Skip to main content

Ruang Suci bagi Penyair dan Puisi

 


Judul Buku: Candi di Tepi Kolam, Antologi Puisi
Penulis: Yuliani Kumudaswari et.al
Editor: Indro Suprobo, Ons Untoro
Lukisan Cover: Meuz Prast
Isi: 14 X 20 cm, x + 264 hlm 
Cetakan Pertama: Agustus 2023
Penerbit: Tonggak Pustaka


Meskipun memiliki fungsi yang berbeda, baik dalam tradisi Hindu maupun Buddha, candi merupakan tempat yang dianggap suci. Oleh karena itu segala sesuatu yang ditem-patkan di sebuah candi, adalah segala hal yang dinilai dapat membawa manusia kepada kesucian dan membantu manusia untuk menyucikan diri. Menilai dan menempatkan sesuatu dalam hidup sebagai bagian dari yang suci, dengan sendirinya merupakan praktik memuliakan dan menghormati sesuatu itu sebagai yang sangat penting dan bernilai. 

Meminjam cara pemaknaan semacam itu, Sanggaragam, yang bangunan fisiknya berada di tepi kolam, secara sengaja disimbolisasikan sebagai Candi di Tepi Kolam, yang dipilih sebagai judul Antologi Puisi ini. Tatkala diimajinasikan dan disimbolisasikan sebagai candi di tepi kolam, Sanggaragam sedang dikonstruksikan secara puitis sebagai ruang suci yang sangat berarti bagi para penyair dan puisi. 

Sanggaragam adalah ruang di mana para penyair menem-patkan karya-karya puisinya di dalamnya, sebagai hasil karya yang suci dan disucikan, yang pada gilirannya juga merupakan tanda dan sarana bagi para penyair untuk menyucikan hi-dupnya. Karya-karya puisi adalah hasil dari proses kreatif, kontemplatif, imajinatif, yang bersifat simbolis dan metaforis untuk mengkomunikasikan perspektif dan nilai personal pe-nyair tentang pengalaman-pengalaman hidup dan tentang realitas yang dihadapi. Puisi-puisi itu menjadi sedimentasi dari proses pengolahan ayat-ayat kehidupan yang pertama-tama membantu para penyair untuk mengangkat dirinya dari kelekatan terhadap realitas, sehingga sanggup membangun sebuah jarak, agar tetap dapat terlibat tanpa harus terlipat, dan tetap dapat bergumul tanpa harus tergulung. Sedimentasi ayat kehidupan itu selanjutnya akan membantu para pembaca dan penikmat sastra untuk ikut terlibat dalam seluruh proses di dalamnya, menjaga jarak, mengenali keterlibatan dan per-gumulan yang dicerminkan dalam seluruh dinamika puisi.  

Sanggaragam menjadi ruang suci bagi para penyair dan karya-karya puisinya karena ia menjadi ruang untuk memu-liakan seluruh jerih lelah para penyair dalam menemukan, membaca, mencerna, dan mengkomunikasikan kembali ayat-ayat kehidupan yang tersembunyi dalam seluruh keluasan pe-ngalaman. Sanggaragam menjadi ruang suci di mana penyair dan karya-karya puisinya dipersembahkan kepada semesta kehidupan sebagai sesuatu yang bernilai, terhormat, yang ber-kontribusi kepada proses konstruksi makna. Puisi-puisi yang ditempatkan di ruang ini dinilai sebagai yang suci, bernilai dan terhormat, bukan karena ia tidak berasa dari dunia, melainkan justru karena ia merupakan proses paling radikal dari jalan mendunia, terlibat di dalamnya, memberikan kritik tajam ter-hadapnya, sekaligus menjumput mutiara-mutiara yang paling berharga dari seluruh hidup dunia yang paling nyata. 

Candi di Tepi Kolam, adalah sebuah laku dan upaya untuk mempersembahkan para penyair dan jerih lelah serta karya-karyanya kepada semesta, sebagai yang suci, yang bernilai, yang terhormat dan penuh makna. Candi di Tepi Kolam, adalah sebuah laku memuliakan penyair dan puisinya. Semoga.


Indro Suprobo & Ons Untoro