Skip to main content

Padasan Puisi Penyair Lansia

 


Judul Buku: Jalan Puisi, Antologi Puisi Penyair Yogya Kelahiran 1950-an
Penulis: Ons Untoro et.al
Editor: Indro Suprobo, Ons Untoro
Sketsa Foto dan Gambar Cover: Vincensius Dwimawan
Isi: 14 X 20 cm, xxii + 262 hlm 
Cetakan Pertama: Juni 2023
Penerbit: Tonggak Pustaka

Para penyair kelahiran tahun 1950-an yang masih tinggal di Yogya ini sudah lama menulis puisi. Sejak awal tahun 1970-an, sudah menulis, dan sampai sekarang di era milenial, mereka masih menulis puisi. Tahun 1970-an, sampai 1980-an dinamika sastra di Yogya sangat menggairahkan di mana para penyair ini berada di dalamnya. Bahkan para penyair saling melakukan kompetisi, namun tidak melepaskan persahabatan. Antar penyair saling bertemu dan berdiskusi serta membacakan puisi, tidak hanya di panggung-panggung, melainkan juga masuk ke kampus, kampung dan menyusuri pedesaan.

Sesungguhnya, ada banyak penyair kelahiran tahun 1950an yang berproses di Yogyakarta. Namun mereka meninggalkan Yogyakarta untuk menuju kota lain seperti Jakarta, meneruskan proses kreatifnya. Selain berpuisi, para penyair yang tinggal di Jakarta berkarier sebagai wartawan dan profesi lainnya. Namun tetap menulis puisi.

Pada masa itu, puisi seolah menjadi mantra. Ia menjadi pesona tersendiri, apalagi tidak setiap orang menulis puisi, sehingga menjadi penyair seperti ‘panggilan’. Orang terpanggil untuk menulis puisi, dan predikat kepenyairan, pada masa remaja memiliki pesona. Anak-anak muda tertarik untuk meneguk pesona itu. Bahkan sekolahpun ditinggalkan untuk suntuk menulis puisi. Namun tidak semua penyair abai terhadap sekolah. Banyak juga yang tetap rajin belajar, sampai sekolahnya selesai, dan menulis puisi tidak lalai.

Penyair yang sekarang usianya sudah di atas 60 tahun, dan di atas 70 tahun, yakni mereka yang lahir tahun 1951, sampai sekarang masih terus menulis puisi, dan masing-masing saling kenal, meskipun jarang melakukan interaksi. Tetapi ingatan akan nama masih melekat. Saat bertemu dalam satu pertemuan, meski bukan pertemuan sastra, masing-masing saling bersapa, tanda masing-masing masih saling kenal.

Para penyair kelahiran tahun 1950an ini seperti tidak lelah menulis puisi, meski sejak umur 20an tahun sudah menulis puisi. Namun, sekarang menulis puisi tidak untuk memburu status kepenyairan. Rasanya obsesi itu sudah selasai bagi para penyair kelahiran 1950-an ini. Menulis puisi, selain untuk menjaga kecintaannya pada sastra agar tidak lenyap, juga untuk menjaga proes kreatifnya agar terus berputar. Selain itu, menulis puisi untuk hiburan, setidaknya seperti Suminto A. Sayuti, yang menulis puisi untuk hiburan, sehingga tidak perlu lagi mengirimkan puisinya ke media cetak, apalagi sekarang hanya sedikit media cetak yang menyediakan rubrik sastra. Lebih menyedihkan lagi, banyak media cetak yang sudah tidak terbit lagi, karena pilihannya beralih ke media digital.

Medan aktivitas para ‘penyair lansia’, sebut saja begitu, tidak hanya puisi, melainkan lebih meluas. Suminto A. Sayuti telah menjadi guru besar, dan ruang akademik menjadi medan berkarya. Namun demikian, Suminto masih senang menulis puisi. Ada banyak puisi karyanya yang tersimpan, dan tinggal mengirim jika diperlukan. Ia masih suka klenengan bersama warga desa di mana dia tinggal. Emha Ainun Najib, yang pada masa tahun 1970-an menjadi salah satu ikon penyair di Yogya, medan kreativitasnya telah meluas ke area kebangsaan, dan puisi hanyalah bagian kecil dari medan itu. Namun Cak Nun, demikian ia biasa dipanggil, tidak berhenti menulis puisi. Ia dengan gampang segera mengirim puisi ketika diminta untuk antologi puisi ini. Bahkan tidak perlu menunggu lama untuk mengirim puisi.

Panyair lainnya, Landung Simatupang, selain masih menulis puisi, berteater dan penerjemah, waktunya disibukkan oleh shooting film. Ia banyak mendapat peran dalam sejumlah film. Di tengah kesibukannya itu, Landung tidak berhenti menulis puisi. Di sela-sela kesibukannya, ia tidak berhenti menerjemahkan, termasuk menerjemahkan puisi. Maka, salah satu dari 10 puisi karyanya, adalah puisi terjemahan.

