Skip to main content

Tiga Penyair Yogya dan Keunikan Jalan Pilihannya

 



Judul Buku: Jalan Yang Dipilih, Antologi Puisi 3 Penyair Yogya
Penulis: Yuliani Kumudaswari et.al
Editor: Indro Suprobo, Ons Untoro
Isi: 14 X 20 cm, xii + 116 hlm 
Cetakan Pertama: Maret 2024
Penerbit: Tonggak Pustaka


Yuliani, Produktivitas sebagai buah dari Habitus

Adalah Yuliani Kumudaswari, penyair perempuan yang tak pernah henti menulis puisi. Seolah-olah, melahirkan puisi telah menjadi nafas hidup. Ia bergerak, mengalir, meluber dan tumpah sebagai pilihan-pilihan kata yang terolah.

Menulis puisi atau cerpen secara rutin atau berkala dalam tempo tertentu lalu mengumpulkannya dalam setahun sehingga dapat menerbitkannya dalam sebuah buku, adalah sebuah laku disiplin yang tidak mudah. Ini adalah sebuah gaya atau laku hidup yang membutuhkan energi besar karena mendorong atau mengelola seluruh pikiran dan gerak motoris tubuh dalam suatu sinkronisasi aktivitas menulis. Penyatuan kehendak dan tindakan nyata membutuhkan latihan yang panjang dan pembiasaan yang terus-menerus. Semua itu merupakan habitus, yakni seluruh internalisasi dan strukturasi tindakan berdasarkan motivasi untuk mempertahankan kekhasan dan keunikan pribadi yang terbedakan dari orang lain (distinction), sekaligus demi menjagai kualitas tertentu yang ada di dalam diri. Sebagai habitus, tindakan menulis dapat melahirkan penajaman refleksi, penjernihan cara pandang, peningkatan kualitas pembacaan kritis, memudahkan pengambilan jarak, serta keluwesan untuk membuka diri terhadap perspektif baru. Produktivitas akan membuat hidup menjadi lebih hidup. Semoga terjaga demikian.

Asosiasi yang Kaya

Salah satu kekuatan dan kekhasan karya-karya puisi Yuli-ani adalah model asosiasi-asosiasinya yang kaya. Pembaca dapat menikmati penggambaran-penggambaran suasana, pelukisan rasa, atau goresan-goresan pengalaman yang in-dah, mengasyikkan, mengalir, yang meliyak-liyukkan makna secara nyaman. Asosiasi-asosiasi yang kaya ini, membuat puisi-puisi karya Yuliani terasa luas, beragam, di mana diksi atau pilihan katanya itu bisa melancong ke mana-mana sehingga mencerminkan kekayaan pengalaman, kekayaan suasana. Asosiasi-asosiasi yang kaya ini membuat pembaca tidak merasa lelah dan bosan menikmatinya. Sangat sedikit pilihan kata atau asosiasi yang berulang di dalam karya.

Cerminan dari Waktu Luang

Puisi-puisi karya Yuliani, sejauh saya kenali dalam waktu beberapa tahun ini, mencerminan waktu luang yang cukup memadai, yang memungkinkan Yuliani dapat merumuskan pengalaman, pikiran, dan pembacaan dalam diksi-diksi yang kaya, beragam, dan mendalam. Kekayaan diksi yang mencerminkan kekayaan imajinasi dan asosiasi, adalah penanda dari adanya waktu luang yang tersedia. 

Ketersediaan waktu luang itu sendiri, dapat dimungkinkan oleh dua sebab. Pertama, karena situasinya memang demikian, artinya memang memiliki banyak waktu luang. Kedua, karena waktu luang itu sengaja diciptakan melalui sebuah komitmen dan disiplin. Kemungkinan yang kedua ini, yakni waktu luang yang diciptakan, adalah cerminan dari pembiasaan yang menjadi gaya hidup. Ini menjadi proses yang membantu subyek untuk menjagai jarak terhadap semua pengalaman, sehingga ia bisa menuangkan rumusan-rumusan reflektif terhadapnya. Menciptakan waktu luang pada gilirannya adalah sebuah laku asketis, yakni disiplin rohani atau disiplin spiritual untuk memperkecil hasrat dan rasa lekat tak teratur, lalu mengisinya dengan komitmen intensional tertentu yang lebih produktif, kreatif dan menumbuhkan seluruh aspek kemanusiaan. Ini seperti tindakan bertapa di antara atau di dalam waktu hidup sehari-hari. Jika demikian, para penyair yang berkualitas pada umumnya adalah para pertapa di dalam kehidupan. Sebagian dari mereka melakukan tapa ngrame, yakni tetap sanggup menciptakan waktu luang yang berjarak terhadap seluruh realitas pengalaman, meskipun ia sedang berada di tengah arus keriuhan. 

Fauzi, Penyair Nomaden dan Pengrajin Sepatu

Di kalangan penyair Yogya, meskipun lama tidak muncul di publik, nama Fauzie Absal sudah cukup dikenal, lebih-lebih penyair seangkatannya, atau penyair yang mulai tumbuh tahun 1980-an. Fauzie menulis puisi sudah sejak tahun 1970-an. Pada tahun itu di Yogya ada satu komunitas yang dikenal dengan nama Persada Studi Klub, atau sering disingkat PSK, asuhan Umbu Landu Paranggi, yang sekarang bermukim di Bali. Puisi-puisi Fauzie di masa PSK pernah masuk Sabana. Penyair muda yang tumbuh di era media sosial, kiranya juga mengenal nama Fauzie Absal.

