Skip to main content

Para Perempuan Penutur Cerita, Mendramatisasi Karya dalam Syawalan Sastra Bulan Purnama

 


Di dalam tradisi lama sebelum kemajuan teknologi informasi berkembang pesat seperti saat ini, mencipta dan menuturkan cerita dalam bentuk dongeng, merupakan landasan penting dalam seluruh proses edukasi manusia. Ia menciptakan habitus tentang membangun imajinasi, menyusun narasi, merumuskan gagasan, mengemukakan pertanyaan dan persoalan, menawarkan pertimbangan, dan melatih pengambilan pilihan-pilihan keputusan sebagai alternatif menjawab pertanyaan kehidupan dalam pertanggungjawaban. 

Pada gilirannya, menciptakan dan menuturkan cerita adalah sebuah proses menginisiasi kelahiran empati, keterlibatan atau partisipasi dalam seluruh kerja imajinasi, melatih pribadi-pribadi untuk melampaui diri sendiri, melintasi batas-batas untuk berlabuh di dalam pengalaman liyan secara berkualitas, mendengarkan suara-suara yang bergema di kejauhan dan menjadikannya gema di dalam dirinya sendiri. Seluruh proses ini membantu manusia untuk sanggup memahami, menerima dan menghormati manusia-manusia lain dan pengalamannya sebagaimana ia memahami, menerima dan menghormati dirinya sendiri. Maka, menciptakan dan menuturkan cerita adalah upaya penting dan nyata untuk membantu manusia agar lebih sanggup membangun imajinasi tentang liyan, membangkitkan empati dan memilih sikap pro-eksistensi (menghormati dan membela hak dan martabat orang lain meskipun orang lain itu sangat berbeda dengan dirinya).

Pada Sabtu sore, 27 April 2024, di Museum Sandi Yogyakarta, dihadiri oleh 60-an penyair, penulis cerpen, penggubah lagu puisi, fotografer, pelukis, dan semua penyinta sastra, para perempuan penutur cerita menghadirkan kisah-kisah yang mereka gubah dalam bentuk drama. Ini merupakan bentuk alternatif dalam menarasikan cerita-cerita pendek yang mereka tulis di dalam antologi. Cerita-cerita yang beraneka rupa, secara apik dan menarik diramu sedemikian rupa sehingga terasa mengalir dalam satu rangkaian peristiwa. Mereka ini hadir dari berbagai kota. Selain dari Yogyakarta, ada yang hadir dari Magelang, Jakarta dan Madura. Dengan penuh semangat mereka melampaui jarak untuk hadir dalam Sastra Bulan Purnama.



Yang mengejutkan dan memesona, para perempuan penulis yang selama ini lebih dikenal sebagai penyair dan cerpenis, ternyata sanggup memerankan diri sebagai pemain drama yang ekspresinya otentik, natural dan spontan dengan dialog-dialog yang hidup dan kadang-kadang mengundang gelak tawa. Hadirin yang duduk atau berdiri di sekitar arena, terasa terlibat dalam seluruh permainan drama karena diajak dalam dialog-dialog spontan yang mengena. Ons Untoro, pendiri dan koordinator Sastra Bulan Purnama, sengaja menata desain arena sebagai ruang bersama, tanpa sekat antara mereka yang hadir dan mereka yang memerankan drama. Meja-meja makanan ditata di depan dan di samping arena, sehingga sambil mendengarkan dramatisasi cerita, semua yang hadir dapat sambil menikmati menu-menu makanan dan jajanan yang beraneka rupa. Waktu seperti mengalir tanpa terasa karena semua menikmatinya secara ringan dan riang gembira. Ketika seluruh dramatisasi narasi itu sampai pada titik akhirnya, semua bertepuk tangan dan saling menjabat tangan. Secara spontan, semua yang hadir terasa saling memberikan apresiasi dan dukungan. Ada getar-getar haru, kegembiraan, ketakjuban, rasa terima kasih, dan hormat satu sama lain. Itulah energi komunitas yang menghidupkan, menumbuhkan, dan menjagai api kreativitas, gerak produktivitas, dan semangat untuk terus-menerus menciptakan karya yang berkualitas. 

Kegiatan semacam ini lagi-lagi menjadi bukti betapa literasi merupakan wahana paling tepat untuk menyatukan begitu banyak perbedaan, membobol sekat-sekat yang tak bermanfaat, melebur dalam satu napas kisah indah. Karya sastra adalah pantulan jiwa, dicipta dengan pelibatan nurani secara penuh hingga mewujud dalam cerita nan mengilhami.





