia menunjukkan penampilannya sebagai seorang seniman. Ia tidak membacakan karyanya sendiri yang ada di dalam buku Cerita Tentang Kawan, melainkan membaca karya Agus Suprihono, yang berjudul ‘Dinda, Kekasih Masa Laluku’.

Bayu mengambil lokasi membaca di depan pintu masuk museum Sandi. Diterangi oleh lampu dari dalam museum dan lampu yang ada di teras, penampilan Bayu terasa sekali dilingkupi oleh suasana petang. Cahaya lampu dari dalam menambah keindahan, dan rambut panjang Bayu semakin terlihat berwarna.

“Saya akan membacakan cerpen karya teman saya Agus, yang seringkali gagal jatuh cinta, dan cerpen ini, saya kira adalah pengalamannya sendiri”, ujar Bayu mengawali sebelum membaca cerpen.

 Karena Bayu seorang pemain ketoprak, dan sudah seringkali pentas di banyak tempat, cerpen Agus yang dibacakannya menjadi terasa lebih hidup. Bayu membaca karya cerpen itu dengan penuh ekspresi. Intonasi suaranya mengikuti suara tokoh dalam cerpen, sehingga penampilannya menarik. Penulis cerpen yang dibacakan, Agus Suprihono, duduk di belakang menikmati Bayu membaca cerpennya.

Tentu saja aku berbohong. Karena aku ingin dia menjadi istriku. Aku ingin selalu bersamanya sampai kematian memisahkan kami. Aku ingin…aku ingin, aku ingin lahir kembali, dan saat itu tak akan kulepaskan Dinda dariku,” ucap Bayu Saptama menutup cerpen Agus Suprihono.(*)