Cerpen Meuz Prast
Bintang-bintang bernyanyi seraya
memamerkan cahaya warna-warni yang baru saja mereka perbarui. Malam yang cerah
dan lebih indah dari siang yang penuh kemunafikan, Djene bermimpi di
tengah lelap tidurnya, tiba-tiba ia berada di suatu tempat asing yang
bernama Serapeum. Di sebuah kuil yang didevosikan kepada dewa Serapis. Lalu
turun cahaya yang lebih terang di antara bintang-bintang itu, mahkluk bersayap
enam yang di sebelah dalam sayapnya penuh dengan mata dan berkata;
“Naiklah kemari, aku akan menunjukkan
padamu apa yang terjadi setelah ini”.
Kemudian Djene naik di atas situs
sisa-sisa kuil Serapis dan melihat banyak kapal-kapal yang mengangkut peti
kemas kontainer berdesak-desakan dari Serapeum hingga terusan Suez. Kapal-kapal
itu tak bisa meneruskan perjalanannya karena ada kapal besar yang oleng hampir
kandas dan menutupi lebih dari sebagian akses. Dalam satu helaan nafas yang
terengah-engah sekejap peti-peti kemas berubah menjadi bus-bus yang berserakan
di atas batu-batu. Lalu dilihatnya banyak cahaya merah di langit, dan
berjatuhan di seluruh penjuru bumi sebanyak tiga kali berturut-turut. Dan
mahkluk itu berkata sekali lagi kepada Djene:
“Jagalah keluargamu, kau tak perlu
mengejar harta benda untuk jadi kaya,
tapi bermanfaatlah bagi orang lain. Pulanglah lanjutkan kebahagiaanmu!”
Djene membuka matanya dan ia tersungkur
di samping ranjang tempat tidurnya, melihat jam dinding yang suaranya membelah
kelembutan subuh, menunjukkan sekitar pukul empat pagi. Ia beranjak dan mencuci
mukanya lalu berdoa dan mencoba mengingat mimpinya tadi.
Semasa remaja Djene adalah pribadi yang
kuat dan mandiri, setidaknya itu cara orang tuanya mendidik agar kelak akan
memperkuat pribadinya. Usai membantu ayahnya menyiapkan makanan untuk puluhan
ekor ayam peliharaan ayahnya, Gadis manis bertubuh mungil itu berangkat sekolah
dengan sepeda sambil membawa makanan yang sudah disiapkan ibunya untuk
dititipkan di kantin sekolah. Sekitar tahun sembilan puluhan, ayahnya Djene
adalah seorang yang cukup kaya. Mempunyai rumah besar layaknya seorang Penewu
(Camat) pada masanya dan memiliki garasi luas di samping rumahnya. Ayahnya yang
masih keturunan trah dalem keraton itu mempunyai usaha dalam bidang
transportasi, ya…juragan angkutan, memiliki dua puluh armada bus kota dan
puluhan becak. Setelah
memasuki tahun dua ribu, usaha ayah Djene bangkrut dan tak lama setelah itu
ayahnya meninggal.
Seperti burung yang melewati awan
mendung disertai angin yang mengkoyak-koyak sayapnya, Djene sangat terpukul dan
hampir jatuh putus asa mengalami masa sulit selepas kepergian ayahnya itu. Ia
laksana bahtera tanpa layar yang hilang kendali dan sulit menentukan arah
tujuan. Di tengah masa sulit, gadis supel yang ramah terhadap siapa pun itu
tetap melanjutkan studinya dengan kuliah di salah satu universitas negeri di
kotanya. Kuliah sambil kerja jadi sales, lalu sempat masuk ke perusahaan dan
jadi marketing yang handal. Wajahnya yang segar seperti tarian bunga menyambut
mentari, tak sepadan dengan badannya yang kurus ramping menyerupai pohon jati
yang meranggas di musim kemarau. Itu karena perjuangan Djene, siang kerja,
malamnya kuliah. Hingga ia bisa menyelesaikan kuliahnya dengan biaya sendiri.
Perjumpaan dengan seorang lelaki yang
bertubuh tambun kepala botak dalam sebuah kerja sebagai marketing,
menghantarkan Djene pada sebuah pernikahan dengan lelaki itu. Meski hanya bertahan
selama tiga tahun, dan dikaruniai satu anak perempuan imut dan pintar.
Pernikahannya kandas karena lelaki itu tak kunjung punya pekerjaan dan
diketahui ia selingkuh dengan perepuan lain yang berwajah pas-pasan namun
bertubuh sexi, lebih syemok dan lebih montok daripada Djene.
Ketiga kalinya Djene merasakan sedih,
yang lebih pedih dari sebuah rindu yang tak terbahasakan. Kalut dalam kabut
yang menjatuhkan anak-anak hujan menggenangi bait suci dalam hatinya. Lalu
menjahit retakan-retakan tanah kering dengan rumput harapan yang bisa saja
kering dan mati sia-sia sebelum sore tiba. Djene bangun dan berdiri seperti
seorang anak yang sedang mengikuti upacara bendera, tegak dan menguatkan diri
untuk melanjutkan harkat martabat ibu pertiwi.
