Skip to main content

Kita Lansia, Terus Berkarya, Bahagia, Penuh Berkah

 


Judul Buku: Kita Lansia, Terus Berkarya, Bahagia, Penuh Berkah, Kumpulan Esai
Penulis: Adri Darmadji Woko et.al
Editor: Indro Suprobo, Ons Untoro
Isi: 14 X 20 cm, x + 412 hlm 
Cetakan Pertama: Mei 2024
Penerbit: Tonggak Pustaka



Dulu, ketika kita masih kecil, kapan mendengar orang lanjut usia, yang terekam dalan ingatan adalah orang yang sudah uzur, sudah tua renta, berjalan pakai tongkat, atau malah bungkuk. Orang seperti itu biasanya dipanggil  simbah, eyang atau kakek, atau nenek. Pendek kata, orang lanjut tua sudah tidak memiliki daya. Orang yang selalu membutuhkan bantuan orang lain untuk pergi kemanapun, bahkan hanya untuk ke kamar mandi, atau malah untuk bangun tidur.

Dan biasanya, rambutnya sudah memutih, kulitnya keriput, giginya semua sudah tanggal. Umur 70an tahun, pada waktu itu, terasa betapa tuanya. Karena pada waktu itu, belum dikenali kategori usia lanjut, sehingga kalau melihat orang tua, dalam bahasa jawa disebut thuyuk2, dengan sendirinya sudah (dianggap) sebagai usia lanjut. Yang disebut simbah, kakek atau nenek, lagi-lagi pada masa dulu, usianya sudah tua.

Jadi, lanjut usia dulu adalah orang yang sudah uzur, tanpa perlu ada kategori umur lansia seperti sekarang.

Kini, yang seringkali kita temukan dipanggil simbah, eyang, kakek atau nenek, usianya baru 60-an tahun, bahkan belum genap 60 tahun sudah dikenali sebagai simbah. Dengan demikian panggilan simbah, tidak selalu berkaitan usia uzur seperti dulu. Malah panggilannya, misalnya mbah bapak, oma mami dan beberapa panggilan  lain.

Tahun 1970-an, saya melihat seorang kakek berumur 73 tahun, betapa terlihat tuanya kakek itu. Awal Indonesia merdeka, saya kira malah sebelum kemerdekaan, sampai tahun 1960-an. Kita belum mengenali istilah lanjut usia, dalam beberapa kategori. Kita hanya mengenail kanak-kanak, muda, dewasa dan lanjut usia. Tidak kita kenali istilah remaja, apalagi ABG –anak baru gede--. Setelah kanak-kanak sebelum dewasa, biasanya ditandai dengan sebutan akilbaliq. Istilah, remaja, ABG dan mungkin lansia dengan beberapa kategori kita kenali belakangan dan terasa sangat kapitalistik.


Lansia dan Daya Kreativitasnya   

Orang yang lahir di jaman kemerdekaaan, sampai pada era orde lama. Artinya mereka lahir tahun 1945 sampai awal 1960-an. Yang sekarang tahun 2024 ini sudah kita kenali sebagai lansia dalam kategori yang berbeda, misalnya usia 50-59 tahun pra lansia, usia 60-69 tahun lansia muda, 70-79 lansia madya, 80-89 lansia dan diatas 90 tahun usia tua.

Kita megajak, orang yang sudah masuk lansia muda dan lansia madya, artinya umurnya di atas 60 tahun untuk menuliskan refleksi kehidupannya untuk saling berbagi kepada orang lain pengalaman masing2. Tentu, karena sifatnya refleksi tidak ada kaitannya dengan baik dan buruk, benar atau salah. Masing2 memiliki pengalaman hidup berbeda, dan hal itu dibagikan kepada orang lain, baik sesama lansia maupun kepada anak-anak muda, dan pra lansia. Setiap orang memiliki pengalaman, termasuk pengalaman ‘belajar’ dari hidup orang lain, yang usianya di atas 90 tahun. Dan kita bisa ‘belajar’ dari pengalaman hidupnya.

Rupanya, para lansia yang usianya di atas 65 tahun, bahkan sudah lebih dari 70 tahun, sampai sekarang masih memiliki aktivitas. Seolah, tidak ingin berdiam diri, sehingga lansia tidak identik dari simbah2, yang tidak memiliki aktivitas.

Para lansia yang menulis dalam buku ini, tak kehilangan energinya. Dari segi usia memang sudah lansia, namun dari segi kreativitas tidak mau berhenti. Para lansia ini, masih bisa menempuh jarak dari satu kota ke kota lain, bahkan dari satu negara ke negara lain, meskipun tubuhnya ‘akrab’ dengan penyakit, namun energinya, hampir-hampir tidak terlihat berkurang. Lansia yang suka menulis misalnya, sejak muda sudah senang menulis dan berkarya, sampai tua aktivitas itu masih terus dilakukan, bahkan terasa semakin produktif. Mungkin, ketika muda, produktivitasnya untuk bekerja di satu perusahaan, sehingga mau tidak mau, harus bekerja keras, selain untuk kebututuhan hidupnya dan tanggung jawabnya pada perusahaan.

Ketika masa pensiun tiba, seolah seperti dilepas rantai bebannya, dan hidupnya lebih senang dan santai. Energinya seperti kembali, dan keinginan untuk melakukan aktivitas terasa kuat. Kebebasan mengajaknya untuk melakukan aktivitas yang menyenangkan. Dunia, seolah terbuka (kembali) untuknya. Malah, masa pensiun, memiliki sejumlah pekerjaan yang tidak mengikat, kesibukan tidak sepenuhnya menjauh, namum disertai perasaan ringan, tidak terbebani, sehingga kesibukannya menyenangkan.

Para penulis dalam buku ini, yang paling tua berumur 78 tahun, yang paling muda berusia 60 tahun. Semua masuk kategori lansia muda dan lansia madya. Artinya sama2 lansia. Sebagian besar sudah pensiun, dan ada yang masih mengajar. Pekerjaannnya beragam, ada wartawan, duta besar, dokter, perawat, apoteker, pekerja budaya. Ada guru besar, ada doktor, master dan lainnya. Mereka, ada yang sudah saling kenal satu sama lain, namun ada yang sama sekali belum pernah bertemu, dan dipertemukan dalam buku ini.

Salah seorang dari penulis dalam buku ini, Wisma Nugroho Christanta namanya, usianya 65 tahun. Pengajar dari Jurusan Sastra Jawa Fakultas Ilmu Budaya UGM. Beberapa minggu setelah mengirimkan tulisannya, tidak sempat melihat bukunya terbit, karena yang bersangkutan pergi untuk selamanya. Duka mendalam untuknya.

Selaku editor, kami berdua mengucapkan banyak terimakasih kepada para penulis buku ini. Kepada Indro Suprobo dari penerbit Tonggak Pustaka, kepada Vincensius Dwimawan yang membuat cover buku serta Senior Bahagia komunitas pemerhati lansia.


Ons Untoro/Sinta Herindrasti