Skip to main content

Membangun (Kembali) Demokrasi, Kumpulan Esai

 


Judul Buku: Membangun (Kembali) Demokrasi
Penulis: Onss Untoro et.al
Editor: Indro Suprobo, Ons Untoro
Isi: 14 X 20 cm, x + 320 hlm 
Cetakan Pertama: November 2024
Penerbit: Tonggak Pustaka

Dari sejumlah poin yang saya catat, pidato pertama Prabowo Subianto setelah dilantik menjadi Presiden, Minggu, 20 Oktober 2024, saya memperhatikan apa yang beliau sampaikan perihal demokrasi.  Dalam pidato itu, beliau menyampaikan: “Demokrasi kita hrs demokrasi yangg santun yang cocok dengan adat budaya Indonesia.  Demokrasi yang kalau bertarung tanpa membenci, koreksi tanpa caci maki, yang tidak munafik”.

Menyangkut perihal demokrasi yang disampaikan tersebut, saya melihat Presiden Prabowo, selama menjabat sebagai  Mentri Pertahanan mengetahui bahwa demokrasi di Indonesia telah (di)rusak. Maka, ketika menyampaikan pidato pertama sebagai Presiden, beliau merasa perlu menyebut demokrasi yang telah (di)rusak melalui bahasa yang beliau sebut di atas. Ini artinya, beliau akan kembali membangun demokrasi, setidaknya seperti formula yang beliau sampaikan seperti disebut di atas.

Satu buku yang diberi judul ‘Membangun (Kembali) Demokrasi, sudah disampaikan beberapa bulan sebelum 20 Oktober 2024 tiba. Ini artinya, tulisan dalam buku ini dibuat ketika, anggap saja, Indonesia dalam situasi sedang tidak baik-baik saja, dan kebencian serta caci maki terus mengalir, seolah tidak bisa dibendung, dan Prabowo sebagai Presiden terpilih merasakannya. Maka, pada pidato pertama sebagai Presiden beliau menyinggung hal itu.

Saya senang membaca buku yang ditulis oleh kawan-kawan, yang sejak Orde Baru berkuasa terus berjuang untuk menegakkan demokrasi. Kawan-kawan ini, dari kota berbeda-beda, sejak masih kuliah aktif  dalam gerakan mahasiswa, tidak ambil peduli terhadap Orde Baru yang represif. Semangatnya tak pernah padam untuk menegakkan demokrasi.

Sekarang, para penulis, semasa mahasiswa sebagai aktivis, memiliki pekerjaan yang beragam, ada yang menjadi pengacara, pengajar, politisi, editor/wartawan, pernah menjadi ketua komisi, misalnya Komisi Nasional HAM, anggota DPRD, pengurus partai dan lainnya.

Dan, ketika Orde Baru tumbang di tahun 1998, reformasi memberikan ruang untuk demokrasi, sehingga ada banyak partai tumbuh. Tidak hanya tiga partai seperti era Orde Baru. Memang, awal reformasi suasana politik menjadi riuh. Karena katup telah dibuka. Sehingga yang selama ini ditekan seperti diberi ruang yang bebas. Media massa tak lagi perlu SIUUP (Surau Ijin Usaha Penerbitan Pers), sehingga banyak media massa terbit, dan menambah suasana riuh di era reformasi.

Eforia reformasi seperti menjengkelkan, karena seolah tidak perlu ada aturan. Semua boleh bicara dengan bebas, tak perlu merasa takut. Di awal reformasi, demokasi sedang ditata, lembaga-lembaga baru, yang independen disiapkan untuk menandai bahwa demokrasi tidak hanya pemilu. Perlu ada lembaga-lembaga independen, meski anggaraannya dari APBN, namun lembaga-lembaga tersebut tidak bisa diintervensi oleh pemerintah, dan lembaga-lembaga tersebut di masa Orde Baru tidak ada. Maka, dibentuklah KPU (Komisi Pemilihan Umum), KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia), MK (Mahkamah Konstitusi), KY (Komisi Yudisial) dan sejumlah lembaga lain.

Lembaga-lembaga tersebut mengemban amanat refor-masi untuk menuntaskan permasalahan bangsa yang selama ini tidak pernah diselesaikan, bahkan sama sekali tidak disentuh. Maka, pemilu bukan lagi diselenggarakan oleh pemerintah, melainkan lembaga independen, dalam hal ini, KPU. Korupsi di atas satu milyar bukan lagi ditangani Kejaksaan dan Polisi, ada komisi yang khusus menanganinya, yakni KPK. Dalam kerjanya, KPK salah satunya melakukan apa yang dikenal dengan sebutan tangkap tangan. Banyak pelaku korupsi yang tertangkap dan tidak bisa mengelak, karena jauh sebelumnya, KPK telah mengumpulkan bukti-bukti dan mengikuti serta mengawasi jejak pelaku, dan momentum tangkap tangan untuk menujukkan bahwa pelakunya tidak bisa mengelak.

Buku ini mengulas banyak hal selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, khususnya menjelang berakhir, dan Indonesia. Para penulis menyampaikan pikirannya dengan kritis dan tidak disertai kebencian.


Abidin Fikri

Anggota DPR-RI