Editor: Indro Suprobo
Ketika mendengar bahwa Ons Untoro sedang menyiapkan buku kumpulan cerpennya, timbul rasa penasaran dalam hati saya, ingin tahu “cerita” apa yang dia tulis, lalu saya membaca draf buku tersebut.
Saya mengenal Ons sejak awal tahun 80’an, sebagai aktivis LSM, wartawan seni budaya, penyair, dan pegiat kelompok diskusi Palagan.
Setelah membaca sebagian cerpen, saya menangkap be-nang merah yang menghubungkan satu cerpen dengan lainnya, yakni bagaimana kuasa (pengaruh) seseorang bisa memengaruhi bentuk sebuah peristiwa dalam kehidupan (masyarakat). Tampaknya, pengalaman sebagai aktivis LSM dan kelompok diskusi membuat Ons peka terhadap bentuk-bentuk kekuasaan. Terjawab sudah rasa penasaran saya. Untuk jelasnya, mari kita lihat penggalan dari beberapa cerpen-cerpen itu.
Kita mulai dengan cerpen berjudul “Ratu Malang”, yang juga sekaligus menjadi judul buku kumpulan ini. Memilih kisah Ratu Malang untuk menggembarkan bagaimana kuasa seseorang bisa membentuk jalan hidup orang lain, saya rasa sangat tepat. Ada empat kuasa yang membentuk peristiwa tersebut. Pertama, kuasa kecantikan dan kemolek-an seorang perempuan yang membuat raja tergila-gila pa-danya. Kedua, kuasa raja yang membuat perempuan itu, yang telah bersuami, harus berpisah dari suaminya, karena raja ingin menjadikannya istri kesayangan. Ketiga, kuasa istri kesayangan dalam membatasi hubungan raja dengan istri-istri lainnya. Keempat, kuasa seorang istri yang lain, atau persekongkolan istri-istri yang lain, dalam menyingkirkan istri kesayangan itu. Kelima, kuasa raja dalam menghukum para istri yang telah berhasil meracuni istri kesayangannya hingga tewas. Demikianlah, dengan mengangkat kisah Ratu Malang ini, Ons mengingatkan pembaca betapa “permainan kuasa” bisa membuat nasib seseorang, atau banyak orang, be-gitu mengenaskan.
Berikutnya cerpen “Senyuman Butet”, menggambarkan bagaimana popularitas (bentuk kuasa yang lain) seseorang mampu mendorong orang-orang untuk melakukan suatu tindakan yang mungkin tak terpikirkan sebelumnya. Butet yang dikenal sebagai pakar kuliner dimanfaatkan oleh seorang pengusaha restoran untuk melariskan dagangan, cukup dengan tersenyum ketika difoto saat menikmati makanan di restorannya. Namun, cara berpikir “ikut ahlinya” ini diper-tanyakan oleh Ons dalam cerpen yang lain, “Juru Kunci Makam”, di mana orang sekampung heboh karena adanya berita tentang hantu merokok, yang dilihat oleh beberapa warga di areal pemakaman desa. Kehebohan itu membawa mereka ke Juru Kunci untuk menanyakan perihal kebenaran cerita tentang hantu tersebut. Dengan kata lain, tanyakan pada ahlinya (yang menguasai), sukur-sukur bisa meredakan ketakutan yang melanda sebagian warga. Di akhir cerita, Ons menggambarkan adegan yang menunjukkan bahwa hantu yang dilihat para warga di areal makam itu sesungguhnya hanyalah seorang pemuda yang kerap nongkrong menyepi pada malam hari di areal makam itu, sambil merokok. Dan, Juru Kunci Makam itu, ternyata juga takut pada hantu.
Lalu berikutnya, dalam cerpen “Nini Thowong”, salah seorang tokoh berpendapat bahwa tak harus menganggap ada roh yang masuk ke dalam boneka Nini Thowong, bisa juga menganggap bahwa yang ada hanyalah “perpindahan tenaga yang dimiliki empat perempuan, yang memegang boneka, sehingga bisa bergerak dan menari” (hal 64). Jadi, bukan kuasa memanggil roh, melainkan kuasa memengaruhi keempaat perempuan yang memegang boneka itu untuk menyalurkan tenaganya, tanpa sadar. Di akhir cerpen, Ons menganalogikan pertunjukan boneka Nini Thowong itu dengan peristiwa pilpres, di mana pengumpulan suara dari warga yang mempunyai hak pilih adalah perpindahan energi. Sementara, upacara memanggil roh dilakukan dalam bentuk kampanye (hal.64).
Dalam cerpen “Haryono”, diceritakan seorang mahasiswa yang ikut demo hanya karena diajak (pengaruh) seniornya, dan dapat info (pengaruh) dari sosmed, tanpa tahu latar belakang dan tujuan demo tersebut. Bayangkan, betapa hebatnya bila beberapa orang senior, dibantu dengan peng-gunaan sosmed, dapat menggerakkan ratusan, atau mungkin ribuan demonstran tanpa tahu maksud dan tujuan demo tersebut. Ayah mahasiswa itu menasihatinya agar selalu berpikir kritis dalam menyikapi ajakan atau menerima info dari orang lain. Kalau tidak, engkau hanya akan menjadi robot yang digerakkan oleh kuasa orang lain.
Setelah selesai membaca beberapa judul dalam kumpulan cerpen ini, saya lalu membayangkan, suatu ketika kelak, Ons menulis cerpen, atau mungkin novel, dengan judul “Mangir”. Sungguh mengasyikkan.
Simon Hate
Penyair dan Pemikir Kebudayaan