Skip to main content

Posisi Penyair di Tengah Masyarakat



Oleh Fauzi Absal, Penyair


Pertanyaan tentang posisi penyair di tengah masyarakat rupanya menarik krusialitas atau cukup krusial atau cukup memenuhi syarat bila kita sempatkan memperhatikan gejolak antusiasme masyarakat (walau hanya dalam lingkup komunitas) dalam mengekspresikan puisi mereka.

Bila kita cermati, sejak bermigrasinya penulisan puisi (dan juga sastra) koran ke wilayah digital, sampai ke detik ini, sangat meriah karya puisi dituliskan. Penerbitan antologi puisi tunggal maupun bersama juga tak kalah semaraknya. Terlepas dari kembalinya biaya produksi atau tidak, mungkin kurang begitu jadi bahan perhitungan. Menulis adalah menulis.Apalagi bisa disiasati dengan sistem penerbitan indie. Menulis must go on. Begitu sang slogan membisikkan bara api semangat. Semangat juang "Aku Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi" serasa hidup kembali. Dunia perpuisian menjadi semarak kembali dan bahkan lebih berwarna warni di tangan kawula milenial.

Tidak pula diambil peduli ada yang menarik garis demarkasi dalam suasana gegap gempita perpuisian.  Sebuah pernyataan 'puisi buat apa'. Pernyataan seperti balon lucu di udara. Ya,memangnya puisi mau dibuat apa dan untuk apa. Maka mungkin juga untuk mengesampingkan frasa nyinyir tersebut perlu di'recall' pula ungkapan klasik, sebagai frasa nyinyir tandingan "Yang bukan penyair jangan ambil bagian" yang pernah ditulis sebagai bagian elemen puisi seorang penyair dunia (sayang lupa namanya kalu tak salah Walt Withman atau Marsman).

Tapi rupanya dua frasa nyinyir yang saling menjungkalkan satu sama lain itu kini tak lagi keras dan ketus konfrontasinya. Rupanya tanpa harus melalui idul Fitri keduanya telah berangkulan mesra dan romantis maaf-memaafkan. Artinya yang penyair dan bukan penyair sama sama nulis puisi. Mereka bekerjasama memayu Hayuning Bawana.

So, betapa indah dan syahdunya kehidupan tanpa penyair tetapi setiap orang menulis puisi. Apakah bisa demikian? Entahlah

Yang jelas yang tengah dialami secara empiris masyarakat puitika dewasa ini meledaknya atau booming penerbitan puisi baik secara digital maupun berujud buku. Yang pada era sebelumnya, era pra digital tidak terjadi. Terutama bila dilihat pada era-era angkatan sastra jauh sebelumnya. Sehingga ada layaknya pemelimpahan penulisan puisi tersebut menggoda lahirnya obrolan dengan tajuk Posisi Penyair di Tengah Masyarakat.

Bisa dipastikan pula bahwa pada era angkatan sastra terdahulu (sebelumnya) tepatnya sebelum paruh pertama abad keduapuluh, tidak ada kerisauan tentang posisi penyair di tengah masyarakat.

Padahal pada masa itu telah lahir figur-figur besar seperti Amir Hamzah, dilanjutkan Chairil Anwar, kemudian Kirja Mulya, Rendra dan Sutarji.

Pertanyaannya apakah para tokoh ini berhasil dengan caranya sendiri ambil posisi di tengah masyarakat? Hal ini kiranya tak lepas dari kebenaran salah satu dari dua sinyalemen di bawah ini. Manakah yang layak diadopsi. Bahwa mereka, para penyair legendaris itu, merasa memiliki masyarakat atau sebaliknya?

Rupanya, pernyataan yang pertama yang bisa diandalkan. Penyair merasa memiliki masyarakat. Sehingga merasa terpanggil untuk berbuat. Apakah wacana ini benar? Ini pun hanya sekedar teori. Sekedar teori dalam upaya memframing jawaban isu posisi penyair di tengah masyarakat

Tetapi bila tidak benar apakah yang benar sebaliknya? Apakah masyarakat memiliki penyair? Sebab jika ditilik dinamikanya, masyarakat itu tidak memiliki apa-apa dan siapa-siapa. Tapi justru sebaliknya masyarakat adalah milik politikus, ekonom, sosiolog, psikolog, pejabat, pendidik dan...penyair. Masyarakat perlu dipertanggungjawabkan eksistensinya, keluhuran dan marwahnya.

 Lantas kalau penyair merasa memiliki masyarakat, bagaimanakah posisi penyair kemudian?

Upaya-Upaya Komunitas

 Dalam perjalanan sejarah sastra di tanah air, istimewanya Yogyakarta, Komunitas Persada Studi Klub (PSK),  merupakan komunitas tertua yang pernah ada. PSK menggunakan tabloid mingguan Pelopor Yogya sebagai basis kegiatannya. Disusul kemudian kelompok Insani (harian Masa Kini), kelompok Renas (harian Bernas). Ini pada era tujuhpuluhan. Era belakangan adalah komunitas Studio Pertunjukan Sastra (SPS), komunitas Titik Nol, dan Sastra Bulan Purnama. Dari sana muncul tokoh-tokoh Umbu Landhu Paranggi, Mustofa W Hasyim, Sutirman Eka Ardhana, Hari Leo AR, dan Ons Untoro. Tapi dari sekian komunitas itu yang masih aktif sampai hari ini adalah Sastra Bulan Purnama (SBP) dengan ujung tombaknya adalah Ons Untoro.

Disadari atau tidak, komunitas adalah identik dengan upaya memposisikan penyair dan karyanya di tengah masyarakat. Sebuah pergulatan yang dilandasi itikad dan jiwa dedikatif yang tinggi. Kebosanan dan kecil hati menjadi tantangannya. Di tangan para pengampu kelompok puisi tidak bisa asal bunyi. Apalagi asal curhat. Pengampu menyeleksi dan juga menginspirasi dengan talentanya yang memadai. Untuk sampai pada kesadaran memiliki masyarakat (handarbeni). Komunitas juga merupakan proses dialektika antara masyarakat dan penyair yang secara riil tidak memiliki posisi. Posisi Penyair adalah posisi ide. Yang tak bosan-bosan penyair (melalui) komunitasnya tiada henti menawarkan pemikiran dan wawasannya terutama dalam dimensi estetika.

 

*Disampaikan dalam Obrolan SBP, Sabtu, 6 Mei 2023, di Ruang Komunitas, Museum Sandi Yogyakarta.