Lain lagi dengan Darwis Khudori, penyair sekaligus seo-rang arsitek ini, medannya mengglobal. Ia mempunyai KTP di Yogyakarta, memiliki rumah di Panggungharjo, Sewon, Bantul, tetapi tinggalnya di Perancis. Rumahnya di Panggungharjo, Sewon, Bantul, yang tidak ditinggali, malah dipergunakan sebagai ruang publik untuk keperluan kesenian dan kebu-dayaan. Darwis, sampai kimi masih tinggal di Perancis. Kesibukannya semakin padat, karena selain mengajar, ia seringkali menyelenggarakan seminar, pesertanya dari ber-bagai negara. Di tengah kesibukannya itu, Darwis masih me-nulis puisi, dan celakanya puisi-puisi terbarunya ditinggal di Perancis, namun puisi lama ada di Yogya. Puisi lama, bukan dalam arti ditulis tahun 1970-an, melainkan ditulis di atas tahun 2000-an. Dari sini, kita bisa tahu, Darwis Khudori masih terus menulis puisi. Dia kita ikutkan dalam antologi ini, anggap saja sebagai ‘penyair tamu’, dalam arti punya KTP Yogya, tapi tinggalnya di Perancis.

Satu lagi penyair akademik, dalam pengertian, sebagai penyair ia memiliki aktivitas akademik sebagai pengajar, seka-ligus sebagai birokrat kampus. Jabrohim nama penyair itu.Seperti yang lain, ia tak lelah menulis puisi.

Para penyair lainnya memiliki aktivitas berbeda-beda, Mustofa, Eka Ardhana, Wadie, menekuni profesi sebagai wartawan, tetapi menulis puisi masih terus berjalan. Simon HT, sebagai aktivis LSM, mempuyai aktivitas pengembangan masyarakat, namun cintanya pada puisi tidak habis. Puisinya terus mengalir. Krishna Mihardja, profesi guru terus dijalani, sampai pensiun dipeluknya, dan di tengah kesibukannya sebagai guru, menulis puisi tidak berhenti, sampai hari ini. Demikian juga Ernes Pribadi, guru dan puisi saling mengisi, sampai pensiun mengiringi, menulis puisi tidak berhenti.

Dua penyair sejoli, Fauzi dan Marjuddin, sejak muda ke-duanya sudah selalu berdua, seolah seperti kakak beradik. Bagi Marjuddin, sekolah dan puisi dilakukan secara berganti, dan bagi Fauzi, puisi dan pengrajin sepatu, dikerjakan secara seimbang. Artinya, kerja tidak dilupakan, dan menulis puisi, tidak dilepaskan.

Marjuddin, sekarang berpuisi dan bertani. Fauzi, berpuisi dan pengrajin sepatu. Meski kegiatan yang kedua, sudah mulai surut, karena tak lagi banyak yang pesan sepatu, karena sepatu sudah tersedia di toko dengan berbagai model sepatu yang bagus-bagus. Namun, kalau ada yang pesan sepatu, ia dengan senang hati membuatkannya. Sejumlah teman penyair, telah memesan sepatu sandal karyanya.

Tentulah kita mengenal padasan yang berisi air penuh, ketika katup penutupnya dibuka, air akan mengalir. Para penyair lansia ini seperti padasan yang penuh puisi, sehingga ketika diminta mengirim puisi, hanya dalam hitungan hari, puisi-puisinya segera mengalir. Begitulah penyair, selalu tersedia puisi dalam dirinya.

Antilogi ini diberi judul ‘Jalan Puisi’, karena sejak muda para penyair ini melewati jalan puisi, dengan lika-liku yang dialami, dan di kemudian hari, ada banyak jalan yang dilewati. Jalan itu membuat hidupnya lebih nyaman, namun jalan puisi tidak pernah ditinggalkan. Karena mungkin, jalan puisi adalah jalan pertama yang membuatnya menemukan kebahagiaan.

Maka, ketika antologi puisi ini disiapkan dalam waktu relatif pendek, para penyair ini, hanya dalam hitungan hari, semua dengan segera mengirimkan puisi, Ini artinya, mereka tidak berhenti berkarya. Mereka masih melewati jalan puisi, meski ada jalan lain yang ditempuhnya. Itulah penyair, selalu menulis puisi. Karena, hanya mereka yang menulis puisi tiada hentilah yang disebut penyair.

Terimakah pada para ‘penyair lansia’ yang dengan serba cepat langsung mengirim puisi ketika diminta. Sekali lagi terimakasih.


Ons Untoro & Indro Suprobo