Mustafa W. Hasyim, penyair dari Yogyakarta, membagikan wacana tentang karya para perempuan penutur cerita. Ia menyatakan:

Secara isi, cerpen cerpen ini menampilkan potret kehidupan modern dengan sebagian manusia kosmopolitan sebagai pelakunya. Pengalaman hidup penulisnya yang trans-kultural dan trans-nasional cukup menarik untuk dibaca. Melengkapi cerpen berkecendurangan reflektif yang trans-temporal di tempat yang sama dengan tokoh yang sama. Mereka yang melakukan migrasi jarak dekat atau menengah juga menampilkan pengalaman yang unik.

Yang sangat terasa adalah kedewasaan bersikap para penulis perempuan ketika berjumpa atau menghadapi masalah hidupnya. Jiwa mereka makin matang (tidak sampai gosong) ketika dipanggang oleh panasnya masalah yang menghampiri mereka. Semoga ini mencerminkan kecenderungan sosial masyarakat kita yang makin dewasa dan matang bersikap, meski di medsos dihajar oleh buzzer, provokator dan para pengeruk duwit di tengah kegaduhan konflik wacana dengan menampilkan konten yang mendidihkan emosi. Sepertinya sudah muncul kebosanan terhadap itu sehingga masyarakat yang waras cenderung memilih konten yang sejuk dan solutif para motivator positif. Para penulis perempuan kita ini cenderung bisa membuat jarak dengan kegaduhan isi alam digital itu. Kemudian memilih menulis karya kreatif dengan membentuk dunia alternatif yang indah sehingga bisa dinikmati khalayak (publik) pembaca yang luas. 



Pada bagian akhir, Bey Saptono, penyair dan cerpenis, membacakan satu karya cerpen penuh, dengan penghayatan yang intens.

Selepas maghrib, seluruh acara berakhir. Semua yang hadir tidak langsung pulang. Sebagian besar masih saling bertegur sapa, berbagi cerita, menikmati panganan yang masih tersedia. Namun jangan ditanya, suguhan mie ayam grabyas yang disajikan di meja depan, ludes, tandas tanpa sisa. Semua mengatakan, enaknya tiada terkira. Besok lagi, musti tetap tersedia. 

Sastra Bulan Purnama yang dalam peristiwa ini telah memasuki edisi 151, yang berarti telah berumur 151 bulan, merupakan salah satu upaya dan gerakan untuk membangun serta mengembangkan literasi, terutama melalui sastra. Mengkoordinir penulisan puisi, cerita pendek, novel, esai sastra dan kebudayaan, mengelola pertunjukan dan diskusi sastra, merupakan kerja-kerja nyata yang tetap dijalankan oleh Sastra Bulan Purnama sepanjang usianya. 

Perhelatan Sastra Bulan Purnama edisi 151 ini, secara khusus mendapatkan dukungan dari PT. Luas Birus Utama, sebuah pe-rusahaan yang memiliki komitmen untuk membagikan kontribusi bagi upaya-upaya pengembangan dan penguatan literasi. Komitmen dan dukungan terhadap upaya pengembangan dan penguatan literasi ini, tampak dalam sambutan Dr. dr. Harris Susanto, M.Hum., direktur utama PT. Luas Birus Utama, seperti tertulis di dalam antologi Cerpen Namaku Luka ini:

Saya gembira mendapati perempuan peduli pada literasi melalui tulisan. Pada saat para perempuan berkumpul, mereka tak hanya menulis namun juga membacakan karya-karyanya di hadapan publik. Dengan demikian apa yang dikenali sebagai literasi menemukan bentuknya. Karena, apa yang dilakukannya, tidak hanya menulis dan membaca, melainkan juga membincangkan karya sastra, sehingga ada sentuhan pemikiran untuk orang lain yang mengikutinya.

Melalui penerbitan buku kumpulan cerpen berjudul ‘Namaku Luka’ ini, saya berharap Komunitas Sastra Bulan Purmama, terus memberi ruang berkarya pada anak bangsa dalam rangka mengembangkan literasi. Dari kejauhan, dukungan secara berkelanjutan dengan senang hati saya berikan. Semangat berkarya wahai para penulis perempuan!


Semoga kerja-kerja Sastra Bulan Purnama bersama jejaring yang mendukung dan menopangnya, semakin menemukan jalan-jalan terbuka menuju kepada kontinuitas, produktivitas dan kualitas. 


Indro Suprobo