Di Persada Studi Klub, Fauzie seangkatan Emha Ainun Najib, Sutirman Eka Ardhana, (alm) Linus Suryadi AG., (alm) Slamet Riyadi Sabrawi, dan sejumlah penyair lainnya, yang kemudian meninggalkan Yogya, dan memilih Jakarta sebagai tempat untuk mengembangkan karier kepenyairannya. Bebe-rapa nama disebut di atas, sampai akhir hayatnya masih tetap tinggal di Yogya.

Fauzie sehari-harinya bekerja sebagai pengrajin sepatu, terkadang juga menerima terjemahan dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris, atau sebaliknya. Sebagai pengrajin sepatu, Fauzie sangat tekun, bahkan dalam pengakuannya dia menik-matinya. Mungkin karena dia menghayati pekerjaannya, para pemesan sepatu buatannya merasa puas. Karena hasilnya ba-gus dan kuat, serta enak dikenakan di kaki.

Pengrajin sepatu adalah jalan hidupnya yang ditekuni sam-pai kini. Fauzie Absal sudah tidak tinggal di Lempuyangan, rumah tinggalnya dulu. Tempat tinggalnya berpindah-pin-dah, sehingga susah dicari di mana dia tinggal, membuat sahabatnya kesulitan menemukannya. Hanya kadang tiba-tiba nongol, dan menyebutkan daerah di mana dia tinggal kepada teman-temannya, tetapi tak lama kemudian dia tidak pernah kelihatan, dan tempat tinggalnya tidak lagi diketahui, Fauzie sudah pindah rumah lagi.

Yang mengagumkan, di manapun dia tinggal, ia masih terus menulis puisi, meskipun tahu, tidak banyak lagi surat kabar yang memberi ruang untuk puisi. Ketika Fauzie menemui penerbit, selain membawa lukisan, ia juga membawa sejumlah puisi karyanya yang terbaru. Ia merasa perlu puisi-puisinya diterbitkan, supaya publik tahu, bahwa dirinya masih terus menulis puisi, meskipun sangat jarang berinteraksi dengan teman-temannya.

Marjuddin, Penyair Sesesionis

Karena gaya dan karakter puisi-puisinya yang cenderung menggunakan diksi pendek, ringkas, penuh teka-teki, dan sangat subyektif, saya cenderung menyebut Marjuddin sebagai penyair sesesionis, sehingga puisi-puisinya juga cenderung bersifat sesesionis. Dalam wacana politik, sesesionisme (secession atau secessionism) adalah gerakan pemisahan diri suatu wilayah dan orang-orang yang tinggal di wilayah itu dari kedaulatan negara yang sudah ada dan berupaya membentuk negara baru yang merdeka dengan kedaulatan atas wilayah itu dan atas rakyat yang tinggal di wilayah itu. Dalam wacana sastra, penyair atau sastra sesesionis adalah penyair atau sastra yang memiliki kecenderungan untuk memisahkan diri dari kelaziman struktur bahasa dan makna yang telah berdaulat, lalu membangun kedaulatan struktur dan makna sendiri. Ini mengakibatkan, para pembaca awal, editor, atau penik-mat sastra itu tak dapat dengan mudah segera menemukan arti atau makna dari struktur bahasa yang digunakannya. Dibutuhkan pengambilan jarak yang lumayan serius dan pelibatan imajinasi yang sungguh-sungguh membutuhkan perjuangan, agar dapat "kurang lebih terlibat dalam proses konstruksi makna dari struktur puisi yang digunakannya". Ada kalanya pembaca berhasil memasuki konstruksi makna itu, dan memahaminya, meskipun barangkali tidak sem-purna dan tidak sepenuhnya, namun paling tidak ada jejak-jejak yang dapat ditapaki. Namun, ada kalanya pembaca benar-benar kesulitan dan tak berhasil melibatkan diri dalam konstruksi makna yang tersembunyi di dalamnya.

Dalam puisi-puisinya, Marjuddin mencoba membangun kedaulatan pemaknaannya sendiri melalui struktur dan pilihan kata yang dipilihnya. Ia membangun kedaulatan makna dalam puisinya melalui kekuatan asosiatif dan imajinasinya yang sangat subyektif, yang membutuhkan penelusuran serius untuk terlibat di dalamnya. Meskipun puisi sebagai teks itu otonom setelah ditulis, lepas dari bayang-bayang otoritas pemaknaan sang pengarang,  karena pengarang telah dianggap mati (the dead of the author), namun untuk menafsirkan makna terbaru yang otonom sesuai dengan konteks dan dunia pembaca atau penafsir (in front of the text), tetaplah menarik dan menantang untuk menelusuri makna yang tersembunyi di dalam konstruksi awal penulisnya (behind the text) dan makna yang secara bawah sadar juga terselip di antara konfigurasi teksnya sendiri (within the text). Penelusuran makna sebagaimana dibawa atau dimaksudkan pada awal mula oleh pengarang, merupakan kerja yang berat dan tak mudah, karena bagaimanapun juga itu adalah sebuah upaya menduga-duga, ngentha-entha (bahasa Jawa) yang membutuhkan banyak informasi terkait dunia yang melingkupi sang pengarang. Penelusuran terhadap dunia pengarang ini membutuhkan usaha gigih karena harus mengenali seluruh jaringan kontekstual termasuk kognisi sosial yang memengaruhi seluruh proses konstruksi makna saat pengarang menyusun pilihan kata dengan seluruh gambaran asosiatif-imajinatif yang tersembunyi di dalamnya. 

Jalan Yang Dipilih adalah antologi puisi tiga penyair yang masing-masing memiliki keunikan. Semoga keunikan jalan yang dipilihnya ini, dapat dinikmati bersama. ***


Indro Suprobo & Ons Untoro