Ia membuat sebuah usaha kecil yang basis
produknya adalah olahan batu dan GRC, karena ia merasa sudah cukup bekerja
untuk orang lain. Dengan usahanya yang baru itu, perlahan Djene bangkit dan
mampu memperbaiki ekonomi keluarga dan mengembalikan harkat martabat
keluarganya.
Hanya dengan tujuh karyawan Djene mampu
memenuhi kebutuhan para buyer dari negara-negara Eropa, sampai pada suatu
ketika seluruh pengiriman barang terhenti dan ongkosnya berkali lipat mahalnya
dari harga sebelumnya. Ya… sama dengan apa yang terlihat di mimpinya. Suatu
pagi yang padat merayap, sambil mengendarai mobilnya berangkat ke kantor ia
mendengarkan berita di radio. Bahwa terjadi penumpukan peti kemas di terusan
suez akibat adanya kapal besar yang hampir kandas kelebihan muatan.
Pagi yang padat namun dingin itu,
mendadak Djene mandi keringat di dalam mobilnya, karena mengingat berita itu
sama persis dengan yang ada di mimpinya. Bunga kertas yang biasanya aktif dan
cerewet menyambut pagi mendadak lidahnya kelu terpaku pada lipatan masa lalu,
bibirnya yang berembun mendadak kering hanyut dalam rampasan angin memenggal
ranting yang terjatuh dari dahannya. Ia kembali mengingat garasi di samping
rumahnya berjajar bus kosong yang lama tak beroperasi semenjak bangkrut dan
ayahnya tiada. Seperti taman kosong yang merindu keceriaan keluarga bermain di
bawah pohon, tak terasa keringat yang membasahi wajahnya berganti jadi air mata
yang mengalir di sela mata polosnya yang indah.
Sesampainya di kantor ia memutar otak
sesantai nahkoda memutar kemudi yang sebenarnya ia tak melihat apa yang ada di
depannya selain air yang bergejolak di lautan luas. Djene memulai dengan
mengembangkan lokal market untuk produk-produknya, dan Tuhan pun melihat
usahanya itu dan memberinya jalan agar tujuh karyawannya tetap bisa bekerja.
Dalam prosesnya mengembangkan pasar
lokal, ia bertemu dengan seorang lelaki yang membuatnya mempunyai sayap dan
terbang ke taman-taman keindahan. Lelaki yang tampan bak selebriti korea yang
sedang merajai media sosial, namun tetap berkharisma dengan ketenangannya
seperti air danau. Hari-hari mereka lalui dengan penuh rindu dan cinta
sampai akhirnya pandemi melanda di seluruh penjuru bumi. Wabah virus yang
membuat goncangan dahsyat di seluruh lini kehidupan, semua terhenti dan
dihentikan demi membatasi pergerakan virus. Jutaan korban meninggal akibat
pandemi ini, ada yang mengungkapkan ini sebuah konspirasi elit global, ada yang
mengira ini adalah hukuman Tuhan atas kerakusan manusia, ada yang berkata ini adalah
permulaan kembalinya Sabda Palon nagih janji.
Entahlah… banyak berita simpang siur,
dan kebijakan yang tak bijak. Alam pun menunjukkan eksistensinya dengan cuaca
ekstrem, angin ribut, gunung-gunung berapi batuk dan beberapa gempa menghantui
ketakutan ranting-ranting kering yang berpasrah dilempar ke perapian.
Djene pun kembali teringat dalam cacala
mimpinya penglihatan ketiga, cahaya merah berjatuhan di seluruh penjuru negeri
selama tiga kali berturut- turut. Inilah yang disampaikan oleh mahkluk bersayap
enam itu di atas kuil dewa Serapis. Djene seketika merasa menjadi manusia kuat
dan terpilih namun sekaligus lemah tak berdaya tanpa penyertaan Tuhan dalam
hidupnya. Ia pun mengungkapkan semua mimpinya itu kepada lelaki yang menguatkan
dan yang sangat dicintainya selama ini. Mereka pun mampu melalui tiga kali
gelombang pandemi dengan anugerah tetap sehat dan bahagia dan menemukan arti
perjuangan hidup yang dulu pernah terucap dari ayahnya ; Urip ora kudu
ngoyak sugih, sing penting migunani tumpraping liyan. (Hidup tak perlu
mengejar kaya, yang terpenting bermanfaat bagi orang lain). Inilah ucapan yang
sama persis dengan mahkluk bersayap enam itu.
Djene pulang dengan perasaan gembira,
wajah ceria seperti burung pipit yang menemukan kawanannya dan ia berbahagia
bisa menjaga keluarga kecilnya, merawat cintanya dan memberi manfaat untuk
teman-teman, karyawan dan tetangga sekitar workshop olahan batu yang ia miliki. (*)
Meuz Prast, seorang perupa dan pecinta sastra. Karya lukisnya sering digunakan sebagai cover buku. Sebagai perupa, ia telah melakukan sejumlah pameran di tahun berbeda-beda, baik pameran bersama maupun pameran tunggal.